Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 23 September 2019

Jebakan Institusional dalam Birokrasi Kita

Ada beberapa pemimpin daerah yang berhasil keluar dari jebakan institusional yang mengurat-akar dalam birokrasi mereka. Prinsipnya melayani masyarakat.

Birokrasi

SEWAKTU mengisi pendidikan dan pelatihan kepemimpinan di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun lalu, saya memberi konsep penetapan masalah kebijakan dan ilustrasi praktiknya, karena ini problem utama birokrasi kita hari ini.

Kebijakan itu segala sesuatu yang menentukan perilaku orang, dalam hal ini disebut “institusi”. Institusi di sini bukan organisasi, melainkan aturan main, norma, maupun budaya-kognitif kehidupan sehari-hari. Unsur-unsur institusi itu bukan hanya terdapat di luar diri seseorang yang menentukan perilaku orang itu, tetapi juga berada di dalam diri seseorang berupa cara berpikir dan kebiasaan-kebiasaannya.

Dari konsep itu kita mengenal dua jenis institusi. Jenis pertama, sebut saja Institusi A, menyebabkan ruang gerak anggotanya terbatas akibat adanya spesifikasi tugas dan fungsi. Biasanya ini yang ada dalam organisasi pemerintahan. Keterbatasan ini membuat institusi ini tak bisa memenuhi kebutuhan masyarakat yang harus dilayaninya. Mereka yang ada di dalam institusi semacam ini biasanya tak bisa lagi melihat hal lain selain tugas dan urusannya sendiri.

Ambil contoh jika Institusi A itu hanya bertugas membuat jendela. Maka ketika rumah yang menaungi jendela itu rusak, mereka akan mengatakan rumah itu baik-baik saja karena jendelanya masih kokoh. Inilah yang disebut dengan himpitan struktural yang menjadi jebakan institusional. Masyarakat akan menyalahkan Institusi ini karena orang banyak membutuhkan rumah. 

Maka ada dua jenis kebenaran dalam kasus seperti ini. Birokrasi benar karena menjalankan tugasnya membuat jendela sesuai peraturan, masyarakat juga benar karena mereka memang butuh rumah. Ilustrasi itu serupa dengan dua kasus lain di lapangan: Institusi benar karena sudah menanam pohon sesuai tugasnya (membuat jendela), masyarakat juga benar ketika mereka tetap menyalahkan Institusi itu karena kehabisan air di musim kemarau dan kebanjiran di musim hujan (butuh rumah).

Jenis institusi kedua, sebut sebagai Institusi B, kita ambil contoh dari aturan main dalam sepak bola. Seorang bek tidak boleh mengoper bola ke teman setimnya ketika ia punya kesempatan memasukkan bola ke gawang lawan. Para penyerang timnya tidak akan menyoal dengan tindakannya itu karena tujuan 11 pemain itu sama, yakni membuat sebanyak mungkin gol ke gawang lawan. Karena itu Carles Puyol di tim Barcelona atau Spanyol selalu ikut menyerang jika ada peluang kendati posisi dan tugas utamanya sebagai palang-hadang.

Pemain Institusi B punya tugas pokok, tapi juga punya fleksibilitas melihat kebutuhan nyata di lapangan, karena melihat tujuan besar dan utama organisasinya. Di organisasi pemerintah kita cenderung melihat tiap posisi dan peran saling berebut bola. Alih-alih mengegolkan tujuan utama, mereka saling berebut anggaran dan menghabiskannya. Mereka lupa, atau tidak tahu, tujuan utama apa saling berebut anggaran itu. Padahal, jelas, tugas birokrasi adalah membuat perbaikan yang dibutuhkan masyarakat. 

Jebakan-jebakan institusional ini membuat birokrasi kita bekerja tidak efektif dan efisien.

Inovasi Pemerintahan

Para kepala daerah yang menjadi kandidat pemenang Nirwasita Tantra, penghargaan green leadership dari Kementerian Ligkungan Hidup dan Kehutanan dan biasanya diserahkan oleh Wakil Presiden, umumnya bisa mengatasi jebakan institusional itu. Selama empat tahun berturut-turut menjadi Ketua Panel Penilai calon pemenang penghargaan itu, saya mengamati inovasi-inovasi dan landasan strategi dalam keberhasilan mereka:

Pertama, menguasai detail lapangan hampir seluruh aspek yang mereka tangani. Sehingga mereka tahu apa yang harus dikerjakan, teknis, tahap, hingga mengetahui cara efisien dalam menghadapi hambatan dan ancaman.

Kedua, umumnya para pemimpin daerah terbaik itu memakai logika-logika “masyarakat berubah mengikuti sistem insentif” dan bukan dipaksa melalui larangan. Sebab, benar juga, dukungan masyarakat hadir ketika fakta-fakta kebutuhannya dipenuhi. Argumen kebijakan untuk perbaikan masyarakat pun berjalan di seputar logika-logika itu, bukan logika administrasi semata.

Ketiga, mereka mampu membalik penolakan menjadi dukungan melalui perbaikan fakta, saling percaya maupun demokrasi deliberatif. Untuk yang terakhir itu setiap pemimpin perlu tahu aspirasi masyarakat dari tingkat rukun tetangga, bukan hanya menepati janji pelaksanaan kegiatan, tetapi juga memperingatkan masyarakat yang ingkar janji atas kewajibannya.

Keempat, pada tingkat tertentu, ada pemimpin daerah yang mencapai 100 persen memakai ketepatan dan kecepatan instrumen online dalam pelbagai kegiatan pelayanan. Hasilnya, tidak ada antrean di tempat-tempat pelayanan publik.

Kelima, mampu memilih strategi terbaik dari beberapa strategi yang tersedia dalam mencapai tujuan. Strategi terbaik suatu kegiatan apabila menghasilkan "economic and social benefit" yang tinggi. Kegiatan tidak dibuat sebelum mereka tahu persis masalah yang dihadapi masyarakat. Belanja anggaran daerah bahkan dipandang sebagai investasi.

Keenam, prinsip utama para pemimpin bagus ini adalah setiap pelayanan mesti menjadi lebih baik untuk membuat rakyatnya sejahtera, bukan kantor pemerintahannya. Organisasi pemerintah daerah punya sedikit pegawai di kantor Ibu Kota, tetapi banyak di tingkat kelurahan dan kecamatan. Dengan perangkat itu komunikasi dijalin dari bawah ke atas sehingga mereka lebih banyak mendengar dan turun ke lapangan.

Ketujuh, membalik fenomena apabila investasi (ekonomi) naik, lingkungan rusak. Ada yang dengan fokus pada lingkungan kota, sampai dapat menurunkan suhu rata-rata kota di siang hari, menghapus permukiman kumuh, meningkatkan serapan air dan memperbanyak danau buatan. Ada seorang pemimpin mengubah hari libur pegawainya karena pada Sabtu dan Minggu justru wisatawan datang ke kota mereka.

Kedelapan, mampu bermain di antara tekanan politik dari dalam partainya maupun intervensi dari pemerintah pusat atau tekanan pemodal kuat, tanpa mengorbankan kepentingan orang banyak. Para pemimpin daerah ini umumnya berhasil mengatasi tekanan itu dan masyarakat menilai bahkan menularkan kelincahan itu dalam mengambil pelbagai keputusan.

Jadi, di tengah-tengah hiruk pikuk politik dan kepentingan yang memusatkan pada kekuasaan elite maupun adanya jebakan institusional, ada sejumlah pemimpin yang bisa berbuat nyata mengatasinya. Saya kutip dari seorang bupati: "Kalau saya memikirkan tekanan, saya tidak akan bekerja. Jadi nekat saja. Saya tahu ini baik bagi rakyat saya, ya, saya jalankan."

Dedikasi, kepedulian, ketelitian, kreativitas serta keberanian adalah modal menghadapi tekanan dan jebakan institusional itu. Kunci dan prinsipnya adalah membuat perbaikan hidup masyarakat. Sehingga apa pun yang menghalanginya akan mereka abaikan. Persis pesan Mahatma Gandhi: First they ignore you, then they laugh at you. Then they fight you. Then you win.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain