Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 18 September 2023

Problem Kayu Sebagai Bahan Baku Energi Terbarukan

Kayu bisa menjadi sumber energi terbarukan. Tapi harganya masih kalah oleh batu bara.

Rehabilitasi lahan untuk memasok kayu energi terbarukan

ENERGI dari tanaman tergolong energi terbarukan. Tanaman apa saja. Karena itu tanaman hasil rehabilitasi hutan dan lahan pun semestinya bisa menjadi bahan baku energi terbarukan. Kayu mungkin bukan jenis energi baru karena nenek moyang kita sudah lama memakainya sebagai sumber energi.

Tanaman memenuhi ciri sebagai sumber daya terbarukan karena mampu beregenerasi setelah dieksploitasi. Namun, regenerasi itu menuntut proses yang lestari dalam skala waktu tertentu. Maka pohon bisa menjadi energi terbarukan jika pemanfaatannya menghitung kemampuan regenerasinya. Ia menjadi energi tak terbarukan jika eksploitasi melebihi kemampuannya untuk tumbuh kembali, seperti yang terjadi dalam pengelolaan hutan produksi 1970-2000.

Maka mahasiswa kehutanan mengenal istilah etat tebang. Etat tebang adalah jumlah tebangan maksimum pohon dalam waktu tertentu yang sesuai dengan kemampuan regenerasinya (Baca: Rumus Menghitung Kayu Tebangan). Dengan demikian, walaupun sifat tanaman atau biomassa dapat melakukan regenerasi, keberlanjutan usaha tanaman dalam jangka panjang untuk tujuan komersial sangat ditentukan oleh harga jualnya.

Kaliandra (Calliandra sp) dan gamal (Gliricidia sepium) yang ditanam Perum Perhutani di Jawa, misalnya, keberlanjutan pasokannya jika memenuhi beberapa syarat. Antara lain harga yang ekonomis, ketersediaan yang cukup dan berkelanjutan, ditanam pada lahan atau kawasan hutan yang pasti legalitasnya, aksesibilitas terjangkau guna meminimumkan biaya transportasi, serta bekerja sama dengan masyarakat, baik sebagai pengelola hutan negara maupun sebagai pemegang hak lahan milik.

Saat ini harga keekonomian biomassa lebih tinggi daripada harga batu bara. Ini yang, antara lain, menjadi hambatan pengembangan biomassa sebagai pasokan bahan baku energi terbarukan. Untuk itu, di sisi produksi, rantai pasok ini memerlukan efisiensi serta peningkatan produktivitas tanaman agar bisa menekan harga per satuan volume atau berat.

Untuk penanaman di lahan Perum Perhutani, agar kegiatannya mulus, pada tahap awal perlu ada fasilitas pengurangan pajak penghasilan, pembebasan bea impor atau pajak terkait impor, pajak bumi dan bangunan, dukungan fasilitas pembiayaan dan fasilitas penjaminan dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) lain. Fasilitas itu perlu agar pada tahap awal pengembangan biomassa sebagai pengganti batu bara, produksinya bisa berjalan seraya pengelola meningkatkan kualitas tanaman guna menekan biaya (Baca: Kebutuhan Kayu untuk Co-Firing Biomassa PLTU Batu Bara)

Fasilitas serupa tampak diperlukan pada awal pengembangan bahan baku kayu oleh masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan. Dalam pengadaan bahan baku kayu oleh masyarakat, jumlahnya selalu tak cukup dan ketersediaan bahan baku yang ajek dari waktu ke waktu.

Dari pengalaman Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai di Lampung menunjukkan apabila bahan baku disiapkan dalam kawasan hutan negara yang bebas dari penggunaan lahan oleh masyarakat setempat, pemasok biomassa bisa mungkin konsisten menyuplai bahan baku. Penanggung jawabnya bisa BUMN atau swasta, institusi yang menanam pohon.

Namun, apabila pohon ditanam di kawasan hutan yang sudah dihuni masyarakat, pengelola ragu bisa memenuhi permintaan. Jika sudah begini, masyarakat biasanya juga meniru pemerintah dalam menjalankan proyek rehabilitasi: orientasi kegiatan terbatas pada cara terbaik mempertanggungjawabkan anggaran, bukan berinovasi dan fokus meningkat produktivitas kayu (Baca: Modal Sosial Rehabilitasi Hutan dan Lahan).

Agar problem itu tidak terus, perlu penyediaan pasokan kayu hasil rehabilitasi lahan untuk bahan baku energi dengan membentuk model penyiapan bahan baku terlebih dahulu. Dalam model ini, penyedia bahan baku hingga pemasarannya harus bisa membuktikan bahwa semua proses itu bisa berjalan dengan mulus.

Modal lain adalah saling percaya antara pemerintah dan masyarakat terhadap kegiatan rehabilitasi lahan, sampai ada bukti masyarakat mendapatkan manfaatnya secara ekonomi. Apabila kerja sama membangun modal sosial terwujud, kegiatan rehabilitasi umumnya sukses.

Namun demikian, di lokasi-lokasi lain, kondisinya bisa berbeda. Para petani apriori jika pemerintah sejak awal menekankan kegiatan ini harus menguntungkan. Apalagi jika pemerintah memperlakukan petani hanya sebagai objek pekerja belaka.

Karena itu jika tanaman rehabilitasi hutan akan dijadikan bahan baku energi terbarukan, pemerintah perlu memperjelasnya sejak awal tujuan kegiatan tersebut. Apalagi, jika pemerintah berharap kelak mereka menjadi pemasok utama energi terbarukan. Maka perlu ada kebijakan khusus agar pasokan kayu hasil rehabilitasi lahan tak hanya layak secara finansial, juga secara ekonomi.

Pasokan energi terbarukan dari kegiatan masyarakat secara langsung perlu menimbang unsur keadilan sosial, bukan semata kelayakan bisnis. Apalagi, pembakaran biomassa juga tetap menghasilkan emisi gas rumah kaca, meski tak sebesar batu bara (Baca: Pengalaman Membangun Hutan Tanaman Energi).

Di sini fairness kebijakan memainkan peran. Pembuat kebijakan tak semata melihat harga batu bara yang murah dibanding biomassa karena dampak terhadap lingkungannya berbeda. Pembuat kebijakan perlu memberikan insentif kepada biomassa sehingga ia bisa bersaing secara ekonomi sehingga pelan-pelan bisa menggantikan batu bara sebagai bahan baku energi.

Ikuti percakapan tentang energi terbarukan di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain