Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 13 September 2023

Kendaraan Listrik: Efektif Kurangi Emisi tapi Memicu Deforestasi

Residu kendaraan listrik memang kecil, tapi bisa memicu deforestasi.

Adopsi kendaraan listrik akan memotong emisi karbon secara efektif (foto: unsplash.com/Michael Fousert)

PADA 2022, sektor transportasi menjadi penghasil emisi karbon terbesar. Sektor ini menghasilkan 8 gigaton karbon dioksida atau seperlima dari total emisi karbon global. 

Pengurangan emisi di sektor transportasi pun menjadi target global Salah satunya dengan transisi kendaraan energi fosil ke kendaraan listrik. Pemerintah mengajukan solusi mengganti kendaraan listrik untuk menekan polusi udara Jakarta. Benarkah?

Berdasarkan analisis studi yang dipublikasikan di jurnal Nature Communications pada April 2023, pengurangan emisi karbon dari sektor transportasi bisa signifikan jika seluruh kendaraan beralih ke kendaraan listrik. Masalahnya, kendaraan listrik membutuhkan logam berat seperti litium, nikel, dan kobalt.

Studi Cornell University dan The Paul Scherrer Institute itu coba membuat berbagai model terkait kebutuhan dan pemotongan emisi dari beragam tingkat adopsi kendaraan listrik.

Dengan adopsi 100% kendaraan listrik, beserta sumber listriknya sepenuhnya energi terbarukan, target net zero emission dari sektor transportasi berpeluang tercapai pada 2050. Ditambah, adopsi kendaraan listrik 100% juga akan membatasi kenaikan suhu global di angka 1,5o Celsius. Namun, jika adopsinya hanya 40%, kenaikan suhu global akan mencapai 3,5C dan target net zero emission hanya jadi angan-angan belaka.

Kebutuhan logam berat, khususnya untuk manufaktur baterai kendaraan listrik, juga akan meningkat drastis dari peralihan kendaraan bensin ke kendaraan listrik. Hanya dengan adopsi kendaraan listrik 40% di 2050, permintaan litium akan melesat hingga 2.909% dibanding permintaan litium pada 2020.

Sedangkan jika adopsi kendaraan listrik mencapai 100% di 2050, permintaan litium akan meningkat hingga 7.500%. Logam lainnya seperti kobalt, nikel, dan mangan juga akan mengalami peningkatan permintaan sebesar 2.000%.

Proses penambangan logam berat sarat juga menjadi isu deforestasi dan lingkungan (Baca: Ironi Penambangan Nikel). Jika tak diproses dengan benar, penambangan logam berat berpotensi mencemari sumber air dengan residu bahan kimia beracun seperti sianida, merkuri, dan arsenik. Belum lagi, penambangan logam berat juga sarat akan isu sosial.

Terlepas dari berbagai isu, berdasarkan studi tersebut, produksi logam berat mulai terbatas diantara 2030-2035. Produksinya tidak akan mampu mencukupi permintaannya. Lalu bagaimana?

Alih-alih membuka penambangan baru yang sarat perusakan lingkungan, daur ulang baterai kendaraan listrik yang telah uzur menjadi penting. Dengan menerapkan ekonomi sirkuler dalam siklus baterai kendaraan listrik, kita bisa mensuplai hingga 35% kebutuhan litium, nikel, dan kobalt tanpa harus membuka penambangan baru.

Inovasi terhadap katoda dan anoda baru yang lebih ramah lingkungan juga bisa menjadi alternatif yang lebih ramah lingkungan. Seperti yang dilakukan oleh salah satu perusahaan Finlandia, yang merancang anoda baterai kendaraan listrik dari lignin. Material yang berasal dari pohon dan lebih ramah lingkungan.

Negara-negara seperti Denmark, Islandia, Norwegia, dan Swedia telah membuat kebijakan untuk menghentikan penjualan kendaraan berbahan bakar fosil pada 2030. 

Sementara Indonesia hendak meningkatkan adopsi kendaraan listrik sebanyak 2,5 unit kendaraan listrik di 2025. Sebuah target ambisius, mengingat di 2022, adopsi kendaraan listrik di Indonesia masih berkisar di 28.000 unit.

Walaupun begitu, McKinsey & Company memprediksi adopsi kendaraan listrik di Indonesia akan meningkat secara eksponensial, khususnya untuk kendaraan roda dua. Terlebih, Indonesia merupakan salah satu pemilik cadangan nikel terbesar di dunia dan pemerintah juga melakukan subsidi kendaraan listrik. Tapi tentu saja, tugas Indonesia untuk mempercepat adopsi kendaraan listrik masih banyak dan masih panjang.

Ikuti percakapan tentang kendaraan listrik di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain