Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 07 Agustus 2023

Hambatan Pengelolaan Sumber Daya Alam Secara Lestari

Pencegahan korupsi dalam tata kelola pengelolaan sumber daya alam lestari. Hambatan utama keberlanjutan.

Hambatan pengelolaan sumber daya alam

KORUPSI membuat pengelolaan sumber daya alam berjalan tidak adil dan merusak. Korupsi membuat alokasi manfaat pengelolaan lingkungan hidup tidak merata yang ujungnya berpengaruh pada kesejahteraan masyarakat, yang menjadi tujuan akhir dan utama pemanfaatan sumber daya alam.

Regulasi pengelolaan sumber daya alam coba dibuat dengan menimbang aspek keadilan dan kesejahteraan. Karena itu, secara normatif, agar pengelolaan sumber daya alam berjalan adil, resepnya sederhana saja: jalankan regulasi dan pelbagai aturan yang sesuai norma dan prinsip kelestarian. Sayangnya, kenyataan tak semudah yang direncanakan.

Pelanggaran terhadap norma dan isi regulasi kini semakin marak. Penyebabnya adalah kuatnya berbagai kepentingan yang ingin mendapat manfaat besar dari kekayaan sumber daya alam Indonesia. Karena itu, isi regulasi pun dibuat mengakomodasinya.

Pelemahan lembaga penegak hukum dan sentralisasi pengelolaan sumber daya alam membuat pengelolaan lingkungan yang lestari semakin lemah. Kita mungkin tak melihatnya secara jelas dan faktual. Sebab, yang tampil ke permukaan bukan kinerja, melainkan administrasi penggunaan anggaran.

Maka problem pengelolaan agraria dan sumber daya alam tak hanya ada dalam tataran teknis, termasuk kapasitas menjalankan aturan dan regulasi, tapi penegakkan prinsip-prinsip mencegah ketidakadilan serta korupsi di baliknya.

Kasus hukum PT Duta Palma Group, perusahaan perkebunan kelapa sawit, bisa jadi contoh terbaru bagaimana korupsi dan pengingkaran prinsip tata kelola pengelolaan sumber daya alam menimbulkan kerugian tak sedikit. Grup perusahaan itu, oleh hukum, dinyatakan melakukan korupsi karena tidak memenuhi kewajiban kepada negara selama 2002-2022.

Hakim memvonis grup perusahaan ini membayar uang pengganti Rp 2,2 triliun serta membayar kerugian perekonomian negara Rp 39,7 triliun. Pimpinan perusahaan itu juga dihukum 15 tahun penjara. Mendapat vonis itu, perusahaan dikabarkan naik banding.

Konsesi perusahaan tersebut dinyatakan berada dalam kawasan hutan, yakni di hutan produksi yang dapat dikonversi, hutan penggunaan lainnya, maupun hutan produksi terbatas di Kabupaten Indragiri Hulu, Riau. Kelengkapan perizinan lokasi dan usaha perkebunan dibuat secara melawan hukum, tanpa izin prinsip dengan tujuan izin pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan sawit segera mereka peroleh.

Karena itu, sampai saat ini, PT Duta Palma Group tidak memiliki izin pelepasan kawasan hutan maupun hak guna usaha perkebunan kelapa sawit. Perusahaan itu juga tidak memenuhi kewajiban hukum menyediakan pola kemitraan 20 persen lahan konsesinya dengan petani di sekitar perkebunan.

Kasus-kasus yang mirip seperti itu mungkin banyak. Sebab, meminjam istilah John Warburton dalam Corruption as a social process: from dyads to networks (2013), korupsi yang telah menjadi bagian dari proses sosial akan membentuk jaringan yang sulit diurai. Saya sarikan pemikiran Warburton dalam artikel itu:

Pertama, setiap masalah kompleks memiliki jawaban masuk akal yang sederhana, tetapi jawaban itu selalu keliru. Masalah korupsi sebenarnya bisa dibingkai dengan tinjauan yang tidak rumit, tapi di titik itulah kesederhanaannya berakhir.

Secara umum, korupsi adalah artefak organisasi sosial dan politik yang kompleks. Untuk itu jika kita ingin memahami korupsi sebagai proses sosial, kita perlu memahami aktor individu yang ada dalam sistem sosial itu. Pendekatan kelembagaan mencegah korupsi acap gagal karena terbentur integritas sistem sosial yang kompleks. Ada kognisi, motivasi, dan tindakan individu di belakang korupsi yang sulit dideteksi. 

Kedua, dalam korupsi, hal penting yang harus dilihat bukan sifat kepentingannya, melainkan kekuatan para aktor mencapai tujuan kepentingan mereka. Kedua pihak dalam transaksi korupsi umumnya pemegang otoritas pengelolaan sumber daya alam. Dalam transaksi semacam itu, masing-masing pelaku harus membuat keputusan sesuai kewenangan masing-masing.

Ketiga, transaksi korup adalah bentuk khusus hubungan kekuasaan yang melibatkan saling tukar sumber daya. Kekuasaan menggambarkan kepentingan aktor, yang memiliki, mengendalikan, atau akses sumber daya yang memungkinkan mereka mempromosikan kepentingan sendiri. Korupsi juga mengacu pada tindakan aktor swasta yang melakukan transaksi dengan pejabat publik, sehingga menguntungkan keduanya.

Transaksi korup bisa berupa uang, pengaruh, karisma pribadi, ikatan keluarga, kontrol media atau bantuan pribadi dalam mempromosikan suatu kepentingan. Dalam kelindan seperti ini, korupsi menjadi mekanisme mengubah otoritas pejabat publik menjadi kekuasaan yang bisa digunakan untuk kepentingan pribadi.

Keempat, korupsi melalui komunikasi rahasia. Ini jenis korupsi yang menggambarkan ada banyak kelompok kepentingan rela membayar siapa saja untuk menjadi “telinga” di kamar kerja pembuat keputusan. Para pemilik kepentingan tahu tanpa saluran komunikasi tidak ada prospek mempengaruhi keputusan pembuat kebijakan untuk kepentingan mereka. Dalam sistem politik yang mapan dan modern sekali pun, korupsi akses seperti ini masih terjadi.

Kelima, pelaku korupsi terkunci dalam hubungan yang memiliki tuntutan tersendiri. Kondisi ini mensyaratkan hubungan korup memerlukan tingkat kepercayaan tinggi.

Dalam kenyataannya, transaksi korup tak memiliki struktur yang dapat diandalkan. Untuk itu transaksi korup biasanya membentuk hubungan personal. Thomas Fagan, dalam “8 Cognitive Characteristics of Career Criminals” (2012), mengurai delapan karakteristik kognitif hubungan korup:

Pertama, ada sikap peredaan (mollification), yaitu kecenderungan merasionalisasi dan menyangkal kerugian orang lain dari aktivitas korupsi serta mengalihkan kesalahan dengan mempertanyakan motif orang lain yang menentang perilaku korup.

Kedua, optimistis. Para pelaku hubungan korup yakin mereka tidak terkalahkan. Mereka memiliki fantasi tidak akan tertangkap oleh penegak hukum. Mekanisme korup yang berjalan lama membuat para koruptor yakin sistem yang mereka bangun membentengi diri dari penegakan hukum.

Ketiga, diskontinuitas. Biasanya mereka mudah teralihkan oleh kondisi lingkungan. Bahkan seorang penjahat yang berhasil mengubah hidupnya selama atau setelah menghuni penjara masih rentan jatuh ke dalam jaringan korupnya yang lama. 

Keempat, secara umum, koruptor tidak punya tanggung jawab, impulsif, egois, mencari kesenangan sendiri, tak punya rasa takut dan rasa bersalah.

Dua referensi di atas menunjukkan bahwa kebijakan pengelolaan agraria dan sumber daya alam harus mempertimbangkan pencegahan korupsi, di semua level, di semua aktivitas. Demikian pula dalam materi pengajaran di kampus atau pelatihan maupun perbincangan mengenai keberlanjutan. Korupsi telah mempengaruhi semua hal dalam pengelolaan sumber daya alam yang lestari.

Indeks tata kelola Indonesia yang hanya 34 (maksimum 90, minimum 16) pada 2022 menggambarkan urgensi kebijakan agraria dan pengelolaan sumber daya alam amat terpengaruh oleh pelbagai jenis korupsi. Dengan begitu, argumentasi teknis menyelesaikan hambatan pengelolaan lingkungan lestari tidak selalu tepat.

Tingginya konflik kepentingan dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan selalu menjadi tantangan utama pengelolaan sumber daya alam tak kunjung bisa lestari. Konflik kepentingan adalah pintu masuk segala jenis korupsi yang menghambat pengelolaan sumber daya alam berjalan adil.

Ikuti percakapan tentang tata kelola di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain