Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 10 Juli 2023

Ketimpangan Regulasi dan Implementasinya

Kebijakan publik bisa berbeda ketika diterapkan. Di negara ketiga umum terjadi kondisi “prismatik”.

Pensil dalam gelas prisma

KITA sering mengasumsikan implementasi sebuah aturan atau kebijakan publik berlandaskan kesamaan hak warga negara. Praktiknya tak selalu demikian. Bahkan bisa jadi sebaliknya.

Ketimpangan sosial adalah realitas di masyarakat. Ada banyak hubungan sosial yang berjalan secara timpang yang membuat implementasi regulasi atau peraturan memunculkan pihak yang berkuasa dan yang dikuasai yang berhubungan secara manipulatif.

Dalam “Discourse and Manipulation” (2006), Teun A. van Dirk menyebut lima hal terkait ketimpangan regulasi dan implementasinya:

Pertama, secara sosial “manipulasi” didefinisikan sebagai dominasi yang berkuasa dan mereka yang dikuasai secara tidak sah, akibat ketimpangan sosial. Dalam manipulasi, kepentingan yang berkuasa bertolak-belakang dengan keinginan yang dikuasai. Ini berbeda dengan belajar-mengajar di kelas. Kepentingan di sana berjalan secara persuasif dan pemberian informasi.

Dengan pendekatan analisis wacana, manipulasi bisa terjadi melalui teks atau dalam pembicaraan. Ada juga manipulasi melalui pikiran. Prosesnya berlangsung melalui pembicaraan dan interaksi yang menyiratkan adanya penyalahgunaan kekuasaan melalui berbagai bentuk pendekatan sosial.

Kedua, manipulasi melibatkan peningkatan kekuatan, keunggulan moral, dan kredibilitas pembicara, serta mendiskreditkan siapa pun yang dianggap sebagai lawan, memakai daya tarik emosional serta bukti yang tampak tidak terbantahkan.

Seorang manipulator akan mengontrol orang lain. Untuk itu, manipulasi tidak hanya melibatkan kekuasaan, tetapi secara khusus melakukan penyalahgunaan kekuasaan. Lebih khusus lagi, manipulasi menyiratkan penggunaan pengaruh tidak sah, yang membuat orang lain percaya atau melakukan hal-hal yang menjadi kepentingan manipulator. Dalam pengertian manipulasi semiotik yang lebih luas, pengaruh tidak sah semacam itu juga dapat dilakukan melalui gambar, foto, film, atau bentuk media lainnya.

Namun, tanpa tujuan negatif, manipulasi bisa menjadi bentuk persuasi yang sah. Perbedaan penting keduanya, yang sah dan tidak sah, adalah lawan bicara bebas memberikan kepercayaan pada perspektif maupun informasinya. Sedangkan dalam manipulasi kekuasaan, penerima informasi cenderung sebagai pihak yang pasif. 

Ketiga, konsekuensi negatif terjadi bila pihak yang dimanipulasi tidak dapat memahami maksud manipulator. Hal ini terjadi terutama bila penerima informasi kurang pengetahuan untuk menolak informasi tersebut. Maka, batas antara manipulasi (tidak sah) dan persuasi (sah) pun menjadi kabur.

Secara spesifik, penerima informasi mungkin dimanipulasi oleh suatu pesan, namun pesan itu tidak dapat memanipulasi orang lain. Maka manipulasi komersial atau politik sah secara etis, tapi penerimanya mungkin merasa termanipulasi.

Keempat, orang-orang yang sedang mendapat pengaruh dapat dimanipulasi demi kepentingan terbaik manipulator. Artinya, manipulasi adalah fenomena sosial–terutama karena melibatkan interaksi dan penyalahgunaan kekuasaan antar kelompok dan aktor sosial–yang menjadi fenomena kognitif karena manipulasi selalu menyiratkan pikiran partisipan melalui teks, pembicaraan, ataupun pesan visual.

Karena itu untuk memahami dan menganalisis wacana manipulatif, penting untuk kita terlebih dahulu memeriksa lingkungan sosial hubungan pemberi dan penerima informasi tersebut. Salah satu karakteristik manipulasi, yang berbeda dari persuasi, adalah melibatkan kekuasaan dan dominasi.

Seorang profesor bisa memanipulasi mahasiswa karena posisi institusional atau profesi mereka dan karena pengetahuan mereka. Politisi bisa memanipulasi pemilih, wartawan dapat memanipulasi penerima wacana media atau pemimpin agama memanipulasi pengikut mereka.

Kelima, analisis lebih lanjut tentang dominasi, yang didefinisikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan, membutuhkan akses khusus ke—atau kendali atas—sumber daya sosial. Salah satu sumber daya tersebut adalah akses ke media massa dan wacana publik, sumber daya yang dimiliki bersama oleh anggota elite “simbolik”, seperti politisi, jurnalis, cendekiawan, penulis, guru/dosen.

Untuk memanipulasi banyak orang melalui teks dan pembicaraan, seseorang perlu memiliki akses ke berbagai bentuk wacana publik. Dalam hal ini, wacana publik merupakan sarana reproduksi sosial dari kekuasaan. Misalnya, politisi menjalankan kekuasaan politiknya melalui wacana publik untuk mengukuhkan dan mereproduksi kekuasaan politiknya.

Dari pembahasan itu kita bisa melihat bahwa manipulasi adalah praktik sosial diskursif kelompok dominan untuk melakukan reproduksi kekuasaan. Selain banyak cara lainnya, seperti melalui persuasi, memberikan informasi, pendidikan, instruksi dan praktik sosial lainnya yang ditujukan untuk mempengaruhi pengetahuan, keyakinan dan secara tidak langsung mempengaruhi tindakan penerima informasi tersebut. Kita telah melihat bahwa praktik sosial seperti itu cukup sah. 

Situasi demikian itu sering kali kurang diperhitungkan dalam pelaksanaan kebijakan publik yang menganut pendekatan administratif atau positivistik. Dalam pendekatan ini, apa yang ditetapkan dalam regulasi “seharusnya” bisa dijalankan.

Pendekatan seperti itu terkesan menyederhanakan dunia nyata yang kompleks. Dalam manajemen hutan, misalnya, fakta bahwa hutan alam produksi hilang jutaan hektare menunjukkan bahwa pendekatan administratif dan positivistik tidak lagi cukup dan implementasi regulasi, aturan, atau kebijakan publik.

Ikuti percakapan tentang implementasi kebijakan publik di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain