Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 10 Maret 2023

Perempuan Sebagai Pejuang Iklim

Perempuan paling terdampak oleh krisis iklim. Mereka pula yang menentukan pengendalian iklim.

Aktivis Walhi, Greenpeace, dan LSM Lain dalam peringatan Hari Perempuan Internasional 2023 di Jakarta (Foto: Istimewa)

PEREMPUAN adalah pejuang iklim. Manajer Kampanye Hutan Walhi Indonesia, Uli Arta Siagian membunyikannya pada Hari Perempuan Internasional, 8 Maret 2023. “Setiap hari mereka melakukan kerja-kerja perawatan terhadap ruang hidup,” kata Uli.

Uli mencontohkan perempuan yang tinggal di sekitar hutan. Mereka merawat hutan setiap hari. Sementara hutan adalah ekosistem yang menyerap emisi karbon hasil aktivitas manusia. Karena itu hutan menjadi pengendali krisis iklim. Maka peran perempuan memelihara hutan sekaligus menjadi pengendali iklim.

Kini peran-peran perempuan sebagai pejuang iklim tergerus oleh regulasi. Sebut saja UU Cipta Kerja yang kini berubah menjadi Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu) Cipta Kerja. Dengan dalih investasi hutan yang menjadi ruang hidup masyarakat sekitar hutan ditindih oleh izin usaha. Akibatnya, mereka menjadi tersingkir. Teknologi madya yang ramah lingkungan dalam memanfaatkan hasil hutan berganti dengan teknologi canggih.

Dengan regulasi yang mengutamakan industri ekstraktif itu, perempuan menjadi terpisah dari ruang hidup mereka. Keterpisahan itu membuat rentan kelestarian hutan. Dengan begitu, kata Uli, perempuan menjadi tersingkir. Inilah, katanya, yang membuat ketimpangan gender dalam relasi kehidupan terus terjadi.

Sebab, industri ekstraktif pelan-pelan mengubah kebiasaan dan kearifan lokal penduduk sekitar hutan. Penduduk akan terdesak menjadi buruh karena tak lagi punya ruang hidup memanfaatkan hutan. Alih profesi itu otomatis akan mengubah adat istiadat dan kebudayaan. “Mereka yang paling dirugikan dari perubahan ini adalah perempuan,” kata Uli. 

Selain pembatasan ruang hidup, perempuan juga akan mengalami dampak lain dari penurunan kualitas lingkungan hidup yang muncul karena perkembangan industri ekstraktif yang masif. Ketika akumulasi kerja-kerja industri ekstraktif itu membuat iklim semakin buruk, perempuan akan terkena imbasnya yang paling signifikan.

Krisis iklim membuat air bersih berkurang. Bahkan krisis air bersih sebagai pertanda bencana lingkungan. Menurut UN Women, perempuan dan anak-anak miskin memiliki risiko 14 kali lebih tinggi daripada laki-laki terbunuh dalam bencana alam yang dipicu oleh krisis iklim, seperti angin topan, banjir bandang, atau badai.

Salah satu dampah nyata ketika sebuah wilayah kesulitan mengakses air bersih adalah soal hilangnya sanitasi. Perempuan, kata Uli, kesulitan membersihkan diri ketika menstruasi—siklus alamiah yang tak terjadi pada laki-laki.

Khalisa Khalid, aktivis Greenpeace, mengatakan sudah banyak perempuan yang mengambil peran melindungi ruang hidup meeka, termasuk upaya melawan krisis iklim. Di Desa Wadas, kata dia, perempuan tampil menolak pertambangan batu andesit yang mengancam mata air. Di Pegunungan Kendeng, perempuan pula yang lebih peduli mata air ketika di hutan mereka akan dibangun pabrik semen. 


Artikel lain:


Untuk meningkatkan partisipasi bermakna perempuan dalam mitigasi krisis iklim, kata Khalisa, perlu melibatkan mereka dalam proses politik dari tingkat desa hingga pusat. Survei UNEP menunjukkan parlemen yang anggotanya diisi banyak perempuan cenderung menghasilkan kebijakan atau regulasi yang ramah lingkungan.

Maka untuk mewujudkan keadilan iklim dalam peringatan Hari Perempuan Internasional, para aktivis Greenpeace Indonesia, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Perempuan Berkisah, Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (Kasbi), dan lembaga swadaya masyarakat lainnya menyerukan keadilan iklim yang bertolak dari pengakuan peran perempuan dalam kebijakan mitigasi perubahan iklim.

Ikuti percakapan tentang krisis iklim di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain