Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 28 Agustus 2022

Pajak Karbon Ditunda. Apa Implikasinya?

Pajak karbon belum berlaku. Apa implikasi pada target penurunan emisi?

Pajak karbon ditunda entah sampai kapan

PEMERINTAH menunda penerapan pajak karbon dua kali. Tadinya, pajak karbon akan berlaku 1 April 2022. Lalu diundur menjadi 1 Juli 2022. Invasi Rusia ke Ukraina menjadi dalih bagi pemerintah menunda penerapan pajak karbon entah sampai kapan. Perang Rusia-Ukraina membuat ekonomi jadi tak menentu karena pasokan energi dan pangan terganggu.

Banyak aspek yang harus dikaji dalam penerapan pajak karbon. Banyak kementerian atau lembaga yang terkait dengan aturan baru ini. Kementerian Keuangan akan memungut pajak, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral akan menetapkan batas emisi sektor energi. Lalu ada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang mengatur perdagangan karbonnya.

Implikasi paling serius dari penundaan pajak karbon adalah kemungkinan tidak tercapainya target penurunan emisi gas rumah kaca Indonesia. Pada dokumen nationally determined contribution (NDC) Indonesia akan menurunkan emisi sebesar 29% pada tahun 2030. Sektor kehutanan akan menurunkan emisi paling besar, yakni 17,2%.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengatakan penundaan pajak karbon tidak akan berdampak pada komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca. Benarkah? Menurunkan emisi butuh anggaran besar. Pajak karbon bisa jadi salah satu sumbernya.

Kebijakan penurunan emisi di sektor kehutanan dan penggunaan lahan melalui FOLU net sink. Dalam FOLU net sink, penyerapan gas rumah kaca sebanyak 140 juta ton setara CO2 pada 2030 dan kemudian meningkat menjadi 304 juta ton pada 2050.

Menurut dokumen NDC, deforestasi akumulatif yang diizinkan dalam skenario menurunkan emisi 29% seluas 6,8 juta hektare pada 2030. Artinya, deforestasi yang diizinkan maksimal 680.000 hektare per tahun. Selain mencegah deforestasi, pemerintah juga hendak meluaskan areal lindung di kawasan hutan.

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024, areal lindung akan dinaikkan dari 51,8 juta hektare menjadi 65,3 juta hektare. Juga restorasi dan reforestasi. Dalam dokumen NDC baru, target rehabilitasi hutan tak produktif seluas 12 juta hektare dan penanaman pohon pada areal 230.000 hektare per tahun. Sementara target restorasi rawa gambut seluas 2 juta hektare dengan asumsi keberhasilannya 90%.

Dalam dokumen Rencana Operasional Indonesia’s FOLU Net Sink 2030, pendanaan kegiatan penurunan emisi gas rumah kaca sektor kehutanan dan lahan akan dibiayai oleh Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN), Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Provinsi/Kabupaten/Kota, kemitraan pemerintah pusat dan daerah, kemitraan pemerintah dan swasta, hibah Luar Negeri/Dalam Negeri, serta sumber dana lainnya yang sah dan sesuai dengan peraturan perundangan pendanaan yang berlaku. 

Ada tiga jenis pendanaan FOLU Net Sink 2030: a) perdagangan karbon (carbon market) antara lain pasar/perdagangan karbon dalam negeri, pasar/perdagangan karbon luar negeri; b) non perdagangan karbon antara lain, APBN, APBD, investasi swasta, hibah dalam dan luar negeri, sumber dana lainnya; c) pembayaran berbasis hasil (RBP-REDD+) antara lain, internasional, nasional dan sub nasional. 

Dengan memakai standar biaya mitigasi sektor FOLU yang tercantum dalam dokumen NDC, total biaya penurunan emisi pada 2020-2030 sebesar Rp 204,02 triliun, 45% dari pemerintah dan 55% dari swasta.

Sumber pendanaan dari pemerintah yang didistribusikan berasal dari optimasi pendanaan di tingkat pusat (APBN) melalui: a) instrumen green sukuk dan pasar karbon domestik, b) transfer anggaran berbasis ekologi, c) optimasi pendanaan di tingkat daerah melalui pos pendapatan asli daerah (PAD) dan obligasi hijau daerah dan d) optimasi skema result-based payment untuk REDD+. Sementara untuk sumber swasta akan diarahkan pada instrumen investasi, hibah, obligasi hijau, pinjaman, ekuitas swasta, corporate social responsibility (CSR), dan lain lain.

Secara konsep skema dan sumber pendanaan, penundaan pajak dan perdagangan karbon tetap mengganggu biaya penurunan emisi. Bahana Sekuritas memperkirakan pendapatan pajak karbon Rp 26-53 triliun atau 0,2% hingga 0,3% dari PDB dengan asumsi tarif pajak karbon US$ 5-10 per ton CO2. Nyatanya tarif pajak hanya Rp 30.000 per ton atau US$ 2.

Menteri Siti Nurbaya boleh saja optimistis, penurunan emisi akan tercapai meski pajak karbon ditunda. Tapi waktu terus berjalan. Krisis iklim tak bisa ditunda karena dampaknya akan membuat pendanaan menurunkan emisi kian lama akan kian mahal dan berat.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain