Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 11 Agustus 2022

Paludikultur untuk Melindungi Gambut

Paludikultur bisa melindungi gambut. Apa itu paludikultur?

Paludikultur dengan komoditas nanas serta pohon buah di lahan perhutanan sosial KTH Cemerlang, Riau (Foto: Rama Maulana/FD)

RAWA gambut adalah ekosistem yang sangat rentan mengalami gangguan. Ekosistem yang terbentuk dari bahan organik yang tidak terdekomposisi ribuan tahun ini sering kali terbakar. Apalagi jika lahannya dikeringkan untuk perkebunan. Cara terbaik melindungi sekaligus memanfaatkan gambut adalah teknik paludikultur. Apa itu paludikultur?

Istilah paludikultur diambil dari bahasa Latin: palus (rawa) dan cuultur (budi daya). Paludikultur adalah sistem agroforestri yang menyesuaikan kondisi lingkungan rawa gambut yang selalu basah (baca selengkapnya di sini).

Tanaman dalam sistem paludikultur arena paludikultur menuntut tanaman yang cocok dengan gambut. Karena itu pemilihan jenis tanaman budi daya di rawa gambut mesti menjadi pertimbangan utama agar budi daya tak merusak ekosistem ini.

Berbeda dengan sistem wanatani yang memadukan tanaman hutan dan tanaman semusim, sistem paludikultur membudidayakan jenis tanaman asli di lahan basah, atau yang dibasahi kembali apabila lahan telah mengering. Sebab, kunci utama teknik paludikultur adalah pembasahannya.

Karena itu paludikultur selalu menyangkut tiga soal: rewetting (pembasahan), revegetation (penanaman), dan revitalisasi. Secara ringkas, paludikultur memulihkan gambut yang rusak dengan menanaminya kembali dengan tanaman lokal.

Jika gambut dikeringkan, ia gampang terbakar. Riau adalah salah satu provinsi yang pernah mengalami kebakaran hutan gambut terparah karena pengeringan rawa gambut untuk perkebunan atau hutan tanaman industri.

Sekitar 97% daratan Riau adalah rawa gambut. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Riau, tahun 2016 menjadi tahun terparah kebakaran hutan yang melahap sekitar 2.348,65 hektare. Salah satu areal yang pernah terbakar di Riau adalah Kampung Dayun, Kecamatan Dayun, Kabupaten Siak, Provinsi Riau.

Berdasarkan data BPS itu, Kabupaten Siak mengalami kebakaran seluas 147,80 hektare sementara di Kampung Dayun kebakaran mencapai lebih dari 40 hektare. "Masyarakat sampai menginap di lokasi kebakaran untuk memadamkan api yang berjalan di bawah lahan gambut,” kata Muhammad Yusuf, masyarakat Kampung Dayun.

Cuaca panas menyebabkan beberapa tanaman dan serasah kering sehingga mudah tersulut saat ada percikan api. Sebab gambut yang menyimpan panas akan kian mengering jika kekurangan air. Namun, gambut tak akan terbakar tanpa ada pemicunya. Menurut pelbagai studi, pemicu api adalah manusia.

Di era krisis iklim, kebakaran gambut menjadi perhatian dunia sehingga sangat perlu dipantau karena emisi yang dikeluarkan cukup besar. Menurut data nationally determined contribution (NDC) Indonesia, kebakaran gambut menyumbang emisi terbesar dari sektor kehutanan sekitar lebih dari 60%. Maka dari itu, upaya pencegahan kebakaran hutan di lahan gambut mesti harus terus dipantau.

Pendekatan sosial adalah salah satu strategi dalam mencegah kebakaran hutan. Sebagai garda terdepan penjaga hutan, masyarakat dapat menjangkau secara cepat potensi kebakaran hutan berupa titik api. Salah satu caranya adalah dengan mengizinkan masyarakat membudidayakan lahan gambut dengan sistem paludikultur.

Upaya merestorasi gambut memakai dengan tiga cara: pembasahan, revegetasi, lalu revitalisasi. Menurut Rizaldi Boer, pakar perubahan iklim IPB, tiga cara itu termaktub dalam sistem paludikultur yang merupakan bagian dari upaya revegetasi mengelola ekosistem gambut yang berkelanjutan.

Masyarakat Kampung Dayun tergabung dalam Kelompok Tani Hutan (KTH) Cemerlang di bawah pengawasan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Tasik Besar Serkap. Dengan memanfaatkan izin perhutanan sosial seluas 13 hektare pada 2019, masyarakat mencoba membuat lahan gambut bekas terbakar menjadi produktif. "Awalnya kami ragu untuk mendapatkan tawaran ini," kata Yusuf, yang saat ini telah menjadi Ketua KTH Cemerlang.

Berbekal pengetahuan lokal untuk mengelola lahan gambut, KTH Cemerlang mencoba menghutankan kembali lahan gambut dengan menanam buah-buahan yang cocok di lahan gambut. Buah-buahan itu antara lain rambutan, durian, nangka nanas, jahe, sereh wangi. Usaha ini membuat lahan gambut kembali tertutup oleh vegetasi sehingga potensi kebakaran hutan dari bahan bakar kering akan berkurang.

Tak hanya itu, dengan adanya aktivitas masyarakat di lahan gambut maka pemantauan titik api akan cenderung cepat. Yusuf mengakui setelah masyarakat membudidayakan lahan gambut, potensi titik api menjadi berkurang. "Saat kami mendapat laporan dari dinas kehutanan tentang titik api di kampung kami, maka kami langsung bergegas kesana," ujarnya. Sehingga selama mendapatkan izin perhutanan sosial, kejadian kebakaran mulai berkurang.

Pemenuhan kebutuhan ekonomi juga terpenuhi dari usaha paludikultur itu. Dengan bantuan pendanaan dari Bank Dunia, yaitu program investasi hutan dua (FIP 2), KTH Cemerlang memiliki beberapa produk turunan dari hasil budi daya. Produk turunan itu adalah olahan buah nanas antara lain jeli nanas, wajik bandung nanas, dan dodol nanas.

Penghasilan dalam sebulan bervariatif. Jika sedang ramai seperti musim pesta atau hajatan, penghasilan KTH bisa mencapai Rp 5 juta per bulan. Jika sedang sepi rata-rata penghasilannya sekitar Rp 1 juta. "Ibu-ibu jadi memiliki pekerjaan sampingan selain mengurus rumah tangga," kata Yusi, bendahara KTH Cemerlang. Usaha seperti itu menjadi contoh bagi masyarakat sekitar agar kreatif mengembangkan potensi yang ada di wilayahnya.

Pengembangan budidaya tanaman di lahan gambut dengan paludikultur selain menjaga lahan gambut dari kebakaran juga dapat mengembangkan ekonomi masyarakat sekitar. Praktik paludikultur sejalan dengan target penurunan emisi sektor kehutanan dan penggunaan lahan lain pada tahun 2030 khususnya di lahan gambut (FOLU Net Sink 2030).

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain