Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 30 Mei 2022

Manfaat Riset Holosentrik

Antara riset teknosentrik dan riset holosentrik, mana lebih baik?

Hama belalang dan problem petani Indonesia (Foto: R. Eko Tjahjono/FD)

DUNIA akademik mengenal empat jenis riset: teknosentrik, holosentrik, egosentrik, dan ekosentrik. Apa beda keempatnya, mana yang lebih baik? Sebelum menjawab itu, kita urut dari permulaan.

Dalam kehidupan sehari-hari, setiap orang saling memberi pengaruh. Saling tukar pengaruh itu akan membentuk apa yang disebut “benar” dan “salah”, “baik” dan “buruk”. Dengan begitu, sebuah pengaruh cenderung tidak mengikuti garis lurus dan langsung, tetapi mengendap secara sosial yang melibatkan pengalaman di masa lalu, pembelajaran masyarakat yang lain, peran tokoh panutan, harapan atas manfaat, dan lain-lain.

Pengaruh itu kemudian membentuk ilmu pengetahuan. Namun, dalam hubungan antara sumber pengetahuan dan penerimanya bisa terjadi distorsi, setidaknya pengetahuan itu tidak sesuai dengan apa yang diinginkan sumber pengetahuan maupun penerimanya. Pengetahuan menjadi pengetahuan baru bagi keduanya.

Soalnya, pemberi pengetahuan acap menyusun pengetahuannya dengan asumsi pengetahuan itu dibutuhkan penerimanya. Atau anggapan bahwa pengetahuan sesuai dengan kebutuhan penerima, meski penerima mengartikannya berbeda. Juga mungkin terjadi: dalam konteks sosial, pemberi pengetahuan dianggap punya status lebih tinggi, sehingga penerimanya menadah tanpa reserve. Cara terakhir ini bisa menimbulkan penolakan secara diam-diam dari penerima pengetahuan. 

Situasinya bertambah buruk apabila pemberi pengetahuan berprinsip bahwa tugasnya hanya memberi pengetahuan saja, sekadar menggugurkan kewajiban administrasi. Bahwa pengetahuan itu dipakai atau tidak oleh penerimanya, berguna atau mubazir, tak menjadi tanggung jawabnya.

Dalam hal sumber daya alam, yang melibatkan masyarakat lokal dan masyarakat adat, ilmu pengetahuan berproses secara dua arah. Masyarakat lokal dan adat biasanya menganggap sawah, hutan, pesisir, laut, bukan hanya benda atau aset yang bisa dikuantifikasi menjadi besaran investasi. Bagi mereka, sumber daya alam itu adalah ruang hidup yang berisi proses interaksi sosial maupun budaya, termasuk pengetahuan.

Nathalie Girard dalam “Knowledge at the boundary between science and society: A review of the use of farmers’ knowledge in agricultural development” (2015), menulis bahwa di dalam ruang hidup itu ada “pengetahuan dalam tindakan” atau “ilmu-pengalaman”, yang sering kali melampaui batas hubungan antara sains dan praktiknya.

Sayangnya, fakta seperti itu sering kali dilupakan oleh kekuasaan. Atas nama praktik sains, peneliti maupun pemerintah berasumsi bahwa problem petani itu bisa mereka ambil alih lalu memberikan solusi melalui kebijakan. Akibatnya, jarak sosial antara peneliti atau pejabat negara dengan petani atau nelayan tetap menganga lebar.

Dalam orasi guru besarnya di IPB University pekan lalu, Profesor Hermanu Triwidodo menyebut studi seperti itu sebagai “riset teknosentrik”. Untuk menghindarinya, dengan mengambil empat rumusan riset Richard Bawden pada 1997, Hermanu menawarkan satu jenis riset lain yang disebut “riset holosentrik”. Dua riset lain ekosentrik dan egosentrik. 

Orasi ilmiah Hermanu berjudul “Riset Aksi Holosentris untuk Mengatasi Ledakan Hama” yang menjelaskan riset holosentrik dilakukan secara kolaboratif dengan orientasi pemecahan masalah yang dibingkai cara pandang holistik maupun pemikiran kritis untuk menghargai posisi dan wewenang para pihak. Pada sawah, misalnya, perlu diabstraksikan sebagai “soft side of land”, karena sawah memiliki potensi pengalaman dan kearifan petani yang tersembunyi serta keanekaragaman biologi.

Selama kariernya sebagai dosen, Hermanu menjalankan model riset holosentrik itu. Tidak seperti hasil teknologi yang dirancang pakar dan dijalankan petani melalui sosialisasi, riset holosentrik tidak berjarak dengan kehidupan petani dan memberi kesempatan bagi siapa pun yang punya kontribusi menyelesaikan masalah. Ini tampak sebagai bentuk implementasi yang menghubungkan ilmu pengetahuan dengan kebijakan dan praktiknya (science-policy-practices interface). 

Hermanu juga menyebut bahwa model riset ini berjalan beriringan dengan gerakan sosial, yang berarti studi itu mengambil peran transdisiplin secara terintegrasi dengan modal sosial masyarakat maupun implementasi kebijakan pemerintah. Solusi masalah pertanian dalam arti luas, yang terkait dengan ekosistem kehidupan petani maupun nelayan, sering kali datang dari petani dan nelayan itu sendiri. Maka, agar sains berdaya-guna, inovasi maupun teknologi itu seharusnya tidak berjarak dengan objek studinya.

Hermanu berpesan untuk mewujudkan keberhasilan integrasi sains dan “ilmu pengalaman” guna memecahkan persoalan nyata di lapangan, para peneliti perlu rendah hati. Mereka harus tidak merasa menjadi satu-satunya sumber ilmu pengetahuan maupun solusi-solusi atas masalah objek penelitiannya. Instruksi memakai pestisida untuk mengusir hama, misalnya, acap tak menjadi solusi atas problem hama tanaman bagi petani. 

Pendekatan teknologi, terutama penggunaan pestisida bahan kimia, justru menjadi akar persoalan kerentanan ekosistem pertanian. Sebab, pestisida menghasilkan problem lain berupa pencemaran air dan tanah, terganggunya rantai makanan, serta punahnya berbagai jenis serangga yang bermanfaat bagi tanaman. 

Laporan Program Lingkungan PBB (UNEP), “Making Peace with Nature: A scientific blueprint to tackle the climate, biodiversity and pollution emergencies” awal tahun ini, menyebutkan bahwa ketahanan pangan justru terancam oleh hilangnya serangga penyerbuk. Hilangnya serangga itu, mengancam hasil panen global tahunan senilai antara US$ 235-577 miliar. 

Saat ini tantangan pembangunan pertanian dalam arti luas erat berhubungan dengan ekosistem produksi. Petani atau nelayan menjadi subyek utama yang menerima manfaat sekaligus risikonya. Para peneliti dan penyuluh dianjurkan memakai spektrum lebar agar menjadi bagian dari modal sosial subyek utamanya itu. Dengan begitu, harmoni perkembangan sains dan praktiknya, sebagai riset holosentrik, senantiasa mengisi ruang hidup objek-objek penelitian ini.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain