Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 07 Maret 2022

Korupsi pada 2045

Tahun 2045 Indonesia berusia 100 tahun. Bisakah kita lepas dari korupsi?

Korupsi institusional (Ilustrasi: Andy Martin/law.harvard.edu)

AKHIR tahun lalu perbincangan di ruang publik membicarakan target pemerintah mewujudkan pembangunan dengan tingkat emisi karbon yang bisa dikompensasi oleh upaya-upaya penyerapannya. Ini juga isu global. Pemerintah menargetkan skema itu pada puluhan tahun mendatang.

Meskipun ada fokus substansial pada isu-isu keberlanjutan di seluruh dunia, manusia terus berada pada lintasan pembangunan yang tidak berkelanjutan (Fisher dan Rhiechers 2018). Banyak kebijakan negara menargetkan titik ungkit sangat nyata, tetapi pada dasarnya lemah, yaitu memakai intervensi karena mudah, tetapi memiliki potensi terbatas untuk perubahan transformasional secara konsisten.

Maka, penting untuk berpikir kritis mengenai gagasan transformasi menuju pembangunan berkelanjutan. Semua itu memang mudah dibaca dan dumumkan. Tapi di balik semua itu ada yang merongrong secara terang-terangan maupun terselubung, yakni korupsi. Korupsi diam-diam menghujamkan akarnya di tengah-tengah pembangunan yang coba mengadopsi pelbagai prinsip kelestarian itu.

Korupsi konvensional sudah didefinisikan dalam undang-undang, yaitu kegiatan melanggar hukum, memperkaya orang lain atau pelakunya sendiri, serta merugikan keuangan negara maupun perekonomian. Senyampang korupsi konvensional naik, korupsi institusional terus merangsek. Korupsi institusional belum diakui secara hukum meski dampak buruknya jauh lebih besar ketimbang korupsi konvensional. 

Kita bisa menunjuk sebuah lembaga negara yang tugasnya menghabiskan anggaran daripada menghasilkan manfaat bagi masyarakat luas. Atau, lembaga negara yang membuat pelayanan untuk usaha-usaha besar dibanding masyarakat lokal. Juga masuknya pasal-pasal dalam peraturan yang menguntungkan kelompok tertentu.

Korupsi institusional seperti ini tak terlihat melanggar hukum. Karena itu tak ada yang menyoalnya. Padahal dampaknya besar, yakni negara bergeser menjadi pasar. Peran antara negara dan pasar, dalam korupsi institusional yang meruyak, menjadi kabur.

Seorang profesor hukum di Sekolah Hukum Universitas Harvard, Lawrence Lessig, mengatakan korupsi institusional terwujud ketika ada pengaruh sistemik dan strategis yang legal yang melemahkan efektivitas institusi dengan mengalihkan tujuan atau melemahkan kemampuannya mencapai tujuan, yakni kesejahteraan publik. Lembaga negara yang seperti itu biasanya juga coba melemahkan kepercayaan publik sehingga kepercayaan kepada mereka menjadi rendah.

Di masa depan, perhatian terhadap korupsi institusional menjadi penting karena empat hal:

Pertama, korupsi ada di lembaga-lembaga negara. Dalam korupsi institusi politik, ia berhubungan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Meski demokrasi yang baik bisa mengurangi korupsi konvensional, ia rentan terhadap jenis korupsinya sendiri yang jauh lebih berbahaya.

George Monbiot dalam “The Problem With Freedom” di the Guardian edisi 5 April 2017, menulis bahwa “Kini kebebasan digunakan sebagai alasan merobohkan perlindungan bagi publik atas inisiatif dan kepentingan orang yang sangat kaya. Merobohkan perlindungan publik semacam itu berarti memberikan kebebasan bagi miliarder dan korporasi dari hambatan-hambatan demokrasi”. 

Kedua, para ahli institusi mendukung upaya memperluas jangkauan hukum dan etika. Mereka menggunakannya untuk menentang pandangan bahwa korupsi hanya mengacu pada pertukaran quid pro quo atau pertukaran yang melibatkan dua pihak. Sedangkan, korupsi institusional berdampak kepada masyarakat luas serta meletakkan konflik kepentingan sebagai penyebab penting yang harus dihapus.

Ketiga, korupsi institusi mengalihkan fokus dari menghapus individu korup menjadi mengubah peraturan dan prosedur lembaga serta insentif bagi individu yang mungkin tidak korup. Hal ini bisa mengubah jenis kebutuhan untuk menemukan sumber dukungan guna mencegah terjadinya korupsi.

Akhirnya, dengan konsepsi institusionalis, kita bisa menjelaskan dengan lebih baik mengapa korupsi yang tidak individual sulit diidentifikasi. Penyebabnya karena korupsi institusional terkait dengan prosedur dan praktik yang sah dari lembaga-lembaga negara. Para pelakunya sering kali tidak terlihat bahkan mereka tidak sadar telah mendukung korupsi di instansinya.

Karena itu kita perlu memperhatikan segala bentuk pemerintahan yang memungkinkan terjadinya “pengaruh sistemik dan strategis yang legal dan etis” sebagaimana rumusan Lessig. Di Indonesia, pengaruh itu terjadi mulai dari pemilihan kepalada erah hingga lobi swasta-pemerintah yang lebih meluas.

Studi korupsi di Indonesia oleh Baker (2020) maupun Kenny dan Warburton (2021) bisa menjadi rujukan. Studi mereka menemukan bahwa konflik kepentingan di lembaga-lembaga negara di Indonesia terus naik dalam bentuknya yang paling sempurna melalui korupsi institusional. 

Hasil olah data “Simposium Analisis Data Antikorupsi dalam Administrasi Publik” oleh Bank Dunia (2021) terungkap dalam korupsi institusional orang miskin membayar persentase tertinggi dalam pendapatan aktor-aktor korupsi institusional. Orang miskin bahkan mungkin dimangsa para pelakunya, karena mereka dianggap tidak berdaya, bahkan untuk sekadar mengeluh. Sebab, setiap sumber daya atau uang yang dicuri dalam korupsi atau salah arah pemakaiannya akan merampas kesempatan ruang hidup orang miskin.

Berbagai jenis korupsi telah mengikis kepercayaan pemerintah dan merusak kontrak sosial. Hal ini menimbulkan kekhawatiran di seluruh dunia karena korupsi memicu dan melanggengkan ketidaksetaraan dan ketidakpuasan yang mengarah pada ekstremisme kekerasan dan konflik.

Sejauh ini di Indonesia belum ada tanda-tanda upaya membongkar korupsi sistemik dengan mengungkap struktur pemerintahan yang tersembunyi, khususnya peraturan mengenai hubungan dan pertukaran. Karena akuntabilitas tersembunyi dalam transaksi korup, ia menjadi kekuatan besar yang menurunkan efektivitas kontrol maupun penegakan hukum.

Selain itu, belum ada kekuatan yang berlawanan di luar lingkungan korup, misalnya masuknya pesaing “mempromosikan kejujuran” di arena politik, gerakan antikorupsi yang kuat dari bawah maupun penyaluran tekanan oleh opini publik yang berintegritas.

Kita bisa membayangkan besarnya tantangan itu. Tetapi, walau bagaimanapun, pada 2045—setelah 100 tahun Indonesia merdeka—segala bentuk dan jenis korupsi seharusnya tidak ada. Ini mungkin harapan yang muluk. Tapi jika korupsi masih ada bahkan kian meruyak, kita gagal memanfaatkan kemerdekaan.

Benar kata Sukarno, setelah penjajahan dan kolonialisme hilang, perjuangan Indonesia setelah merdeka jauh lebih berat karena melawan bangsa sendiri.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain