Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 28 Februari 2022

Neo-Ekstraktivisme di Wadas

Investasi ekstraktif di Wadas melampaui proses ekstraktivisme. Penambangan batu untuk bendungan Bener yang akan meningkatkan produktivitas pertanian.  

Proyek bendungan Bener yang mengambil batu andesit dari Desa Wadas di Purworejo, Jawa Tengah (Foto: Fransisca Christy/Tempo)

DALAM sebulan terakhir banjir informasi penolakan masyarakat Desa Wadas atas rencana penambangan batu andesit untuk fondasi bendungan Bener di Purworejo, Jawa Tengah. Bendungan tersebut adalah satu dari ratusan proyek strategis nasional dalam Peraturan Presiden Nomor 56 tahun 2018.

Penolakan itu berbuah penangkapan sejumlah penduduk bersama para aktivis yang membelanya pada 8 Februari 2022. Cerita Wadas membawa kita pada pertanyaan: apakah itu cerita yang sama, siklus yang sama, harapan dan kesalahan berulang, atau adakah sesuatu yang lebih spesifik tentang “pengkhianatan” kapitalisme ekstraktif sumber daya alam?

Milenium baru pembangunan berkelanjutan berjanji merehabilitasi kapitalisme ekstraktif sumber daya alam. Artinya, ada kesepakatan transformasi dalam tata kelola global sampai lokal. Setelah dua dekade, faktanya kita masih melihat perampasan, pencabutan hak, dominasi, dan pengucilan mereka yang hidup dalam kelimun ekstraksi sumber daya alam.

Kejadian di Wadas, juga banyak kejadian serupa di tempat lain di waktu lain, bisa berangkat dari urusan-urusan teknis proyek pembangunan, seperti studi lingkungan, pelanggaran prosedur, kurangnya pengawasan. Adakah soal penggunaan kekuasaan yang tidak semestinya dalam hasrat pembangunan nasional?

Dalam The Anthropology of Resource Extraction (2022) yang disunting oleh Lorenzo D’Angelo dan Robert Jan Pijpers, kita bisa memahami bagaimana proyek-proyek kapitalisme melalui proses ekstraktif sumber daya alam acap menimbulkan persoalan seperti di Wadas:

Pertama, proses ekstraktif di dunia terfokus pada tiga tema kunci yang saling berhubungan: heterogenitas, koneksi atau pemutusan dan inklusi atau eksklusi, serta konflik dan perlawanan.

Kedua, penjelasan mengenai heterogenitas terkait dengan aktor, mereka yang membentuk proses ekstraktif, serta membuka apa yang sering direpresentasikan sebagai struktur transnasional. Struktur ini didorong oleh logika akumulasi modal dan perebutan sumber daya alam yang tak terpuaskan, untuk mengungkapkan agen kompleks yang sedang bekerja.

Dalam hal ini, tata kelola industri ekstraktif ditandai oleh proses hibridisasi berkelanjutan. Di dalamnya ada proses formal dan informal, modern dan tradisional, maupun terlibatnya pemerintahan lokal, nasional, dan transnasional.

Proses ini juga memiliki dimensi vertikal yang kompleks, dengan praktik pengaturan ruang permukaan dan yang tersembunyi. Perusahaan yang mengekstraksi sumber daya alam bergeser mengelola infrastruktur kompleks oleh anak perusahaan, kontraktor, dan subkontraktor. Merekalah yang melakukan pekerjaan sebenarnya.

Di sini umumnya terjadi degradasi, tanggung jawab yang menguap, serta bertambahnya kontrak jangka pendek. Ini hanya dua contoh dampak berbahaya bagi lingkungan hidup.

Ketiga, koneksi atau pemutusan serta inklusi atau eksklusi. Melalui proses ekstraksi, komodifikasi, dan kapitalisasi, sistem nilai yang bersaing dalam proses ekstraktif tercipta lalu terkikis dalam konteks yang berbeda.

Koneksi dan pemutusan itu akan mendorong, mengganggu, atau memperkuat proses inklusi dan eksklusi yang selalu menjadi ciri investasi ekstraktif. Hal itu sering digambarkan sebagai tempat terpencil dan liar yang menjadi subjek teknik dan praktik penaklukan. Ini menjadi dasar investasi ekstraktif membagi keuntungan melalui hak istimewa kepada kelompok-kelompok kepentingan. Dalam waktu yang sama mereka mengesampingkan atau membungkam orang lain yang tak menyetujuinya.

Keempat, konflik dan perlawanan. Tema sentral ini, dari perspektif antropologis, telah mengungkapkan seluk-beluk kontestasi yang sering tersembunyi mengenai investasi ekstraktif. Dalam semua pembahasan soal ini, ada peran kunci kekuasaan.

Variasinya bisa kita lihat dari jawaban atas pertanyaan “bagaimana klaim atas kekuasaan”, “bagaimana kekuasaan dilegitimasi, ditetapkan, dijalankan, direproduksi, hingga dikonfigurasikan ulang? Apa bentuk akses dan kontrol atas kekuasaan tersebut? Cara apa yang dikembangkan oleh mereka yang lemah dalam melawan dominasi dan perampasan hak atas nama pengembangan sumber daya alam?

Keempat hal di atas tampak terjadi di Desa Wadas. Padahal industri ekstraktif sebagai cara memajukan kapitalisme predator, kepentingan perusahaan swasta, dan ekonomi neoliberal semestinya tidak berjalan karena tujuan penambangan batu andesit adalah membangun bendungan untuk menaikkan produktivitas pertanian. Maka apa yang terjadi di Wadas mungkin lebih tepat disebut “neo-ekstraktivisme”.

Pendekatan neo-ekstraktivisme berkonotasi pada ideologi ekstraksi bahan mentah secara sosial-politik yang dilegitimasi oleh kebutuhan melawan kemiskinan dan ketidaksetaraan sosial (Brand et al. 2016). Namun, neo-ekstraktivisme juga melahirkan paksaan fungsi ruang hidup yang tak terekam dalam studi lingkungan dan sosial investasi ekstraktif itu.

Ini persoalan yang tak sederhana karena problemnya bukan pada administrasi dan hukum, tapi lebih banyak pada kemauan politik. Dalam tata kelola neo-ekstrativisme di Desa Wadas disebut persoalan jahat (wicked problems). Celakanya, solusi dalam menyelesaikan problem jahat selalu menambah kerumitan persoalannya.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain