Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 31 Januari 2022

Mengapa Ego Sektoral Bukan Pelanggaran Hukum

Ego sektoral acap jadi kambing hitam macetnya pembangunan. Tapi ia bukan pelanggaran hukum.

Bersaing alih-alih koordinasi: ego sektoral (Foto: Jarmoluk/Pixabay)

JIKA Anda ingin membangun kapal, jangan meminta orang untuk mengumpulkan kayu dan memberi mereka pekerjaan. Ajari mereka merindukan laut. Kalimat Antoine de Saint-Exupery terasa benar ketika saya merenungkan mengapa Indonesia seperti mundur dan kita menciptakan kambing hitam bernama ego sektoral.

Dalam rutinitas bekerja, sangat mungkin kita lupa untuk apa atau untuk siapa kita melakukannya. Di balik kata “rutin” diam-diam tersembunyi kedangkalan makna “tugas dan pekerjaan”. Meski, mungkin, kita semakin terampil dengan tugas itu dan mendapat penghargaan yang tinggi.

Maka Saint-Exupery benar. Orang harus diingatkan laut lepas, bukan membuat kapal ketika hendak mencapai tujuan. Laut adalah tantangan pembuat kapal. Sesungguhnya, tantangan adalah nakhoda agar keahlian membuat kapal menjadi acuan untuk selamat. 

Kedangkalan makna itu bisa terjadi akibat hilangnya kesadaran bahwa kita mengerjakan sebuah tugas hanya pada aspek atau fungsi tertentunya saja. Kedangkalan akan menghilangkan minat untuk tahu lapangan, tantangan dan aktor-aktor yang terlibat, lalu kehilangan minat berkoordinasi dengan mereka.

Presiden Joko Widodo pernah mengkritik proyek yang acap tak didukung pembangunan jalan akses dan infrastruktur menuju proyek itu. Misalnya pelabuhan baru tidak memiliki jalan akses ke wilayah sekitar atau proyek bendungan tak diiringi pembangunan jaringan irigasi.

Seluruh penyelesaian masalah dalam pembangunan memerlukan koordinasi. Soal kesehatan, ekonomi, pendidikan, pengembangan usaha, lingkungan hidup, dan banyak lagi lainnya hampir pasti bisa diselesaikan secara tuntas bila ada koordinasi.

Jebakan koordinasi adalah rasa aman. Kita perlu air untuk hidup sehari-hari, tapi jarang mempertanyakan di mana pabriknya, bagaimana mereka mengolahnya. Dengan kata lain, karena air adalah kebutuhan inheren, kita tak jarang menyoal bagaimana air sampai ke tenggorokan kita.

Dalam sebuah pabrik, menggabungkan hasil-hasil kerja yang spesifik itu mudah. Dalam pabrik mobil, berbagai komponen dibuat secara terpisah (sektoral): mesin, ban, listrik, desain. Orang dalam setiap sektor paham mereka penghasil produk antara karena hasil akhirnya adalah mobil.

Mengapa di dalam suatu pabrik mobil tidak ada “ego sektoral” tetapi dalam pembangunan terjadi bertahun-tahun?

Saya mendengar istilah “ego sektoral” sejak mahasiswa tahun 1970-an. Hingga kini, di awal 2022 ini, keluhan terhadap ego sektoral kian banyak. Secara bahasa mungkin istilah ini rancu karena yang mestinya “egoisme sektor”, walaupun tetap saja terdengar kabur maknanya. Kekaburan yang membuat cara menyelesaikannya membuat kita bingung.

Dalam keseharian, tak ada perintah kita harus makan. Karena itu kebutuhan untuk bertahan hidup. Tanpa disuruh, orang akan makan. Dalam organisasi, kita mengeluhkan perintah makan meski pun kita tetap bisa makan. Akibatnya, kita kehilangan penyebab mengapa tak ada perintah makan. Kita pun lupa membuat hukum perintah makan sehingga ketiadaan perintah makan bukan pelanggaran hukum.

Membuat hukum agar ada perintah berkoordinasi memang berlebihan. Karena, seperti makan, ia harusnya kebutuhan karena koordinasi adalah kunci mencapai tujuan. Tiap lembaga adalah sektor, bukan tujuan akhir. Tujuan akhirnya adalah Indonesia maju. 

Sebab, lembaga-lembaga negara terlihat didesain untuk sektornya masing-masing. Ukuran kinerjanya jelas: anggaran habis. Lembaga-lembaga negara dibuat seperti pelari cepat. Mereka berlomba dengan lembaga lain mencapai garis finis. Artinya, antar lembaga adalah kompetitor, khusus dalam urusan menghabiskan anggaran.

Maka ego sektoral adalah anak kandung pemerintah yang kelahirannya disesalkan. Tetapi dari tahun ke tahun anak yang disesalkan hanya diimbau agar perilakunya berubah, dengan tanpa mengubah penyebabnya.

Dampak yang terjadi sungguh mencemaskan. Lembaga negara hanya bertugas membereskan administrasi. Kompetensi memecahkan masalah didelegasikan kepada konsultan atau kontraktor. Dengan mental silo ini, ironisnya, tak ada pasal dalam aturan yang menyalahkannya.

Maka hasil-hasil penelitian menemukan bahwa aktor lebih penting daripada sistem atau struktur atau seluruh regulasi. Setidaknya tiga mahasiswa S3 saya membuktikannya bahwa keberhasilan mewujudkan tujuan organisasi tergantung pada orangnya, bukan sistemnya. Sistem kerja lembaga-lembaga sengaja dibatasi pada saat pertanggungjawaban administrasi, bukan pada pencapaian manfaat. 

Kita berlomba mencegah korupsi, tapi penyebab korupsi tak diurus, seperti meruyaknya konflik kepentingan. Para pemimpin mengimbau inovasi, tapi memaksakan anak buahnya bekerja sesuai prosedur administrasi yang menghambatnya. Yang menyedihkan, dunia berubah tapi peran dan fungsi sebuah lembaga tetap selama 40 tahun.

Di negara lain perbaikan sistem kerja terus diperbarui. Di Inggris masa Tony Blair, ada “whole of government” (WoG) yang dikenal dengan istilah “Joined-Up Government”. Di Australia, Jhon Howard mendorong koalisi sosial antar aktor pemerintah, bisnis, dan kelompok masyarakat. Koalisi sosial ini mendorong penyamaan persepsi terhadap suatu hal sehingga terwujud koordinasi alamiah.

Format kelembagaan dan birokrasi di Indonesia tampak ketinggalan zaman. Padahal aspek ini menjadi kendaraan utama implementasi undang-undang dan pelayanan publik. Konsep-konsep modernisasi kelembagaan dan inovasi birokrasi serta teknologinya, yang bisa mereduksi ego sektoral, pun sudah tersedia. Kurang apalagi? Kemauan menyelesaikan masalah.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain