Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 11 Oktober 2021

Sebenarnya Penelitian Ilmiah Itu untuk Siapa?

Ada kecenderungan peneliti cukup puas jika hasil risetnya tayang di jurnal. Mereka tak tertarik menyebarkan penelitian ilmiah untuk masyarakat karena tak ada penghargaannya.

Mengukur pohon untuk mengetahui kandungan karbon (Foto: Dok. FD)

DALAM Philosophy of Science for Scientists (2016), Lars-GÓ§ran Johansson menulis bahwa sebagian besar artikel hasil penelitian ilmiah di jurnal jarang yang membaca, selain oleh penilai dan editornya. Buku ini menunjukkan beberapa bukti untuk mendukung kenyataan itu.

Menurut Johansson, jarang penulis mengutip hasil penelitian ilmiah. Ada temuan yang menunjukkan hanya sekitar 20% makalah yang benar-benar dibaca oleh pengutipnya. Dengan begitu, sebetulnya, makalah ilmiah tidak bernilai. Karena jika seorang peneliti membaca makalah ilmiah tapi tidak punya alasan merujuknya, tak akan ada perkembangan dalam penelitian.

Tujuan subjektif peneliti menerbitkan makalah biasanya memang cenderung untuk karier kepenelitiannya semata. Mereka cukup senang jika penelitiannya tayang di jurnal ilmiah bergengsi sehingga tak ada usaha menyebarkan hasilnya kepada khalayak yang lebih luas.

Para peneliti biasanya juga menganggap menuliskan hasil riset untuk khalayak umum bukan hal penting. Apalagi, menulis untuk khalayak tak mendapatkan penghargaan di dunia akademis maupun di peneliti.

Seperti yang ditulis Nicholas Kristof dalam New York Times, 15 Februari 2014: “Jika sine qua non untuk kesuksesan akademis adalah publikasi ilmiah, akademisi maupun peneliti hanya akan membuang-buang waktu menulis ide-idenya di media massa.”

Alasan lain tentang rendahnya kemauan akademisi menuliskan pemikiran di media masa, bisa dijelaskan oleh teori “spiral keheningan (spiral of silence)” dari Elisabeth Noelle-Neumann (1916-2010). Ilmuwan politik Jerman itu mengatakan sebagian besar dari kita akan menerima “pemikiran dominan” agar mendapatkan toleransi secara sosial. Akibatnya, banyak peneliti yang memilih diam.

Teori itu menjelaskan bahwa orang dalam posisi minoritas dalam berpendapat, secara psikologis merasa butuh bergabung dengan opini atau preferensi dominan orang banyak. Mereka segan menyatakan pendapat sebagai akibat ketakutan diisolasi secara sosial. Dalam hal ini, Neumann percaya bahwa media—bila selalu menyuarakan opini dominan—bisa mempercepat ke-diam-an minoritas dalam spiral of silence.

Tetapi, di sisi lain, teori spiral itu juga menyatakan bahwa elite sosial-ekonomi dan budaya—akademisi, sastrawan, jurnalis, politisi, penulis, dan lainnya—yang berani berbicara dengan pemikiran yang tidak dominan, juga bisa diterima masyarakat. Perdebatan sains versus agama hingga pembelaan hak-hak sipil sudah terjadi sejak lama. Hingga kini, teori itu disebut pembentukan opini publik.

Neumann melihat opini publik sebagai suatu proses sosial. Sebab individu selalu berinteraksi dengan lingkungan sosial. Dengan pandangan ini, ia menolak anggapan mereka yang melihat opini sebagai kumpulan pendapat individu.

Menurut Neumann, opini publik harus dilihat sebagai interaksi antara opini pribadi dengan opini yang berkembang dalam masyarakat. Individu cenderung memeriksa dan menyesuaikan opini pribadi dengan lingkungan sosial. Proses terbentuknya opini publik digambarkan seperti sebuah spiral, yang makin lama makin membesar (Eriyanto, 2012).

Meski begitu, pada kondisi tertentu dan bila dapat mengatasi fenomena spiral keheningan itu, akademisi atau peneliti tidak punya ruang mengekspresikan pendapat secara terbuka kepada publik. Saya pernah mendapat pengakuan dari seorang akademisi yang terpaksa harus pindah tempat kerja karena mendapatkan tekanan dari kampusnya karena menyuarakan pendapat di ruang publik.

Seorang peneliti lain bercerita lembaganya melarang ia mengambil responden masyarakat dan LSM ketika menulis konflik sosial. Responden yang disetujui hanya pegawai pemerintahan pusat dan daerah. Terus terang saya kaget mendengar pengakuan ini. Pengetahuan apa yang sesungguhnya ingin diperoleh dari cara penelitian yang memakai anggaran negara dengan cara seperti itu?

Berbagai kenyataan di atas menunjukkan bahwa secara struktural ekosistem penelitian ilmiah tidak memberi insentif bagi mengalirnya pengetahuan untuk masyarakat. Padahal kita tahu warga negara yang berpengetahuan akan kuat menghadapi tantangannya sendiri. Sebab, pengetahuan adalah kekuatan. 

Para akademisi dan peneliti pun sibuk dengan urusan menulis di jurnal bagi kalangannya sendiri. Mereka yang mengolah hasil penelitian ilmiah memakai bahasa yang lebih mudah dipahami awam tak cukup mendapatkan penghargaan.

Di sisi lain, hasil penelitian dianggap sebagai temuan yang mengganggu kepentingan tertentu. Bahkan ada banyak penelitian ilmiah yang sejak awal sudah diarahkan hasilnya, melalui rekayasa metode untuk membatasi sumber data dan informasi. Hal ini bisa terjadi karena penelitian ilmiah dianggap hanya kegiatan administrasi, bukan kegiatan untuk memperoleh pengetahuan baru.

Berbagai masalah struktural  ini seyogianya menjadi bagian dari perbaikan ekosistem riset. Akademisi dan peneliti akan lebih produktif apabila mereka diposisikan sebagai bagian dari masyarakat, konsumen dan pengguna utama penelitian ilmiah. Dengan posisi itu, mereka akan punya kewajiban menyebarkan hasil riset kepada lingkungannya secara bertanggung jawab dan tuntutan menyampaikannya dengan bahasa yang mudah dicerna.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain