Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 16 Agustus 2021

Merdeka dari Belenggu Legalitas

Renungan Hari Kemerdekaan. Kita masih terbelenggu oleh legitimasi ruang hidup dalam mengelola sumber daya alam setelah 76 tahun Indonesia merdeka.

Peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia (Foto: Dok. FD)

DALAM perbincangan Ahad malam lalu dengan beberapa informan penelitian selama lima tahun terakhir, terselip diskusi cukup serius mengenai kriminalisasi masyarakat dan petani yang berkait erat dengan hak-hak atas tanah. Perbincangan itu sampai pada percakapan soal renungan Hari Kemerdekaan, setelah 76 tahun Indonesia merdeka dari penjajahan bangsa lain. 

Fokus obrolan kami kemudian pada makna legalitas pengelolaan sumber daya alam dengan dampak ikutannya, sampai ke soal politik hukum. Ini sesuatu yang tak mudah karena kebanyakan orang terbiasa dengan pemaknaan positivistik hukum.

Ada jargon bahwa hukum harus dipatuhi, walau dalam praktiknya, hukum direduksi menjadi surat keputusan. Surat itu menyatakan suatu izin atau hak memanfaatkan atau menggunakan sumber daya—dalam hal ini tanah atau hutan negara—sah secara eksklusif. Akibatnya, hak orang lain atau kesempatan orang lain untuk memperolah izin atau hak di dalam sumber daya yang sama menjadi hilang. 

Ada beberapa hal yang terjadi di lapangan untuk melihat apa yang dimaksud dengan legalitas, bukan sebagai suatu konsep, tetapi dalam pemakaiannya:

Pertama, surat atau bukti tertulis bisa jadi simbol negara dengan berbagai macam bentuk perlindungannya. Maka tidak heran bila sangat sedikit, terutama investor dan pemberi izin, yang peduli dengan proses dan pengakuan secara sosial mendapatkannya. Kebutuhan semacam itu bisa disubstitusi oleh peran aparat keamanan untuk mempertahankannya. 

Kedua, kebenaran hukum positif menjadi mutlak dan hanya bisa dibatalkan oleh pihak yang mengeluarkannya atau pengadilan. Konsekuensinya, apabila bisa menguasai dan “memegang” mereka, bukti tertulis itu menjadi mutlak secara total, tanpa bisa diubah oleh siapa pun. 

Fakta ini menjadi argumen mengapa di wilayah-wilayah kaya sumber daya alam pemberi izin umumnya enggan memantau dan mengawasi izin yang telah mereka terbitkan. Kasus evaluasi perizinan kebun sawit di Papua Barat yang sedang berjalan mengonfirmasi kenyataan seperti ini.

Dalam berbagai praktik, bila cara memperoleh izin atau hak itu tidak memenuhi proses legitimasi tertentu, izin tetap terbit karena ditopang kekuatan politik, bukan oleh kekuatan hukum. 

Dua kenyataan di atas menjadi bagian dari akar masalah mengapa daftar inventarisasi konflik hak atas lahan/hutan terus bertambah. Sudah menjadi rahasia umum bukti kokohnya surat izin tidak legitimatif ini yang melahirkan berbagi bentuk kriminalisasi. 

Dalam kenyataannya, penetapan legalitas pengukuhan kawasan hutan juga tidak legitimatif, sebagaimana terungkap dalam webinar Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kantor Staf Presiden pada 21 Juli 2021. Dalam tiap keputusan pengukuhan kawasan hutan selalu ada klausul klaim pihak ketiga dalam hak lahan akan diselesaikan di kemudian hari. Dengan begitu, penetapan pengukuhan kawasan hutan di seluruh Indonesia baru memenuhi proses administratif, belum sampai pada penyelesaian hak-hak yang masih ada di dalam kawasan hutan negara.

Arena aksi pada setiap tipologi konflik lahan atau hutan pernah dipaparkan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia pada 2014-2015, berupa hasil studi inkuiri nasional masalah hutan adat dalam kawasan hutan negara. Dari 40 kasus, hanya satu yang selesai oleh pihak-pihak yang mempunyai kewenangan dan telah diidentifikasi dalam arena aksi itu.

Kenyataan itu menunjukkan bahwa penyelesaian legalitas sekaligus legitimasi tidak diperlukan sebagai masalah publik, sepanjang sektor private bisa memegang dominasi menyelesaikannya. 

Marko Milanovic dalam Illegal but Legitimate? (2017), mengingatkan ketika kita beroperasi dalam kerangka positivis, bahkan bentuk positivisme yang paling ringan sekalipun, berlaku “sesuatu yang halal belum tentu adil”. Karena kita diberkahi dengan kehendak bebas, lanjut Milanovic, agar bisa memilih melanggar hukum demi pertimbangan moral dan keadilan tingkat tinggi—jika kita bersedia membayar harga ketidakpatuhannya.

Argumen Milanovic itu diambil dari film Richard Attenborough, Gandhi. Ketika Mahatma Gandhi diadili pada 1922 karena mendorong ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintah Inggris di India, yang memicu pecahnya kekerasan besar, ia berkata:

“Ini adalah tugas yang menyakitkan bagi saya, tetapi saya harus bertanggung jawab dan saya ingin mendukung semua kesalahan yang telah dilemparkan oleh advokat Jenderal yang terpelajar ke pundak saya sehubungan dengan banyaknya kejadian kekerasan.

Non-kekerasan adalah pasal pertama keyakinan saya. Tapi saya harus membuat pilihan: apakah saya harus tunduk pada sistem yang saya anggap telah melakukan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki pada negara saya atau menanggung risiko kemarahan besar rakyat saya, ketika mereka memahami kebenaran dari bibir saya.

Saya tidak meminta belas kasihan atas pilihan saya. Saya tidak memohon keringanan apa pun. Saya di sini mengundang dan tunduk pada hukuman tertinggi yang dapat dijatuhkan kepada saya, tetapi (pilihan saya) itu menurut saya merupakan kewajiban tertinggi seorang warga negara.

Satu-satunya jalan yang terbuka bagi Anda, hakim, adalah baiknya mengundurkan diri dari jabatan Anda, atau memberikan hukuman terberat kepada saya jika Anda yakin bahwa sistem dan hukum yang Anda bantu atur untuk orang-orang adalah baik.”

Gandhi, dengan demikian, menerima tanggung jawab melanggar hukum, sambil mengekspos hukum itu sebagai aturan yang tidak adil. Ia memberi tahu hakim bahwa ketidakadilan yang akan ditimbulkan oleh hukuman harus membuatnya mempertimbangkan untuk mengundurkan diri dari jabatannya.

Setelah 76 tahun Indonesia merdeka, masih banyak orang tidak berdaya di berbagai pelosok negeri yang kaya sumber daya alam ini. Sampai hari ini belenggu legalitas masih menghinggapi ruang hidup yang menjadi andalan mereka satu-satunya, agar bisa bertahan sebagai warga negara yang layak. Mereka butuh kemerdekaan justru dari belenggu legalitas oleh negara. Yaitu legalitas dengan menghilangkan legitimasinya.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain