Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 17 Agustus 2020

Renungan di Hari Kemerdekaan

Dirgahayu Indonesia ke-75. Kita belum merdeka secara substansial. Sebuah renungan di hari kemerdekaan, terutama menyangkut keadilan memanfaatkan sumber daya alam.

Dirgahayu Indonesia.

DI tiap Hari Kemerdekaan, saya selalu ingat Leo Imam Sukarno atau lebih dikenal sebagai Leo Kristi (1949-2017). Musisi pengelana yang biasa tampil dalam konser di suasana hari kemerdekaan. Saya pernah menonton konsernya ketika peringatan kemerdekaan ke-71 di Jakarta. Bertajuk “Tanah Merdeka Bukit Bersemi”, Leo menggebrak panggung dengan 48 lagu, dengan tong penyangga kaki yang menjadi ciri khasnya.

Saya kenal lagu-lagunya pada 1980-an. Para penggemarnya tentu tak asing dengan “Salam dari Desa”, lagu dengan lirik yang mempesona:

Kalau ke kota esok pagi,
sampaikan salam rinduku,
katakan padanya:
padi-padi telah kembang
ani-ani seluas padang,
roda giling berputar-putar,
siang malam.
Tapi bukan kami punya..

Kalau ke kota esok pagi,
sampaikan salam rinduku,
katakan padanya:
tebu-tebu telah kembang,
putih-putih seluas padang,
roda lori berputar-putar,
siang malam.
Tapi bukan kami punya..

Jadi, apa artinya kemerdekaan?

Dari perspektif politik, ekonomi maupun sosial, kemerdekaan atau kebebasan punya penjelasan berbeda, walaupun bermakna serupa. Berikut ini pendapat beberapa ahli mengenai pengertian kemerdekaan yang terkait satu sama lain.

Kemerdekaan telah menjadi konsep sentral dalam sejarah dan pemikiran politik dan salah satu fitur terpenting bagi masyarakat demokratis. Kemerdekaan berupa kebebasan dari penindasan atau paksaan, tidak adanya kondisi yang melumpuhkan individu dan pemenuhan kondisi yang memungkinkan atau tidak adanya pemaksaan, misalnya tekanan ekonomi.

Kemerdekaan juga berupa kemampuan masyarakat mengambil tindakan ekonomi dengan pendekatan kebebasan yang berasal dari tradisi liberal dengan menekankan pasar dan perdagangan bebas, serta kepemilikan pribadi di bawah usaha bebas. Pendekatan lain untuk kebebasan ekonomi memperluas pengertiannya menjadi ekonomi kesejahteraan dari pilihan individu, dengan kebebasan ekonomi lebih besar datang dari serangkaian pilihan yang mungkin. Dalam hal ini, kebebasan ekonomi termasuk kebebasan terlibat dalam perundingan bersama.

Secara sosial kemerdekaan berupa karakteristik masyarakat terbuka, individu atau kelompok merasa terbuka dengan pendapat maupun prasangka mereka. Soal kebenaran dalam kemerdekaan secara sosial ini ahli filsafat politik John Stuart Mill (1806-1873) menyatakan, “Bila ada satu orang beda pendapat, tidak akan dibenarkan membungkamnya, daripada bila satu orang itu memiliki kekuasaan membungkam seluruh umat manusia”.

Sementara itu, ahli filsafat, sosial dan politik, Jerman-Amerika, Herbert Marcuse, dalam esainya Repressive Tolerance (1969), menyebut ada perbedaan antara kekerasan revolusioner dan kekerasan reaksioner, antara kekerasan oleh mereka yang tertindas dan oleh para penindas. Dari segi etika, kedua bentuk kekerasan itu tidak manusiawi dan jahat, tetapi, kata Marcuse: “Sejak kapan sejarah dibuat sesuai dengan standar etika?” Untuk itu fungsi dan nilai toleransi bergantung pada kondisi masyarakat yang mempraktikkannya.

Dari berbagai tinjauan mengenai makna kemerdekaan itu, tampak bahwa secara substansial kemerdekaan bukanlah dimulai saat Soekarno-Hatta membacakan naskah Proklamasi. Kemerdekaan menjadi prasyarat, tapi bukan kemerdekaan substansial yang sesungguhnya. Negara masih punya pekerjaan rumah menerobos berbagai tantangan.

Dalam kondisi sosial-politik saat ini, ketersediaan kebebasan secara tekstual tidak berarti mewujudkan kemerdekaan substansial tersebut. Misalnya, dengan tersedianya kekebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan yang terdapat Undang-Undang Pendidikan Tinggi, Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional maupun Undang-undang Guru dan Dosen, belum bisa tercapai dengan gencarnya kebebasan dan mimbar akademik di ruang-ruang publik.

Sebab ruang publik itu sendiri sudah tidak bebas. Akhir-akhir ini berbagai upaya kriminalisasi, di dalam atau di luar kampus, marak terjadi. Meski tidak menjadi alasan surutnya pelaku kebebasan akademik, kriminalisasi telah mencabut akar kritik. Kondisi demikian itu tentu tidak akan segera melahirkan nuansa kebebasan akademik.

Alasan kedua, pada umumnya pemanfaat kebebasan dan mimbar akademik, tak diproduksi oleh sistem sosial, tapi lebih sebagai hasil perjalanan individu yang melampaui pagar-pagar pembatas lingkungannya. Saya ingat pada akhir 1980-an, bersama beberapa dosen, kami merasa perlu bergabung dengan berbagai jaringan organisasi non-pemerintah pecinta lingkungan ketika semua dekan Fakultas Kehutanan menjadi tenaga ahli pengusaha terkenal yang dekat dengan Istana Negara.

Pada saat itu, praktik-praktik kerja di lapangan—terutama di pusat-pusat pemanfaatan kekayaan sumber daya alam—fungsi negara maupun profesional terasa paradoksal. Tindakan mereka yang didasarkan oleh pemikiran akademis-logis-legal hanya menjadi dalih belaka untuk melindungi tujuan kelompok yang membayar mereka.

Ada anggapan, atau pemikiran yang disebarkan, bahwa kesalahan merupakan perbuatan organisasi, bukan individu. Seragam itulah yang membuat keputusan-keputusan itu keliru. Mereka memburukkan nama lembaga untuk menguatkan eksistensi kelompoknya. Aset dan kebijakan negara dibelokkan untuk melindungi dan menguntungkan kelompok mereka.

Kini setelah tiga puluh tahun, alih-alih membaik, justru semakin terlihat membela logika dan kebenaran dengan landasan sosial budaya, agama, maupun pendidikan kian dangkal karena tak ada lagi ruh perjuangan. Karena itu tidak mengherankan jika tidak ada kehendak membebaskan masyarakat dari ketidak-adilan pemanfaatan sumberdaya alam. Karena jiwa dan dasar pemikirannya sudah terikat dan menjadi bagian dari ilmu-logika-legalitas yang menopang ketidak-adilan itu sendiri.

Maka, bentuk perjuangan saat ini adalah perjuangan melawan isi jiwa dan pikiran dengan mengalahkan logika yang dangkal itu. Secara gamblang penyair W.S Rendra dan Gus Dur membuat pernyataan seperti ini:

Apakah artinya kesenian bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir bila terpisah dari masalah kehidupan
~ W.S Rendra 

Tuhan tidak perlu dibela, Dia sudah maha segalanya. Belalah mereka yang diperlakukan tidak adil.
~ Gus Dur

Atau Buya HAMKA: 

Kalau hidup sekadar hidup, babi di hutan juga hidup.
Kalau bekerja sekadar bekerja, kera juga bekerja
~ Buya HAMKA

Saya jadi semakin rindu dengan semangat membara lagu-lagu Leo Kristi yang menukik ke dalam inti dan esensi kehidupan. Dirgahayu Indonesia!

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain