Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 07 Juni 2021

Problem Utama Pembuatan Kebijakan di Indonesia

Tampak sederhana: solusi atau kebijakan mesti berangkat dari masalah yang benar. Ajaib: hal sederhana ini menjadi rumit dalam pembuatan kebijakan di Indonesia.

Merumuskan masalah untuk mencari solusi yang tepat (Ilustrasi: Z. Rainey/Pixabay)

MASALAH yang disampaikan dengan benar akan menjawab separuh persoalan, kata filsuf Amerika, John Dewey (1859 –1952). Fisikawan Albert Einstein (1879–1955) sekali waktu pernah ditanya: apabila ia punya 1 jam untuk menyelamatkan dunia, bagaimana ia memanfaatkannya? Ia mengatakan, “Saya akan menghabiskan 55 menit untuk merumuskan masalah dan 5 menit untuk memecahkannya”.

Dari keduanya kita bisa belajar bahwa orang atau organisasi atau lembaga yang berhasil, pertama-tama, adalah mereka yang mampu menetapkan dan merumuskan masalah. Sebab, tindakan dan keputusan yang berangkat dari masalah yang benar akan menciptakan solusi yang efektif dan efisien.

Secara umum masalah terjadi apabila ada perbedaan antara situasi faktual dengan keadaan yang kita inginkan. Dalam The Unbounded Mind: Breaking the Chains of Traditional Business Thinking (2011), Mittroff dan Linstone menulis:

“Apa yang kita sebut sebagai “masalah” bukan hanya merefleksikan nilai-nilai (values) tetapi juga komitmen etis, yakni apa yang kita percayai seharusnya tidak terjadi. Dalam realitas sosial, sesuatu dianggap masalah apabila hal tersebut tidak kita inginkan. Dengan demikian, kesenjangan antara apa yang kita harapkan dan apa yang bisa kita penuhi tidak hanya kita tetapkan atas pertimbangan sederhana, melainkan di dalamnya mengandung kesenjangan etika. Pertimbangan etika, oleh karena itu, memainkan peranan fundamental dalam menetapkan masalah dan cara kita menentukannya”.

Dalam realitas kehidupan sosial-politik, berbagai masalah muncul berupa pilihan-pilihan yang perlu “gambar besar” untuk kita pahami. Sebut saja deforestasi. Apakah deforestasi terjadi karena penyebab langsung di lapangan, misalnya, penebangan ilegal, pertanian, perambahan hutan, atau penyebab tak langsung semacam lemahnya penegakkan hukum, rendahnya kapasitas lembaga negara, atau mungkin korupsi ? 

Penentuan masalah krusial penyebab deforestasi akan menentukan bagaimana kita mencegah dan menanganinya. Kebijakan, otoritas, anggaran, akan ditentukan bagaimana kita memilih masalah itu. Jika kita pilih, misalnya, deforestasi akibat korupsi, kebijakan yang kita ambil adalah tindakan hukum. Bila penyebabnya pertanian oleh masyarakat yang tidak punya lahan, solusinya bisa perhutanan sosial atau reforma agraria.

Contoh lain jika masalah yang kita temukan adalah kekeringan sehingga tanaman pertanian telantar. Kita akan menghadapi pelbagai pilihan penyebab: berkurangnya curah hujan atau hutan di sekitarnya yang gundul? Jika curah hujan berkurang, solusinya penampungan air. Jika karena hutan dan gunung gundul, jalan keluarnya rehabilitasi.

Pemilihan masalah tentu akan menguntungkan pihak tertentu. Jika kekeringan kita selesaikan dengan rehabilitasi lahan, kontraktor dam tak akan mendapatkan proyek, investasi besar menjadi tak perlu. Tapi rehabilitasi lahan membutuhkan partisipasi masyarakat sehingga ada ongkos sosial dan pendekatan humanisme.

Geoffrey Vickers dalam The Art of Judgment: A Study of Policy Making (1995) menggunakan istilah “apresiasi”, yaitu pemahaman atas situasi dalam dua tahap proses dalam menentukan masalah dan kebijakan penyelesaiannya.

Pertama, apresiasi atau penilaian terhadap fakta menyeluruh yang terjadi. Dalam hal ini bukan hanya fakta fisik lapangan, tetapi juga fakta sosial-politik untuk menafsirkan siapa yang akan diuntungkan. Kedua, apresiasi atau penilaian terhadap relevansi fakta tersebut terhadap fenomena yang terjadi. Maka perlu kita jawab, misalnya, jika ada pertanyaan, pelestarian fungsi hutan konservasi itu untuk kepentingan siapa?

Karena itu nilai atau etika muncul sejak kita merumuskan dan menetapkan masalah sebagai dasar membuat kebijakan. Seperti dalam merumuskan solusi, merumuskan masalah juga perlu keahlian serta nilai/etika. Bila proses perumusan masalah mengabaikannya, pengambil keputusan akan memecahkan masalah yang keliru secara etis.

Biasanya, perumusan dan penetapan masalah yang keliru menghasilkan ketidakjelasan langkah-langkah penyelesaiannya. Masalah-masalah tersebut cenderung hanya merupakan gejala-gejala atau rumusan masalah yang keliru.

Solusi untuk masalah yang keliru biasanya hanya berdampak tunggal. Pengelolaan hutan bisa lestari tapi tak adil, meski programnya dianggap selesai karena pertanggungjawaban administrasinya beres. Dengan demikian, tidak tersedia kesempatan untuk melaksanakan coba dan salah.

Para pengambil keputusan tidak punya kesempatan berbuat “salah yang bermakna” dan kemudian belajar darinya. Karena yang dilakukan hanya memperhatikan keadaan atau kondisi yang dianggap sebagai masalah dan dipecahkan, tetapi tidak memecahkan masalah yang sesungguhnya.

Banyak ahli kebijakan publik berpendapat bahwa formulasi masalah dan langkah-langkah yang perlu dilakukan tersebut tidak banyak dipahami oleh para pengambil keputusan. Formulasi masalah yang menghasilkan masalah yang keliru secara etis cenderung menjadi kebiasaan dan cukup sulit untuk mengatasinya.

Memimpin rapat untuk menentukan masalah, dengan gaya kepemimpinan dan informasi yang itu-itu juga, biasanya tidak menghasilkan inovasi penetapan masalah dengan benar. Untuk setiap situasi kompleks menghadapinya dengan formulasi masalah secara sederhana–terlalu cepat dirumuskan dan terlalu dangkal kerangka pikir yang digunakan.

Ada lima faktor penyebab para pengambil keputusan terjebak pada kesalahan menetapkan masalah, yaitu: konsultasi dengan orang-orang yang tidak tepat, selalu berkaca pada masalah di masa lalu, lebih memperhatikan gejala daripada penyebabnya, terlalu banyak berpikir struktural dan administrasi daripada fungsional sesuai kondisi lapangan, serta hanya terfokus pada bidang atau unit kerjanya sendiri. 

Terkait hal itu, rapat–sebagai ajang pengambilan keputusan–biasanya menjadi sekadar ritual atau gerakan refleks dengan agenda seadanya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang keliru.

Pertanyaan-pertanyaan yang keliru acap juga terjadi di dunia penelitian. Para peneliti sering kali menjawab pertanyaan mereka sendiri dan bukan pertanyaan di dunia nyata yang menjadi topik penelitiannya. Mereka acap tidak merasa perlu komunikasi dengan pelaku-pelaku atau bahkan tidak merasa perlu membaca referensi dan langsung merumuskan pertanyaan penelitian sesuai apa yang dipikirkannya. William N. Dunn, ahli kebijakan publik, menyebut kondisi itu sebagai “pemikiran logis tetapi tidak terpakai”.

Dalam kasus pengambilan keputusan untuk membuat aturan, lima faktor di atas paling banyak terjadi. Akibatnya, ini sering terjadi, kebijakan diarahkan lebih banyak ke arah kesesuaian hukum, padahal secara substansial lemah. Bahkan acap kali peraturan sebagai solusi tidak punya hubungan dengan penyebab terjadinya persoalan. 

Maka tak heran jika banyak peraturan terbit dengan logikanya sendiri, tidak terkait dengan peristiwa yang harus diintervensinya. Regulator merasa harus masuk ke wilayah operator hanya karena alasan ada kewenangan untuk itu, tanpa secara kritis mempertanyakan tujuan dan hasilnya.

Lebih celaka lagi, pembuatan peraturan menjadi tujuan akhir sebagai solusi. Alih-alih masalahnya selesai, peraturan semacam itu malah menimbulkan masalah baru, yakni tambahan birokrasi. Persoalan pun tetap menjadi masalah, bahkan bertambah. Dengan begitu, peraturan dibuat hanya karena tuntutan birokrasi. 

Jika situasi yang saya paparkan ini tampak buntu, kita perlu mengubah cara berpikir. Bahkan berpikir ulang mengenai berbagai bentuk kebiasaan dan konsensus terkait menentukan dan cara menyelesaikan masalah tersebut. Keluar dan lihatlah sekeliling. Tengok keadaan yang sebenarnya. 

Suasana kerja sehari-hari yang menjadi tempat nyaman bisa mendorong kita lupa bahwa berpikir kritis untuk pembaruan itu penting dan perlu. Pembaruan, kata John F. Kennedy, adalah hukum kehidupan.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain