Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 05 April 2021

Korupsi sebagai Hama dan Penyakit

Pelbagai ilmu pengetahuan belum terintegrasi dengan ilmu mencegah korupsi. Padahal ia biang segala masalah.

Jerat korupsi (Ilustrasi: FD)

DALAM ilmu pertanian, ada cabang ilmu hama dan penyakit tanaman. Pada ilmu-ilmu sosial dan perilaku masyarakat juga ada ilmu kriminologi. Demikian pula, dalam kelas-kelas yang membahas aspek kesehatan, ada pelbagai ilmu yang mengobati jenis “sakit”: sakit gigi, jantung, ginjal, sampai sakit jiwa. 

Tapi mengapa dalam ilmu ekonomi tak ada cabang ilmu yang mempelajari bagaimana mengobati korupsi? Atau ilmu memberantas korupsi sebagai bagian dari ilmu administrasi negara dan ilmu hukum? Padahal setara dengan ilmu hama dan penyakit tanaman di pertanian atau ilmu “sakit” secara sosial, korupsi “hidup” dan membawa penyakit, yang terbukti menggerogoti kemaslahatan manusia.

Korupsi berkembang-biak, melalui berbagai jaringan, direproduksi secara politik, diturunkan secara sosial maupun struktural, sehingga patut menjadi variabel penting dalam berbagai rumpun ilmu pengetahuan. Dalam Paying Bribes in Indonesia: A survey of business corruption, Paul Kenny and Eve Warburton menyebut korupsi menjadi ciri hubungan negara-bisnis sepanjang sejarah Indonesia, dan telah menjadi endemik sejak Orde Baru.

Pada era itu, birokrat didorong untuk memperlakukan kantor mereka seperti “waralaba”, membangun jaringan klien sektor swasta dan rekan pribadi yang mereka fasilitasi adanya kontrak pemerintah yang menguntungkan, izin impor, atau peluang untuk bermitra dengan investor asing.

Dalam Fraud and Corruption: Major Types, Prevention, and Control, yang disunting Kratcoski dan Edelbacher (2018), ada rumusan untuk terlibat dalam korupsi, seseorang harus memegang posisi kekuasaan yang bisa memberi orang lain kesempatan menyalahgunakan posisinya untuk mengambil tindakan pada hal-hal yang berkaitan dengan tanggung jawab posisi tersebut.

Itu berarti di balik kegagalan pembangunan akibat korupsi ada suatu desain yang sudah direncanakan, berjejaring, dipelihara dan diturunkan secara struktural. Ironisnya, kelindan itu tidak memiliki “jarak sosial” seperti terorisme. Jaringan korupsi berada di tengah keseharian kita, perilakunya dekat dengan hidup tiap orang. Barangkali pelakunya sudah tergolong aktivitas “pseudo legal”.

Dalam buku itu ada yang disebut “teori kenyamanan” yang menjelaskan bagaimana korupsi akhirnya menjadi bagian dari tradisi dan budaya birokrasi. Tak mengherankan ada korupsi bencana alam. Korupsi menjadi bagian dari risiko sebagaimana kita mengenal risiko bisnis. Dalam ketidaknormalan administrasi ketika bencana, risiko korupsi menjadi rendah sehingga peluangnya menjadi lebar.
Dalam banyak penelitian sudah terbukti negara dengan tingkat korupsi tinggi umumnya memiliki tradisi demokrasi yang rendah. Akibatnya, transisi demokrasi di negara berkembang selalu diwarnai dengan korupsi.

Dulu, para raja yang menganut gagasan “hak Ilahi” percaya bahwa kekuatan mereka datang langsung dari Tuhan, sehingga masyarakat tak perlu mempertanyakan tindakannya. Sekarang, dengan motivasi yang sama, penguasa dan pejabat negara menyamarkan tindakan korupsinya sebagai perbuatan yang bermanfaat. Standar dalam aturan pun diturunkan sehingga “perbuatan bermanfaat” itu lolos dari jerat pemberantasannya.

Bagaimana korupsi menjadi ilmu pengetahuan? Semestinya sederhana saja. Korupsi adalah bentuk penyimpangan perilaku sosial. Ilmu pengetahuan bisa menggali penyebab korupsi dari tersembunyi menjadi terbuka, untuk mencari cara mencegah dan memberantasnya.

Hama dan penyakit tanaman pertanian, menurut seorang kolega, berkembang akibat tanaman pertanian yang tidak sehat. Penyakit tanaman berkembang akibat adanya tanaman inang, patogen maupun kondisi lingkungan yang kondusif. Bukankah korupsi juga berkembangan dengan cara yang sama?

Dalam ilmu ekonomi ada berbagai alternatif mewujudkan efisiensi, optimasi hasil dari berbagai kendala, juga bagaimana bentuk intervensi negara atas ketidakseimbangan “power” yang bekerja di pasar, agar alokasi barang dan jasa berjalan secara adil. Berbagai instrumen itu sudah pasti gagal apabila ada korupsi. Karena itu mengapa korupsi tak dibicarakan dalam proses itu?

Seseorang atau sekelompok orang yang terjebak dalam lingkungan korup akan menghadapi dilema antara etika dan “kebijakan” yang bertentangan. Atau dua standar dan nilai etika berbeda yang bertentangan dalam situasi tertentu. Ketika menghadapi dilema itu, membuat keputusan akan sulit. Sehingga solusi menghadapinya perlu telaah ilmu pengetahuan agar menjadi pedoman dalam mencegah dilema itu terjadi.

Lane dan Pritzker, dalam Political Social Work: Using Power to Create Social Change (2018), menjelaskan persoalan dilema etis itu. Jarang ada dilema yang “jelas secara etis atau jelas bukan urusan etis”. Maka, dalam dilema selalu “tidak ada jawaban yang benar karena yang muncul adalah pilihan. Kita bertanggung jawab atas—dan harus hidup dengan—keputusan atau pilihan itu”. 

Jika kondisinya seperti itu, bagaimana jika kita membuat pilihan yang bertentangan dengan tujuan dan norma publik?

Apabila korupsi tak selalu sama dengan definisi undang-undang, ilmu mencegah korupsi bisa fleksibel karena berangkat dari masalah-masalah nyata yang kita hadapi. Sebab dilema etis memerlukan keputusan etis. Maka pelbagai ilmu mesti mempelajari korupsi sebagai “hama dan penyakit” yang akan menghambat proses ideal yang dipelajari dalam ilmu-ilmu tersebut. 

Dengan begitu, korupsi akan dilihat sebagai bagian dari desain institusi. Secara politik dan ekonomi akan melahirkan metodologi untuk mencegahnya. Dengan metodologi, korupsi bisa dipelajari secara empiris perbandingan keberhasilan dan kegagalannya, seperti kita belajar ilmu hama dan penyakit tanaman. Pada akhirnya, mencegah korupsi bisa ditakar dan masyarakat bisa terlibat mencegahnya.

Sebagai suatu pengetahuan sosial, ekonomi maupun politik, yang melekat pada hampir seluruh sendi kehidupan, ilmu pengetahuan mengenai korupsi seharusnya menjadi bagian proses pendidikan dan pengajaran, aktivitas kebudayaan maupun program-program negara. Mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial, menjaga sumber daya alam, mempererat ikatan kebangsaan buyar karena ada korupsi.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain