Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 22 Maret 2021

Runtuhnya Etika Mengelola Sumber Daya Alam

Kriminalisasi masyarakat adat dan tumpang tindih izin pengelolaan sumber daya alam contoh nyata erosi etika pengetahuan. Perlu gerakan sosial menegakkannya kembali.

Etika pengelolaan sumber daya alam (Ilustrasi: Shutterstock)

AKHIR-akhir ini ada banyak peristiwa yang berkaitan dengan etika. Di perguruan tinggi banyak kasus plagiarisme oleh pejabat kampus yang masih aktif, obral gelar doktor honoris causa, atau kriminalisasi terhadap dosen dan mahasiswa yang kritis memakai Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Di tengah pelbagai kasus di lembaga pendidikan ini, kita masih harus pula menerima kenyataan ada menteri yang korupsi untuk membiayai kemewahan hidup, mengambil hak mereka yang miskin. Di sisi lain, negara terus menerus merampas ruang hidup atas nama investasi.

Merespons pelbagai soal itu, pekan lalu Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) menyelenggarakan webinar yang membedah seputar isu etika. Saya diundang dan menyampaikan suatu perspektif dari persoalan tata kelola dalam pengelolaan sumber daya alam (PSDA).

Saya mencoba meletakkan etika bukan sebagai sesuatu yang berada di atas kerangka pikir ilmu pengetahuan—yang seolah-olah menjadi “jimat” yang sewaktu-waktu dapat diunduh untuk mengobati penggunaan ilmu pengetahuan yang sedang sakit—tetapi etika yang dipraktikkan dalam keseharian. 

Di dunia akademis maupun masyarakat luas, juga berbagai bentuk pendidikan dengan sebutan lain—seperti school, education, pedagogy, andragogy, madrasah, pesantren—sudah diisi oleh pengertian etika yang sejalan dengan tingkatan usia peserta pendidikan maupun peranannya dalam kehidupan. Masalahnya, terlalu berat bagi seseorang atau sekelompok orang menanggung beban menjaga etika ketika tekanan—baik yang bersifat struktural maupun kekuatan eksternal—begitu besar.

Kita ambil contoh peneliti. Di tengah proses penelitiannya, mereka dibebani tekanan administrasi dengan harus mempertanggungjawabkan dana penelitian, padahal dana itu belum mereka terima. Para peneliti harus mampu mereka-reka penggunaan uang dengan bukti-buktinya, padahal uangnya belum ada.

Dalam kasus lain, seorang peneliti harus menerima nasib risetnya tak bisa dipublikasikan karena hasilnya tidak sesuai dengan kebijakan lembaganya. Atau, para peneliti yang peduli terhadap proses-proses peradilan dengan bersedia menjadi saksi ahli menjadi sasaran kriminalisasi.

Untuk beberapa kasus penelitian korupsi sumber daya alam, penelitinya diinterogasi paksa oleh orang yang tak dikenal agar mereka berhenti meneliti. Di kasus yang lain, peneliti mendapat teror ketika survei hingga mendapat ancaman pembunuhan, bahkan ke anggota keluarga mereka. Kasus-kasus serupa juga terjadi pada kriminalisasi masyarakat, para petani, untuk keluar dari ruang hidup mereka.

Semua itu menjadi contoh sempurna bagaimana etika menjadi pertaruhan besar dalam peradaban modern, terutama di Indonesia.

Sewaktu menjadi anggota komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia untuk kajian inkuiri nasional melalui gelar perkara berbagai kasus keberadaan masyarakat adat di dalam kawasan hutan, saya mendengar kesaksian para korban. Para petani mengatakan pemerintah tak terlalu memperhatikan gangguan psikologis yang mereka alami akibat kriminalisasi itu. 

Mereka merasa frustrasi dan terasing atas sistem pemerintahan dan peradilan. Menurut mereka, pemerintah maupun hakim gagal mencerna perspektif para petani secara tepat.

Para korban kriminalisasi itu seperti pemain drama yang terlupakan di panggung kehidupan. Mereka dieksploitasi untuk membuktikan kesalahan mereka, setelah itu ditinggalkan. Para korban seperti menjadi “residu masyarakat” oleh suatu jaringan politik pembangunan yang mempunyai kekuatan, kepercayaan sekaligus pengkhianatan, seperti dalam pusaran jaringan korupsi (Kartodihardjo, 2017).

Kekuatan jaringan korupsi kehutanan, misalnya, melibatkan banyak pelaku, yang diorganisasikan berbagai kelompok. Mereka memperoleh keuntungan dengan tingkat berbeda-beda. Jacqui Baker (2020), peneliti Australia yang menelisik jaringan korupsi di Riau, menunjukkan bahwa aktor pemerintah memegang kendali monopoli atas sumber daya utama, tetapi jaringan itu didominasi oleh aktor kehutanan sektor swasta. 

Uang hasil korupsi yang beredar melampaui penerima manfaat langsung, yaitu masyarakat. Dalam banyak kasus, peredaran uang itu cukup untuk membangun jaringan dan kekuasaan baru, sehingga kriminalisasi dan pelanggaran etika terus terjadi dan meluas.

Dalam sebuah gelar perkara inkuiri nasional Komnas HAM, misalnya, perwakilan perusahaan besar mengatakan bahwa tak hanya sudah mendapatkan legalitas, mereka juga telah mengeluarkan ongkos besar untuk mendapatkannya. Mereka bahkan telah mengganti fungsi pemerintahan di wilayah operasinya.

Masyarakat adat, sementara itu, yang sudah mendapatkan hak atas tanah mereka tetap dianggap sebagai penghalang investasi. Gaya bahasa yang dipakai oleh wakil perusahaan itu menunjukkan besarnya kekuasaan mereka hingga tak memiliki empati sedikit pun terhadap upaya penyelesaian konflik ruang oleh Komnas HAM.

Dalam kasus-kasus seperti itu, ilmu pengetahuan yang menjadi berbagai bentuk argumen hukum, standar, prosedur maupun pedoman untuk praktik pemerintahan serasa tumpul. Ilmu pengetahuan yang ideal seolah menjadi pembenaran sendiri, terasing, lepas dari konteks, dan tak menyentuh masalah sebenarnya di masyarakat.

Kita tahu, pada keadaan seperti itu kekuasaan menggunakannya untuk kepentingannya sendiri. Teks hukum, teori ekonomi atau teknologi diposisikan netral sehingga asumsi-asumsi yang menopangnya tak terpenuhi. Dalam pemanfaatan ruang hutan, misalnya, legalitas oleh investasi itu sesungguhnya tak mendapatkan legitimasi masyarakat. Akibatnya, ada banyak tumpang tindih izin yang sama-sama legal. Hasil akhirnya, kita tahu, konsesi selalu dijaga oleh aparat keamanan. Seolah masyarakat adalah perusuhnya.

Berbagai kenyataan itu menunjukkan bahwa etika yang berada di atas kebenaran ilmu pengetahuan telah merosot tajam. Akibatnya, pengelolaan sumber daya alam hampir selalu melahirkan konflik, memperbesar kesenjangan, serta merusak lingkungan hidup. Dalam keadaan seperti itu, ilmu pengetahuan dipandu kepentingan alih-alih bekerja mewujudkan kebenaran. Kian memprihatinkan apabila perguruan tinggi terlibat di dalamnya.

Ilmuwan yang bersekutu dengan kekuasaan yang korup akan melahirkan pengetahuan yang tak etis. Clive Staples Lewis (1898-1963), penulis dan teolog Inggris, pernah mengatakan pendidikan tanpa nilai, meskipun berguna, membuat manusia menjadi iblis yang lebih pintar.

Jika sudah seperti itu, memperbaiki etika tak cukup hanya imbauan-imbauan, tapi saatnya melalui gerakan sosial.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain