Kabar Baru| 23 Februari 2021
Target Baru Mencegah Krisis Iklim

PROGRAM Lingkungan PBB (UNEP) merilis laporan terbaru tentang seberapa banyak dunia harus mengurangi emisi untuk mencegah krisis iklim. Laporan berjudul Making Peace with Nature ini semacam cetak biru ilmiah mencegah krisis lingkungan melalui tiga cara: mengurangi emisi, menjaga keanekaragaman hayati, dan mengurangi jumlah sampah.
Patokannya adalah kenaikan suhu bumi 1,50 Celsius pada 2050 dan menjaga suhu bumi tetap di bawah 20 Celsius dibanding masa pra industri 1800-1850 pada 2070-2100. Seperti janji ratusan negara dalam memitigasi krisis iklim dalam Perjanjian Paris 2015, patokan emisi yang menjadi standar pengurangan dalam kontribusi nasional yang ditetapkan (NDC) adalah tahun 2010.
Pada tahun itu, jumlah emisi global sebanyak 46-48 miliar ton. Dalam perhitungan para ahli di PBB, jumlah emisi akan naik mencapai 60 miliar ton pada 2030 jika tak satu pun negara memitigasinya. Patokannya adalah kebijakan negara yang hendak menggenjot ekonomi untuk mencapai kemajuan.
Pembangunan ekonomi membutuhkan energi, untuk kebutuhan dan kesenangan manusia. Menurut Vaclac Smill, dalam Numbers don’t Lie (2020), pada awal 1900 jumlah emisi dunia hanya 500 juta ton. Lima puluh tahun kemudian bertambah 1 miliar. Emisi terus naik setelah Perang Dunia II karena tiap negara fokus pada pembangunan.
Pada 2020 jumlah emisi mencapai 52 miliar ton dengan rekor baru tercapai pada 2018 sebanyak 55,3 miliar ton. Cina dan Amerika, juga India dan Rusia, menjadi empat negara produsen emisi terbesar di dunia. Menurut World Resources Institute, dengan 2,31 miliar ton emisi setara CO2 Indonesia menduduki peringkat ke-6 setelah gabungan 26 negara Uni Eropa.
Meski tampak sedikit, jika dibandingkan produksi emisi per kapita, Indonesia melebihi Cina bahkan melampaui rata-rata dunia. Menurut Carbon Brief, lembaga analisis iklim, produksi emisi per kapita Indonesia sebanyak 9,2 ton per tahun, sementara rata-rata dunia hanya 7 ton per tahun, Cina dengan produksi emisi nasional 11 miliar ton hanya 9 ton per orang per tahun, India 2,4 ton, dan Amerika Serikat 20,4 ton per tahun per orang.
Emisi menjadi problem genting hari ini. Sebab, hasil pembakaran energi, penggundulan hutan, sampah, aktivitas industri dan individu, telah menaikkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer. Kenaikan konsentrasi gas rumah kaca membuat selubung bumi itu kehilangan daya serap terhadap panas matahari dan panas dari bumi.
Akibatnya, panas memantul kembali ke planet ini. Dengan konsentrasi gas rumah kaca mencapai 414,2 part per million pada tahun lalu, suhu bumi naik 0,90 Celsius. Akibatnya, air laut juga bergolak. Kenaikan suhu air laut membuat hewan air mati atau sakit. Dari penelitian pelbagai pandemi, munculnya virus-virus ganas dimulai dari naiknya suhu air laut.
Para ahli di PBB menyimpulkan, dunia masih bisa menanggungkan pelbagai bencana dan musim yang berubah jika suhu bumi bisa ditekan tak melebihi 1,5C pada 2030 atau di bawah 2C pada 2100. Jika dunia menurunkan emisi, jumlahnya diperkirakan mencapai 60 miliar ton pada 2030.
Akibatnya, suhu bumi akan naik mencapai 4C. Untuk PBB meminta tiap negara menurunkan emisi pada 2030 yang programnya mesti dimulai pada 2020. Program itu disebut NDC. Target NDC Indonesia yang dijanjikan kepada PBBsebanyak 29% dengan usaha sendiri atau 41% atau 1,1 miliar ton dengan bantuan negara lain pada 2030.
Dalam Konferensi Tingkat Tinggi Climate Adaptation Summit 2021 pada 25 Januari 2021 secara virtual, Presiden Joko Widodo meminta semua negara-negara lain mematuhi target NDC untuk mencegah krisis iklim. “Terutama komitmen negara maju,” katanya.
Apa yang diminta Jokowi itu tidak cukup. Menurut para ahli PBB, setelah koreksi prediksi produksi emisi akibat covid-19, dengan skenario NDC sekalipun emisi diperkirakan melampaui batas untuk menahan suhu bumi di bawah 2C, sebesar 52 miliar ton.
Untuk itu, para ahli UNEP meminta negara-negara lebih radikal membuat target. Dalam laporan Making Peace with Nature, mereka menghitung dunia harus menurunkan emisi 45% pada 2030 jika tak ingin suhu bumi melampaui 1,5C.
Jika merujuk pada produksi emisi 2020, skenario 45% sebanyak 28 miliar ton. Padahal, dalam Perjanjian Paris 2015, untuk menahan laju panas bumi di bawah 1,5C, produksi emisi global harus ditahan antara 15-22 miliar ton. Bahkan harus menuju nol pada 2050.

Skenario produksi emisi
Indonesia memiliki program pembangunan rendah karbon 2020-2024. Namun, dengan skenario paling tinggi sekali pun, pembangunan rendah karbon di pelbagai sektor hanya akan menurunkan emisi sebanyak 600 juta ton pada 2024. Karena itu Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, LSM, menilai target NDC Indonesia kurang ambisius jika dibandingkan dengan bujet karbon 2030.
Mengubah energi kotor menjadi terbarukan adalah cara utama yang ditawarkan PBB dalam mencegah produksi emisi. Kini 84% energi masih bersumber dari energi fosil seperti minyak, panas bumi, gas, dan batu bara. Baru 16% energi berasal dari sumber terbarukan seperti angin, matahari, arus air, hingga ombak.
Meski Jokowi menegaskan cara mencegah krisis iklim adalah dengan mencapai NDC, Indonesia tak turut dalam arus mitigasi pemanasan global. Undang-Undang (UU) Cipta Kerja akan mendorong industri ekstraktif seperti batu bara ketimbang energi terbarukan. Industri batu bara mendapatkan banyak insentif dibandingkan usaha energi terbarukan yang sama-sama menciptakan lapangan pekerjaan.
Hutan sebagai penyerap emisi juga akan dikonversi dengan mengutamakan usaha dan proyek strategis nasional (PSN). PSN bahkan menjadi prioritas dibanding daya dukung lingkungan. Proteksi-proteksi lingkungan, seperti pengawasan pembuatan analisis lingkungan Amdal, kian dilemahkan.
Laporan UNEP tak menerakan kontribusi individual dalam mengurangi emisi. Cara-cara mencegah krisis iklim datang dari Bill Gates. Dalam bukunya yang baru terbit, How to Avoid a Climate Disaster, ia menjelaskan secara detail bagaimana mencegah krisis iklim dimulai dari individu, kebijakan pemerintah, dan bagaimana kontribusi dunia usaha dalam bersama-sama mencegah bumi memanas.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.

Redaksi
Topik :