
SEWAKTU kuliah di Fakultas Kehutanan IPB tahun 1978, pengajar mata kuliah Politik Perundang-Undangan Kehutanan mengatakan tidak satu pun orang yang tidak berkepntingan, diizinkan masuk cagar alam. Jangankan mengambil kayunya, mengambil ranting pun terlarang. Apabila aturan ini dilanggar orang tersebut dapat dikenakan sanksi Bos Ordonantie (Undang-undang (UU) Kehutanan versi Belanda) dengan hukuman badan maupun denda.
Sebagai mahasiswa, saya membayangkan betapa sakralnya kawasan hutan cagar alam. Begitu pentingkah kawasan hutan cagar alam sehingga perlu dilindungi super ketat? Apa tujuan pemerintah Belanda melindungi cagar alam?
UU tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya baru terbit 45 tahun kemudian, yaitu UU Nomor 5/1990 yang tidak jauh berbeda dengan Bos Ordonantie warisan Belanda tersebut. Namun, implementasi amat lemah. Regulasi kehutanan era kemerdekaan kuat di atas kertas saja.
Contoh nyata dan konkret adalah pengelolaan cagar alam Cycloop di Jayapura, Papua. Jayapura terancam kelangkaan air bersih akibat turunnya debit air dari sumber mata air di Cycloop. Kerusakan kawasan hutan Cycloop yang menimbulkan banjir bandang dan menelan korban jiwa tahun 2019 memberikan dampak negatif susulan yang tak terhitung.
Pegunungan Cycloop menjadi cagar alam pada 1978 seluas 22.500 hektare, mencakup dua kabupaten, Jayapura (15.000 hektare) dan Kota Jayapura. Kerusakan di sekitar pegunungan Cyclop di Sentani merembet hingga ke Kota Jayapura.
Pada 2018, lahan kritis dan rusak di Cyclop mencapai 1.000 hektare atau 7,7% dari luas total cagar alam. Bagi Papua, Cycloop mempunyai fungsi ganda, selain mempertahankan kekhasan, keaslian, keunikan, dan keterwakilan dari jenis flora dan fauna serta ekosistemnya, pegunungan Cycloop juga penjaga hidrologi air masyarakat kota Jayapura dan sekitarnya.
Cycloop hanya satu contoh mudahnya kawasan konservasi dirambah masyarakat dan pembiaran oleh pemerintah. Masih banyak contoh lain tentang regulasi kehutanan permisif yang bertolak belakang dengan implementasinya di lapangan.
Tambang di Hutan Lindung
UU Nomor 41/1999 tentang kehutanan yang cukup lengkap sebagai pengganti UU Nomor 5/1967 dianulir oleh Peraturan Pengganti UU (Perpu) di zaman Presiden Megawati Sukarnoputri dengan membolehkan izin tambang di hutan lindung. Perpu Nomor 1/2004 pada 11 Maret 2004 itu dibuat, katanya, untuk menyelesaikan tumpang-tindih areal pertambangan dengan hutan lindung sekaligus mengakomodasi izin tambang bagi 13 perusahaan untuk melanjutkan kegiatan produksinya.
Perpu, katanya, juga dalam rangka memberi kepastian kepada investor karena tahun 2004 sebagai tahun investasi. Perpu tersebut menambah ketentuan baru dalam UU 41/1999, terutama pasal 83a. Dalam pasal itu disebutkan semua perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan di kawasan hutan yang telah ada sebelum berlakunya UU 41/1999, tetap berlaku sampai berakhirnya izin atau perjanjian tersebut.
Penghapusan Hutan Produksi Terbatas
Peraturan Pemerintah Nomor 44/2004 tentang perencanaan mengatur jenis hutan produksi terdiri dari hutan produksi biasa (HPB), hutan produksi terbatas (HPT) dan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK). Khusus untuk HPK dicadangkan dan disiapkan untuk kepentingan pembangunan di luar kehutanan (non kehutanan) seperti perkebunan, transmigrasi, pertanian dan sebagainya.
Dalam RPP bidang kehutanan, turunan UU Cipta Kerja, Bab II tentang perencanaan kehutanan pasal 24 ayat (1c), hutan produksi diubah menjadi dua, yaitu hutan produksi tetap (HPT) dan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK). Sedangkan hutan produksi terbatas dihapus.
Penghapusan hutan produksi terbatas membawa implikasi pada perubahan fungsi hutan seperti diatur PP 104/2015. Demikian juga dalam pemanfaatan fungsi hutan produksi untuk kegiatan pembangunan di luar kehutanan (non kehutanan).
Dalam Bab III tentang perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan pasal 19, khusus untuk kegiatan a) proyek strategis nasional (PSN); b) pemulihan ekonomi nasional (PEN); c) pengadaan ketahanan pangan (food estate) dan energi, dan d. pengadaan tanah obyek reforma agraria (TORA) selain dapat dilakukan pada kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi juga dapat dilakukan pada kawasan hutan produksi tetap.
Pemanfaatan Kayu di Restorasi Ekosistem
Istilah hutan restorasi atau lebih dikenal dengan restorasi ekosistem tidak dikenal dalam UU Kehutanan. Frase ini baru dikenal setelah pada 2004, Menteri Kehutanan M. Prakosa menerbitkan peraturan tentang restorasi ekosistem Nomor 159 tanggal 19 Oktober. Sebuah terobosan dan inovasi baru yang belum pernah muncul dalam peraturan perundangan kehutanan yang dibuat sebelumnya, meskipun tidak ada cantolan atau dasar hukum regulasi di atasnya.
Dalam PP 6 /2007 tentang tata hutan ada penjelasan bahwa pemanfaatan hasil hutan kayu restorasi ekosistem dalam hutan alam untuk mengembalikan unsur hayati serta unsur non hayati pada suatu kawasan dengan jenis asli sehingga tercapai keseimbangan hayati dan ekosistemnya. Namun dalam RPP bidang kehutanan UU Cipta Kerja, pasal 34 tidak menyebut lagi adanya pemanfaatan kayu restorasi ekosistem.
Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan
Pasal 38 ayat 1 UU Kehutanan dalam UU Cipta Kerja mengatur penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya bisa dilakukan di hutan produksi dan hutan lindung. Namun dalam penjelasan pasal tersebut ada ketentuan kepentingan pembangunan di luar kehutanan yang dapat dilaksanakan di dalam kawasan hutan lindung dan hutan produksi secara selektif. Kegiatan-kegiatan menimbulkan kerusakan serius dan mengakibatkan hilangnya fungsi hutan yang bersangkutan dilarang.
Faktanya, banyak izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) di hutan lindung untuk pertambangan tak terkendali sehingga kerusakan lingkungan meluas. Banjir di Kalimantan Selatan diduga kuat penyebabnya banyak IPPKH untuk pertambangan, khususnya pada kawasan hutan yang berfungsi lindung.
Tambang di Hutan Restorasi
Peraturan Menteri LHK Nomor P.27/2018 pasal 12 ayat (1a) memuat ketentuan IPPKH untuk kegiatan pertambangan mineral dan batu bara tidak diberikan pada kawasan hutan produksi yang dibebani Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem (IUPPKH-RE) dalam hutan alam dan/atau pencadangan hutan tanaman rakyat (HTR) dan/atau hutan kemasyarakatan (HKm) dan/atau hutan desa (HD).
Ketentuan ini direvisi Peraturan Menteri LHK Nomor P. 7/2019. Pasal 12 ayat (1a) mengecualikan a) permohonan yang telah mendapat IPPKH untuk kegiatan eksplorasi sejak berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang penggunaan kawasan hutan; b) permohonan perpanjangan IPPKH sepanjang izin di bidang usahanya masih berlaku; c) permohonan untuk kegiatan jalan angkut produksi pertambangan; atau d) kegiatan pertambangan yang telah melakukan aktivitas kegiatan operasi produksi pada areal penggunaan lain yang kemudian areal penggunaan lain tersebut diubah menjadi kawasan hutan yang diperkenankan untuk penggunaan kawasan hutan sepanjang izin di bidang usahanya masih berlaku.
Perhutanan Sosial di Zona Inti Taman Nasional
Dalam Peraturan Menteri LHK Nomor P. 83/2016 tentang perhutanan sosial ada pasal 43 ayat (2) yang mengatur areal kemitraan kemitraan kehutanan yang terdegradasi berada di zona inti atau zona rimba taman nasional atau blok perlindungan pada taman hutan raya atau taman wisata alam. Kemitraan menuntut revisi zonasi dan blok sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Di sisi lain, menurut UU Nomor 41/1999 maupun UU Nomor 5/1990, zona inti taman nasional mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya perubahan apa pun oleh aktivitas manusia.
Lumbung Pangan
Menteri LHK menerbitkan peraturan nomor P. 24/2020 yang membolehkan lumbung pangan (food estate) dalam hutan lindung. Dalam penjelasan UU Nomor 41/1999 pasal 26 ayat (1) tentang pemanfaatan hutan lindung, lumbung pangan tidak termasuk dalam tiga skema pemanfaatan hutan lindung yaitu pemanfaatan kawasan, jasa lingkungan dan pemungutan hasil hutan.
Dalam RPP bidang kehutanan UU Cipta Kerja, pasal 19 ayat 2 tentang perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan menyatakan pelepasan kawasan hutan untuk kegiatan: a) proyek strategis nasional (PSN); b) pemulihan ekonomi nasional (PEN); c) pengadaan ketahanan pangan (food estate) dan energi, dan d) pengadaan tanah obyek reforma agraria (TORA).
Dari klausul atau pasal ini saja, Peraturan P.24/2020 tidak konsisten dengan regulasi di atasnya. Sebab lumbung pangan hanya bisa menggunakan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) dan hutan produksi tetap (HPT) tanpa menyebut adanya penggunaan kawasan hutan lindung (HL).
Dengan segala centang-perenang ini, regulasi kehutanan makin ruwet. Keruwetan yang membuat implementasi perlindungan hutan juga tambah kalang-kabut. Quo vadis perlindungan hutan Indonesia?
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.

Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Topik :