
DALAM satu dekade terakhir, bumi terus mencatatkan rata-rata suhu terpanas setiap tahun. Akibatnya, ratusan spesies tak bisa lagi hidup dalam suhu yang terpanggang itu, termasuk amfibi.
Menurut studi terbaru, saat ini bumi terlalu panas bagi 2% amfibi. Peneliti menemukan ada 104 dari 5.203 spesies amfibi yang diteliti kepanasan akibat suhu lingkungan melebihi batas toleransi panas fisiologis mereka.
Para peneliti menggunakan data toleransi panas yang telah diuji terhadap 524 spesies amfibi. Sebelumnya, 524 spesies tersebut diuji dengan dipanaskan untuk melihat batas toleransi mereka. Para peneliti akan membalikkan tubuh mereka, memanaskannya, dan mereka akan membalikkan diri kembali.
Hingga titik tertentu, mereka tidak bisa lagi membalikkan tubuh. Hal itu menandakan koordinasi neuromuskular mereka menghilang. Artinya, para amfibi itu tak bisa mentoleransi panas pada titik tertentu. Ketika suhu kembali dingin, koordinasi neuromuskular mereka pulih, dan mereka kembali normal.
Lewat data 524 spesies tersebut, para peneliti menerapkan metode statistika untuk memprediksi toleransi panas di lebih dari 5.000 spesies amfibi. Jumlah tersebut mewakili sekitar 60% dari semua spesies amfibi yang diketahui di seluruh dunia saat ini. Kemudian mereka melihat wilayah mana saja yang rentan bagi amfibi.
Para peneliti menemukan bahwa amfibi yang tinggal di permukaan tanah punya risiko paling tinggi kepanasan. Semakin dekat dengan permukaan tanah, makin mudah mereka terpapar panas. Sedangkan amfibi yang hidup di air dan arboreal punya risiko kepanasan yang lebih rendah.
Awalnya para peneliti menduga amfibi yang hidup semakin dekat dengan khatulistiwa punya risiko kepanasan paling tinggi. Di belahan bumi utara, amfibi yang hidup makin jauh dari khatulistiwa justru memiliki kerentanan paling besar. Mereka lebih mudah stres terhadap panas dibanding spesies amfibi yang hidup di daerah tropis.
Jika kenaikan suhu global mencapai 40 Celcius, jumlah amfibi yang kepanasan meningkat menjadi 7,5% atau 391 dari 5.203 spesies.
Dalam rantai makanan, amfibi berperan sebagai predator dan mangsa. Mereka menjadi makanan bagi predator seperti burung, kelelawar, mamalia, dan ikan. Satu sisi, mereka memangsa serangga, khususnya serangga vektor penyakit seperti nyamuk.
Penurunan drastis populasi amfibi sendiri akan berdampak pada kesehatan manusia. Hal ini dibuktikan pada 2020, dimana penurunan populasi amfibi di Amerika Tengah memiliki kaitan dengan meningkatkan kasus malaria disana.
Selain itu, amfibi juga mensekresikan senyawa yang punya potensi sebagai obat. Di level larva, amfibi berperan menjaga kualitas air dengan menjaga pertumbuhan alga dan siklus nutrisi. Musnahnya amfibi akan berdampak besar terhadap kesehatan ekosistem.
Ikuti percakapan tentang pemanasan global di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.

Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB
Topik :