Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 03 Januari 2021

Adaptasi Satwa dalam Perubahan Iklim

Setiap hewan punya cara beradaptasi dengan suhu ekstrem. Perubahan iklim akan mengubah pola hidup mereka, atau memusnahkannya.

Migrasi burung-burung (Foto: Wiene Andriyana)

MUSIM dingin di Kanada ditandai dengan salju tebal, pohonan tanpa daun, dan berkurangnya suara burung. Tupai tak lagi berlompatan di dahan. Alam jadi sepi. Manusia berjalan cepat, tenggelam dalam jaket tebal. Dengan suhu minus puluhan derajat, mahluk hidup dipaksa bersahabat dengan iklim ekstrem, berjuta-juta tahun, termasuk satwa liar. 

Setidaknya ada tiga mekanisme bertahan hidup satwa liar terhadap iklim: migrasi, adaptasi, dan hibernasi. Di Taman Nasional Komodo Nusa Tenggara Timur beberapa jenis burung Rusia yang memasuki musim dingin datang untuk mencari makan.

Burung-burung Siberia singgah ke Taman Nasional Berbak Sembilang di Sumatera Selatan setiap September-November. Mereka singgah sebelum melanjutkan perjalanan ke Australia atau kembali ke habitat asal mereka. Begitu juga di Kepulauan Seribu di Jakarta. Mereka datang berkelompok, juga sendiri-sendiri.

Di Ottawa, burung dan angsa terbang berombongan membentuk pola huruf ‘V’ dengan suara yang berisik menjadi pemandangan menakjubkan musim gugur. Burung Warbler yang sering terlihat di Ottawa, akan bermigrasi ke selatan sekitar bulan Agustus, dan lanjut ke Amerika Tengah dan Selatan, sebelum kembali lagi ke wilayah sekitar Ottawa pada akhir Mei untuk berbiak—setelah musim dingin berakhir di Kanada.

Mamalia seperti kelelawar, karibu, rusa besar, beberapa jenis ikan, juga berpindah mencari sumber pangan selama musim dingin. Serangga dan kupu-kupu bahkan terbang sangat jauh. Kupu-kupu Monarch yang selama musim panas hidup di Kanada dan Amerika Serikat bagian utara, akan bermigrasi 4.828 kilometer ke Meksiko. Hewan-hewan tanah seperti rayap dan cacing menggali tanah hingga 2 meter ke dalam tanah.

Satwa yang tak bermigrasi, memilih beradaptasi dengan suhu beku. Beberapa jenis burung yang bersarang di lubang batang pohon, tupai, tikus dan berang-berang mengumpulkan makanan selama musim gugur dan menyimpannya untuk musim dingin. Kemampuan hewan pengerat seperti tikus beradaptasi dengan suhu diprediksi membuat mereka akan bertahan hingga akhir zaman, dengan evolusi dan perubahan fisik.

Ada juga hewan yang beradaptasi dengan suhu melalui hibernasi. Mereka menurunkan suhu badan, mengurangi detak jantung dan sedikit bernapas untuk mengurangi pengeluaran energi. Beruang, musang busuk, bajing tanah, kelelawar, adalah beberapa satwa yang berhibernasi.

Bagaimana pola-pola bertahan hidup satwa ini terdampak oleh perubahan iklim?

Fenologi, yaitu cabang ilmu ekologi yang mempelajari hubungan timbal balik antara variasi iklim dan fenomena biologis, termasuk faktor habitat, menjadi penting dalam hal ini. Burung yang punya jadwal tetap bermigrasi akan terganggu dengan iklim yang menyeleweng.

Studi Horton dkk (2019) menunjukkan burung migran berperan penting dalam keseimbangan ekosistem global, sebagai pemakan serangga dan biji-bijian, sekaligus distributor biji yang membantu perkembangbiakan pohon dan tanaman. Suhu yang menghangat membuat mereka bermigrasi lebih awal dan sebagian menempuh rute yang lebih pendek.

Akibatnya, bisa jadi kedatangan mereka tidak sinkron dengan ketersediaan sumber pangan di tempat yang dituju. Dalam jangka panjang, ketidakcocokan itu berpengaruh pada pertumbuhan populasi, bahkan bisa memusnahkannya.

Migrasi, adaptasi, hibernasi, adalah cara mahluk hidup bertahan hidup. Perilaku mereka menunjukkan pentingnya konektivitas ekosistem global dan kerja sama internasional untuk memastikan daya dukung habitat singgah mereka.

Para ahli sudah menyimpulkan, perubahan iklim yang kini sedang terjadi bukan siklus alamiah, tapi lebih banyak dipicu oleh aktivitas manusia. Perubahan pola migrasi burung menjadi indikator dampak global berantai perubahan iklim terhadap keseimbangan ekosistem.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Rimbawan tinggal di Kanada. Menyelesaikan pendidikan doktoral dari University of Natural Resources and Life Sciences Wina, Austria, dengan disertasi dampak desentralisasi terhadap tata kelola hutan di Jawa

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain