Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 23 Maret 2020

Seandainya Pemanasan Global Digolongkan Pandemi

Dunia mengenal pandemi akibat wabah sehingga dunia bersatu melawan virus dan penyakit. Mengapa perubahan iklim dan pemanasan global tak dianggap serupa?

Ilustrasi kijang terbakar dalam kebakaran hutan.

APABILA sebaran suatu penyakit, seperti virus corona COVID-19 yang sedang menjadi pandemi sekarang, disetarakan dengan sebaran manfaat lingkungan seperti segarnya udara atau hidupnya ikan-ikan di sungai, keduanya tampak memiliki hal serupa.

Mudarat ataupun jasa ekosistem itu diproduksi melalui proses kerja sumber daya alam yang berjalan tanpa hukum-hukum dan kuasa-kuasa manusia, namun dalam waktu yang sama dirusak, atau sebaliknya, dipelihara oleh tindakan-tindakan manusia.

Ilmuwan dan pencinta lingkungan telah membahas jasa ekosistem tersebut selama beberapa dekade. Millennium Ecosystem Assessment pada awal 2000-an telah mempopulerkan konsep itu. Jasa ekosistem dikelompokkan ke dalam empat kategori besar, yaitu penyediaan, seperti produksi makanan dan air; pengatur, seperti pengendalian iklim dan penyakit; pendukung, seperti siklus nutrisi dan produksi oksigen; serta kebudayaan, seperti manfaat spiritual dan rekreasi.

Apabila saat ini COVID-19 dianggap sebagai pandemi, karena telah menyebar di hampir seluruh dunia, maka dampak perubahan iklim pun setara dengan pandemi itu. Disebut sebagai pandemi karena menjadi tingkat tertinggi darurat kesehatan global. Bukankah dampak perubahan iklim juga demikian?

Persoalan mungkin akan semakin jelas apabila pandemi maupun perubahan iklim dianggap sebagai suatu benda “tak terlihat” tetapi memberi dampak negatif bagi semua orang. Sifat itu dapat disebut barang publik (public goods), maka secara konseptual memiliki ciri-ciri:

Pertama, fakta dan sebab-akibat hadirnya pandemi ataupun perubahan iklim tidak teridentifikasi secara spesifik, tergantung orang banyak, sehingga yurisdiksinya pun tidak jelas membatasinya. Sifat tersebut membuat penyebab dan kehadirannya cenderung diabaikan.

Kedua, terdapat konflik nilai dan pelaku penunggang bebas (free riders).

Ketiga, sikap solipsisme yang mendasari kedua ciri sebelumnya, yaitu pandangan yang menyatakan bahwa pengalaman pribadi merupakan satu-satunya fakta yang bisa dipercaya. Dengan kata lain, seseorang tidak memiliki landasan untuk percaya hal lain, termasuk ilmu pengetahuan, kecuali dirinya sendiri. Hal-hal lainnya itu dianggap tidak memiliki eksistensi. Istilah itu juga digunakan dalam arti moral untuk menunjuk pada pandangan egoisme.

Sifat pertama tersebut menghendaki adanya kalkulasi, agar proses kerja sumber daya alam masuk dalam pertimbangan “rasionalitas” para pengambil keputusan. Untuk itu, jasa ekosistem sedapat mungkin perlu dinilai agar setara dengan infrastruktur dan layanan yang direkayasa manusia. Karena para pengambil keputusan dianggap “rasional”, seperti yang sedang berjalan saat ini, hal-hal yang tidak mempunyai atau tidak bisa dikuantifikasi cenderung tidak diperhitungkan atau bahkan diabaikan sama sekali.

Rasionalitas itu didasarkan pada diterimanya alasan yang sesuai dengan keyakinan dan tindakan seseorang. Rasionalitas, dalam pengambilan keputusan oleh orang atau lembaga, di samping sangat tergantung pada kebenaran informasi yang diterima, juga tergantung tujuannya: apakah untuk perorangan atau publik. Untuk itu, pada ujungnya, rasionalitas menentukan bagaimana suatu masalah dibingkai dan dirumuskan. Rasionalitas itu sendiri bukanlah kebenaran.

Sifat kedua timbul apabila dasar pertimbangan mencegah pandemi dan perubahan iklim hanya dari pertimbangan rasional-individual. Atas pertimbangan itu, konflik nilai muncul ketika tindakan seseorang menyebabkan orang lain terganggu. Misalnya orang tetap berkumpul dalam kerumunan masal atau orang merusak hutan lindung, yang keduanya sangat rasional bagi mereka, karena sistem sosial-politik yang bekerja tidak menyumbang risiko yang berarti atas pilihan rasional-individual itu.

Atau, perbuatan itu “dimudahkan” oleh sifat-sifat alam yang biasa disebut sebagai berbiaya eksklusi tinggi (high exclusion cost), yaitu menghentikan perbuatan orang-orang yang merugikan orang banyak terlalu sulit dilakukan oleh otoritas resmi atau legal. Misalnya, negara tidak mungkin mengawasi setiap orang untuk tinggal di rumah. Negara juga tidak mungkin dapat mengawasi setiap orang untuk tidak menebang pohon di hutan lindung di daratan Papua yang sangat luas.

Sifat alam itulah yang menyebabkan kegagalan institusional, antara lain akibat para pengambil keputusan percaya berlebihan bahwa cara mengendalikan perilaku dengan penegakkan hukum. Sebaliknya dengan konsep “aksi bersama”, sebagaimana telah dibuktikan oleh para kepala daerah terbaik yang dinilai terkait green leadership mereka oleh KLHK (2016-2019), mengatasi biaya eksklusi tinggi itu efektif dilakukan dengan kepemimpinan yang mempunyai tiga ciri: dipercaya masyarakat, berintegritas, dan reputasi yang baik. Loyalitas fungsional akan tumbuh dalam iklim kepemimpinan ini.

Sifat kedua itulah yang bisa membuat orang mengambil kesempatan untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya. Di tengah-tengah kebersamaan untuk mewujudkan meluasnya pandemi misalnya, ada saja yang—bahkan atas alasan agama dan keimanan—berkumpul, sehingga menjadi medium penyebaran virus. Atau orang-orang yang terus memperjuangkan energi kotor demi keuntungan kelompoknya. Mereka disebut sebagai penunggang gratis karena dengan praktik sifat rasional-individual dan egoismenya, masyarakat luas dikorbankan.

Hal itu sejalan dengan artikel Isaac ChotinerHow Pandemics Change History” di harian The NewYorker edisi 3 Maret 2020 yang mengutip isi buku “Epidemics and Society: From the Black Death to the Present” (2019), karya sejarawan kedokteran Universitas Yale, Frank M. Snowden.

Snowden menunjukkan bagaimana cara wabah penyakit membentuk politik, menghancurkan revolusi, maupun diskriminasi ras dan ekonomi. Ia menyebut bahwa virus corona bisa menjadi cermin kemanusiaan dan struktur masyarakat serta prioritas politik mereka, yang menghasilkan tingkat kerentanan masyarakat serta kecepatan penyakit berkembang.

Terkait dengan egoisme di atas, sebagai intinya, sifat solipsisme mengemuka. Dalam praktiknya sifat itu bisa menyingkirkan ilmu pengetahuan. Kini banyak orang lebih berbuat sesuai imajinasi dan keyakinannya daripada bukti empiris dari suatu teori ilmiah, sekalipun tak terbantahkan kebenarannya.

Untuk pandemi, hal itu sangat berbahaya, karena apabila ada satu orang tak mendapat perawatan karena keyakinannya, orang itu berisiko bagi masyarakat luas. Untuk perubahan iklim, bahkan pemimpin suatu negara dan masyarakat di negara maju masih ada yang menyebut perubahan iklim sebagai mitos.

Ketika kita menghadapi persoalan publik seperti pandemi dan perubahan iklim itu, semestinya kesadaran kita bangkit, bahwa kita semua sama dan hidup bersama-sama, bahwa apa yang mempengaruhi atau diperbuat oleh satu orang di mana saja, bisa mempengaruhi setiap orang di mana pun.

Oleh karena itu, kita perlu bertekad menjadi satu spesies, tanpa mempertentangkan ras, etnis, agama, maupun status ekonomi, tidak menjadi penunggang gratis serta menjauhi sifat solipsisme.

Gambar oleh 024-657-834 dari Pixabay

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain