Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 16 Maret 2020

Mereka yang Harus Kita Bela dalam Pembangunan

Aturan dan cara kerja birokrasi, yang ditopang oleh kesimpulan ahli, acap tutup mata pada masalah pokok munculnya kemiskinan: hak dan akses terhadap sumber daya alam. Merekalah yang harus kita bela dalam pembangunan ekonomi.

Kemiskinan

DALAM pengelolaan sumber daya alam, selalu ada kerja-kerja hukum dan kuasa-kuasa. Semakin rusak dan tidak adil pengelolaan sumber daya alam, ada kecenderungan semakin tinggi peran kuasa-kuasa daripada hukum-hukum tersebut.

Hal itu dibuktikan disertasi bimbingan saya berjudul “Implementasi Kebijakan Perhutanan Sosial: Suatu Tinjauan Teori Akses” dan buku William Easterly, "The Tyranny of Experts: Economists, Dictators, and the Forgotten of Rights of the Poor".

Dalam disertasi itu ditemukan antara lain bahwa hukum berjalan untuk mendapat pembenaran tercapainya tujuan sebuah program, padahal kenyataan di lapangan terjadi sebaliknya. Masyarakat yang mendapat peluang mengelola sumber daya alam menghadapi hambatan memperolah kapasitas dan akses memanfaatkannya, akibat kuasa-kuasa yang bekerja di lapangan oleh aktor-aktor yang memanfaatkan kepentingan negara.

Sayangnya, birokrasi tidak melihat kenyataan seperti itu, karena realitas dipahami sebagai kesesuaian kegiatan dengan peraturan dan administrasi yang tecermin dalam laporan belanja pertanggungjawaban keuangan.

Secara de facto, birokrasi seperti autokrasi: negara menduduki posisi primer sementara rakyat berada di luarnya. Kebahagiaan rakyat dianggap tergantung kebahagiaan negara, padahal negara cenderung menghimpun kekuasaan yang sebesar-besarnya.

Maka, masalah-masalah masyarakat dianggap bukan masalah otentik sesungguhnya, karena disortir dan diformalkan menjadi tugas-tugas unit kerja yang bisa dibiayai negara. Artinya, negara tak akan mengakuinya sebagai masalah jika berada di luar atau tak tercatat dalam peraturan.

Cara pandang seperti itu melahirkan ruang-ruang hampa peran negara yang kemudian diisi oleh kuasa-kuasa yang bekerja atas kepentingan sendiri. Dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja, misalnya, terdapat “pengurangan kekuasaan” berupa pelonggaran pasal-pasal perizinan, tanpa melihat risiko kemungkinan tumbuhnya kekuasaan sebagai penggantinya yang berjalan atas kemauannya sendiri.

Apa yang dulu disebut sebagai “hak Illahi para Raja” telah hilang kemudian bisa diisi oleh hak para diktator. Apakah saat ini para birokrat bersama para konsultannya sedang berupaya membangun pasal-pasal untuk menjalankan hak-hak para diktator itu?

Pada titik itu, Easterly melihat bahwa penderitaan masyarakat miskin secara material bukan sebuah masalah. Masalah mereka ada pada hak dan akses terhadap sumber daya alam. “Anda bisa protes,” katanya. “Ketika kebijakan menginjak-injak hak dan akses mereka, baik melalui lembaga bantuan atau tindakan militer. Para ekonom atau teknokrat memberi “tawaran palsu” dengan memenuhi kebutuhan material tertentu, karena selama puluhan tahun mereka tidak mampu mengubah keadaan”.

Secara umum, upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat memang didasarkan pada keyakinan bahwa kemiskinan terjadi akibat masalah teknis. Maka penyelesaiannya pun memakai solusi teknis juga, seperti subsidi pupuk, bibit tanaman, antibiotik, suplemen gizi. Ilusi teknokratik itu mengabaikan penyebab kemiskinan yang sesungguhnya, yaitu cara pemerintah dan aparaturnya memenuhi kepentingannya sendiri dalam menjalankan tugas yang sesuai peraturan.

Saya berpandangan pemusatan perhatian pada solusi teknis seraya menutup hak dan akses rakyat kecil terhadap sumber daya, sudah menjadi tragedi moral. Sebab pendekatan netral terhadap kemiskinan sesungguhnya tidak ada. Kita harus berpihak dengan berangkat dari masalah itu.

Kebijakan-kebijakan yang bersifat mutlak juga bisa dianggap sebagai tragedi pragmatis. Lagi-lagi, di dalam RUU Cipta Kerja, yang akan menerapkan standar baku kegiatan usaha, berpotensi menuntut jalan masuk diktator yang melaksanakannya. Padahal sejarah menunjukkan individu yang bebas, dengan hak-hak politik dan ekonomi serta hak memilih pemecahan masalah, adalah kunci penyelesaian masalah.

Ada juga studi yang menyebutkan bahwa kemiskinan terjadi karena kita kekurangan ahli. Dengan sangat menyesal saya sebut kesimpulan itu sebagai “pelanggaran moral para ahli”. Sebab, di lapangan, saya melihat bukan karena tak banyak ahli sehingga masalah struktural itu timbul, tapi akibat kekurangan hak dan akses. Akibat pandangan kekurangan ahli itu, kehilangan hak dan akses selalu diabaikan dalam menanggulangi masalah kemiskinan.

Kita menyaksikan bagaimana seseorang atau kelompok-kelompok masyarakat yang sudah lama tinggal di sebuah tempat diusir karena di sana akan didirikan pabrik, tambang, hutan, atau kebun. Mereka dianggap bersalah karena aturan telah memberi izin kepada pabrik, tambang, dan lain-lain itu. Hal itu terjadi karena hak dan akses selalu dianggap bukan masalah kemiskinan.

Wiji Thukul, seorang penyair dan aktivis buruh, sangat meresapi problem ini. Dalam puisi “Ucapkan Kata-katamu”, penyair yang hilang dalam huru-hara 1998 ini mendorong kita menuntut hak. Sebab, “Jika kau tak lagi sanggup bertanya, kita akan jadi korban keputusan-keputusan”. Artinya, jangan diam jika hak kita dirampas karena diam hanya akan memberi jalan lempang regulasi menginjak kita.

Persoalan bisa makin rumit jika dikaitkan cara pandang benar-logis lalu dipakai untuk membelokkan tujuan yang menjauh dari kebutuhan orang banyak. Di pusat-pusat kekayaan sumber daya alam, aparatur negara seperti polisi, tentara, akademisi, pegawai pemerintah, acap bertindak bertolak belakang. Tindakan mereka yang didasarkan pemikiran “akademis-logis-legal” bisa hanya sebagai dalih untuk melindungi tujuan kelompok di belakang mereka.

Maka, berjuang membela logika dan kebenaran dengan landasan hukum, sosial, budaya, maupun agama, menjadi dangkal ketika landasan filosofis perjuangan itu tidak dipegang. Pada situasi seperti itu, sulit berharap munculnya inovasi untuk membebaskan rakyat dari ketidakadilan maupun kerusakan dan pencemaran sumber daya alam, karena jiwa dan dasar pemikirannya terikat dan menjadi bagian dari ilmu-logika-legalitas yang menopang ketidakadilan itu sendiri.

Karena itu, bentuk perjuangan adalah melawan dan mengalahkan logika yang dangkal itu. Saya menutup artikel ini dengan kutipan dari syair W.S Rendra dan aktivis demokrasi yang pernah jadi Presiden, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur:

Apakah artinya kesenian bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir bila terpisah dari masalah kehidupan (W.S Rendra).

Tuhan tidak perlu dibela, Dia sudah maha segalanya. Belalah mereka yang diperlakukan tidak adil (Gus Dur).

Gambar oleh Alina Kuptsova dari Pixabay

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain