Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 02 Maret 2020

Bahaya RUU Cipta Kerja

Bahaya RUU Cipta Kerja karena ia tak menjangkau masalah pokok dalam bisnis Indonesia: korupsi dan paradoks polusi yang menciptakan transaksi gelap antara negara dengan swasta. Masih ada kesempatan memperbaikinya di DPR.

Penduduk Kampung Semanan di Kalideres, Jakarta Barat, mencuci mobil yang terendam banjir, 7 Januari 2020 (Foto: Siti Sadida Hafsyah)

MASIH soal Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja. Saya ingin meneropong apa yang mungkin terjadi jika rancangan ini disahkan dan pasal-pasalnya berlaku mengatur hidup kita, orang Indonesia. 

Dalam rancangan Cipta Kerja, pemerintah telah menentukan bahwa analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) tetap diberlakukan, tapi untuk investasi berisiko tinggi terhadap kesehatan, lingkungan, sumber daya. Investor yang tak membangun usaha risiko tinggi, tak perlu membuat dokumen ini. Menurut pejabat Indonesia, alasan penghapusan adalah karena Amdal memberatkan, penuh korupsi dalam pembuatannya, sementara pengawasan dan evaluasi pelaksanaannya tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh.

Alasan dan pernyataan pejabat itu benar separuh sekaligus mengandung setengah kekacauan berpikir yang akut. Dalam logika sederhana, jika pembuatan Amdal diikuti korupsi dan pengawasannya tak sungguh-sungguh, kewajiban aturan adalah mempersempit kemungkinan korupsi dan meningkatkan pegawasan agar evaluasinya bisa lebih kuat. Bukan malah menghapus Amdalnya. Alasan itu sama saja dengan pernyataan, tak ada orang Indonesia kena flu karena tak ada pemeriksaan serius atau alat periksanya buruk. Bukan karena orang Indonesia kebal atau virusnya tak bisa masuk negara ini.

Kita tahu, kualitas sebagian besar dokumen Amdal memang buruk. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pernah menilai 233 dokumen Amdal pada 2016 dan 2017. Hanya 66 dokumen Amdal atau 28% yang memenuhi syarat. Kenyataan seperti ini sudah menjadi rahasia umum. Tetapi menghapus Amdal untuk kategori usaha tak berisiko setidaknya menimbulkan paling tidak dua pertanyaan:

Pertama, apa dampak memberlakukan Amdal bagi investasi yang berisiko tinggi bila pengawasan atas pelaksanaannya tidak bisa dilakukan dengan sungguh-sungguh? Jika alasan Amdal dicabut bagi investasi risiko rendah karena korupsi dan pengawasan tak sungguh-sungguh, mengapa Amdal diberlakukan bagi usaha risiko tinggi?

Riset ekonomi politik mengenai hal itu menyebutnya kontradiksi ini dengan sebutan “paradoks pencemaran (pollution paradox)”. George Monbiot, dalam “The Pollution Paradox” yang dimuat The Guardian pada 19 Januari 2017, menyebut bahwa perusahaan-perusahaan yang semakin besar menghasilkan polusi akan semakin banyak mengeluarkan uang politik untuk mengamankan posisinya. Akibatnya, perusahaan-perusahaan kotor tersebut menguasai politik dan memiliki pengaruh besar dalam pemerintahan maupun dalam menghadapi perusahaan bersih pesaing mereka.

Di Indonesia, setara dengan paradoks itu, ditunjukkan oleh survei KPK pada 2016 dan 2017 mengenai donatur untuk biaya pemilihan kepala daerah. Kajian itu memastikan adanya peran pengusaha yang mempengaruhi jalannya pemerintahan setelah seorang kepala daerah terpilih. Sebanyak 61,5-76,7% dari jumlah donatur umumnya bermaksud mendapat keamanan dalam menjalankan bisnis mereka. Selain itu, 64,4-73,3% donatur ingin mendapat kemudahan tender dari proyek pemerintah daerah dan 63,3-73,0% ingin mendapat kemudahan akses perizinan. Motivasi donatur lainnya adalah mendapat kemudahan akses untuk mendapat jabatan di pemerintahan atau badan usaha milik daerah (60,1-56,0%) serta mendapat akses untuk ikut menentukan kebijakan atau peraturan daerah (43,7-49,3%).

Lingkaran paradoks ini meluas seiring waktu. Dampak kerusakan industri yang kemudian dibiarkan itu tak ditanggung oleh pejabat yang mendapatkan donasi tersebut, melainkan publik. Publik, dalam hal ini, sering kali adalah masyarakat miskin—mereka yang mudah diabaikan kepentingannya secara politik, lemah, dan tak bisa bersuara. Sudah banyak penelitian yang membuktikan bahwa korban terbanyak dari dampak kerusakan alam dan rebutan sumber daya alam adalah masyarakat di lapis terbawah.

Namun, keadaan empirik itu tak terlihat dalam RUU Cipta Kerja. RUU ini malah mengadopsi keadaan buruk itu. Misalnya, partisipasi dalam menyusun Amdal hanya dibatasi bagi masyarakat yang terdampak langsung, dengan menghapus hak yang sama untuk kelompok-kelompok pemerhati lingkungan hidup.

Kedua, ketika berbagai jenis investasi yang kurang berisiko hanya akan membuat pernyataan kepatuhan terhadap standar tertentu, dan kemudian melalui prosedur tertentu dapat diterima atau ditolak oleh pihak yang berwenang, tak jelas bagaimana obyektivitas penilaian itu dapat dijaga. Dari penelitian dan penyelidikan perizinan pertambangan di dalam kawasan hutan yang pernah saya ikuti, izin pinjam pakai kawasan hutan dan amdalnya dipalsukan. Itu artinya tidak ada standar sama sekali.

Kepala Dinas Kehutanan setempat saat itu mengeluarkan surat izin “memasuki kawasan hutan” yang dipergunakan untuk melaksanakan eksplorasi tambang, padahal yang diperlukan adalah izin pinjam pakai kawasan hutan untuk eksplorasi dari KLHK. Setelah kesalahan itu terungkap, surat izin itu dinyatakan sebagai surat palsu.

Ada pula surat Sekretaris Komisi Amdal setempat yang digunakan untuk menyatakan bahwa izin lingkungan sedang dalam proses, sehingga produksi tambang bisa dilakukan. Tetapi surat itu pun kemudian tidak diakui oleh Komisi Amdal, walaupun surat itu telah menjadi dasar terbitnya surat kelayakan lingkungan hidup.

Kekacauan-kekacauan seperti kerap terjadi di lapanga. Negara seolah absen kendati para pelaku di sana adalah para aparatur negara. Mereka bukan hanya mendegradasi prosedur, tetapi juga menentukan mekanisme transaksi, siapa mendapat pekerjaan studi lingkungan, maupun siapa saja yang harus mendapat bagian dari transaksi itu.

Buruknya tata kelola itu, sialnya, tak bisa disederhanakan melalui perubahan atau penghapusan pasal-pasal dalam undang-undang sebagai suatu bentuk teks (rule in form), seperti usaha para pembuat RUU Cipta Kerja. Karena hal itu sudah menjadi norma-praktik dalam tindakan (rule in use), sebagai manifestasi klientelisme yang berakar secara historis maupun politis dalam birokrasi kita—bahkan mungkin dalam semua lapisan dan jenis profesi orang Indonesia.

Dalam kasus seperti itu, relasi yang tidak seimbang antara tekanan kuasa dari luar terhadap atasan dan antara atasan terhadap bawahan, memungkinkan terjadi penghapusan profesi di dalam birokrasi. Tugas atasan kepada bawahan untuk menentukan alternatif keputusan diterima atau ditolaknya sesuatu perbuatan, bisa dilakukan dengan mengesampingkan pertimbangan teknis-profesional. Singkatnya, mode itu menghasilkan kesimpulan terlebih dahulu sebagai perintah atasan, baru kemudian dicari argumentasi pembenarannya oleh bawahan termasuk kelengkapan proses administrasinya.

Maka terhadap pertanyaan, “Syarat apa yang harus dipenuhi pelaku usaha agar standar berbisnis bisa dipenuhi?” ada dua jawaban untuk menaggapinya. Pertama, kegiatan harus memenuhi kualifikasi tertentu untuk mencapai standar. Kedua, membeli keputusan dengan sejumlah uang atau jasa lainnya untuk mendapatkan pernyataan sesuai standar.

Secara normatif, dari bukti-bukti empirik yang sudah ada, para pengusaha akan memiliki satu dari dua kemungkinan itu dengan menimbang risiko atas pelanggaran peraturan, dibandingkan dengan biaya memenuhi standar. Semakin kecil risiko relatif terhadap biaya untuk memenuhi standar, pilihan kedua yang mereka ambil. Pilihan ini menjadi penyebab mengapa hasil evaluasi KLHK terhadap dokumen Amdal menunjukkan umumnya dokumen ini berkualitas rendah, karena Amdal secara fungsional memang sia-sia dan tidak berguna.

Mungkin kita belum terbiasa melihat persoalan pelanggaran hukum dari kacamata ekonomi institusi seperti ini. Dari kacamata itu, melanggar hukum berarti para pelanggar membeli hak atau kewenangan (transfer of rights) untuk memutuskan apa yang mereka inginkan dari pejabat publik.

Hal-hal seperti ini, terus terang, belum terjangkau apalagi terpecahkan oleh pasal-pasal RUU Cipta Kerja. Kita perlu menggodoknya lebih jauh di DPR, jika  para perancangnya tak memahami, mengabaikan, atau tak bisa menjangkau problem klasik dalam dunia usaha di Indonesia ini.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain