Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 08 Maret 2020

Kesalahan-kesalahan Berpikir dan Problem Etis RUU Cipta Kerja

Selain mengandung banyak kesalahan berpikir, Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja, omnibus law untuk mendongrak investasi, juga mangandung banyak problem etis berupa konflik kepentingan.

Investasi vs lingkungan hidup.

SEANDAINYA saya seorang pengusaha yang abai pada etika bisnis, saya akan menyembah setengah mati Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja, salah satu omnibus law untuk mendatangkan investasi, yang saya unduh dari situs HukumOnline.com pada 20 Februari 2020.

Versi rancangan ini penting saya sampaikan guna menghindari debat kusir yang kontra-produktif seputar versi-versi rancangan undang-undang yang sedang hangat dibicarakan ini, meskipun pada dasarnya saya lebih tertarik membaca rancangan yang sudah menjadi undang-undang. Berdasarkan versi rancangan itu, artikel ini akan mendiskusikan beberapa masalah etis berupa konflik kepentingan.

Sebelum membaca draf rancangan itu, saya membaca naskah akademik yang juga saya peroleh dari situs yang sama. Di dalamnya, saya hanya mendapatkan raison d'etre dari omnibus yang pernah terjadi di beberapa negara yang memakai sistem hukum common law tetapi tidak ada penjelasan mengenai mengapa atau bagaimana negara-negara civil law tidak mengadopsi praktik omnibus. Jika fakta historis bahwa Indonesia mewarisi hukum Belanda membuatnya menjadi bagian dari tradisi civil law, boleh jadi Indonesia akan menjadi negara pertama yang mengadopsi omnibus dalam sistem hukum ini.

BACA: Omnibus Law: Deregulasi yang Mencederai Reformasi

Naskah akademik omnibus juga sedikit keliru menjelaskan soal pengertian omnibus. Dalam catatan kaki nomor 14 pada halaman 24 tertulis bahwa: "Omnibus Law merupakan sebuah praktik penyusunan peraturan perundangundangan [sic!], yang banyak dilakukan di negara-negara yang menganut sistem common law/anglo saxon seperti Amerika, Kanada, Inggris, Filipina, dan lainnya. Prosesnya disebut Omnibus Legislating dan produknya disebut Omnibus Bill. Kata Omnibus berasal dari bahasa latin [sic!] yang artinya segalanya atau semuanya (for everything)."

Catatan kaki ini gagal membedakan antara bill (yang merupakan draf atau rancangan undang-undang yang diajukan pada parlemen untuk diskusi) dengan law (yang merupakan undang-undang yang sudah jadi). Di samping itu, naskah akademik juga gagal menjelaskan mengapa negara yang menganut civil law tidak melakukan omnibus legislating? Hal ini penting untuk menyadarkan para legislator di Senayan dan rakyat Indonesia mengenai perbedaan konteks dari proses legislasi antara negara yang mempraktikkan common law dengan civil law.

Kata omnibusyang merupakan bentuk jamak dari omnisjuga bukan berarti for everything seperti dalam naskah akademik, tapi for all dalam bahasa Latin. Makna for everything sama dengan “untuk (mendukung) masing-masing/setiap”, sedangkan for all berarti “untuk (mendukung) semuanya?. Masing-masing orang berbeda dengan semua orang. Bagi pikiran jernih dan teliti dalam berbahasa, keduanya tidak sama, terlebih mengomposisi draf rancangan yang bersifat “super” seperti omnibus.

Dalam naskah akademik juga dinyatakan, “Dengan menggunakan teknik Omnibus Law, persoalan dalam berbagai undang-undang tersebut dapat diselesaikan tanpa harus merevisi berbagai undang-undang yang substansinya terkait dengan perizinan, melainkan cukup dengan membuat 1 (satu) undang-undang baru yang mengamandemen pasal dalam beberapa undang-undang" (halaman 26).

Apakah ada dasar konstitusional untuk melakukan hal ini? Bagian konsideran hanya menjelaskan kewajiban negara untuk menyediakan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi warga negara. Artinya, Rancangan Cipta Kerja  dan naskah akademik omnibus belum mendapatkan pijakan konstitusional dalam pengertian bahwa sebuah undang-undang dapat mengubah, menghapus, menyisipkan dan/atau menetapkan pengaturan baru di dalam undang-undang lain.

Pada negara yang konstitusinya tidak tertulis seperti Inggris, hal ini tidak akan menjadi masalah serius karena anggota parlemen memang menghindari debat kata per kata seputar konstitusi. Ceritanya akan berbeda pada negara seperti Indonesia yang konstitusinya tertulis, dan tidak menganut common law.

Supaya diskusi tidak berhenti di sini, kita anggap saja RUU Cipta Kerja memang konstitusional atau terdapat pasal di dalam UUD 1945 hasil amandemen keempat yang memang mengatur soal omnibus.

Konflik Kepentingan

Problem etis dari RUU Cipta Kerja ialah kentalnya nuansa konflik kepentingan di pihak pemerintah. Bahkan, Presiden Joko Widodo sempat melakukan semacam fait accompli kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Puan Maharani dengan mengatakan bahwa “Sehingga kita ajukan langsung pada DPR. Bu Puan ini 82 undang-undang sudah, mohon segera diselesaikan. Kalau bisa, Bu, jangan sampai lebih dari tiga bulan”.  pada 16 Desember 2019 lalu.

Berbagai pasal dalam rancangan itu juga mengesankan akumulasi dan sentralisasi kekuasaan di tangan presiden dan/atau pemerintah pusat yang bertentangan dengan semangat otonomi daerah dan reformasi. Beberapa di antaranya ialah:

  • pasal 6, pasal 18 ayat 1, pasal 18 ayat 4 usulan perubahan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang;
  • pasal 1 angka 12 usulan perubahan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan;
  • pasal 24 ayat 2 usulan perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;
  • pasal 14 ayat 1 usulan perubahan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan;
  • pasal 15 ayat 6 usulan perubahan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana diubah dengan Undan-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang;
  • pasal 1 angka 21 usulan perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi;
  • dan lain sebagainya.

Pemerintah juga membungkus konflik kepentingan ini dengan dalih atau isu berupa penciptaan kerja. Draf rancangan bahwa “Cipta Kerja adalah upaya penciptaan kerja melalui usaha kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan, usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha, dan investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional” (pasal 1 ayat 1).

BACA: 10 Ancaman Omnibus Law Terhadap Lingkungan

Di sini, memang, usaha mikro, kecil, dan menengah mendahului investasi tetapi urutan orientasi ini terbalik dalam naskah akademik. Kekacauan ini juga bertolak belakang dengan dua hal:

Pertama, landasan filosofis di dalam naskah akademik menyatakan “Upaya strategis yang dilakukan dalam rangka penciptaan lapangan pekerjaan secara garis besar dilakukan melalui tiga upaya, yakni:

(a) peningkatan investasi;

(b) penguatan UMKM;

dan (c) peningkatan kualitas sumber daya manusia (ketenagakerjaan) Indonesia yang dirumuskan dalam Rancangan pada halaman 208. Artinya, investasi mendahului usaha mikro, kecil, dan menengah.

Kedua, bagian kesimpulan dari naskah akademik juga menyuratkan, “Landasan filosofis RUU Cipta Kerja adalah sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang adil dan makmur melalui pemenuhan ihwal atas pekerjaan dan kehidupan yang layak dengan mendorong investasi” (halaman 217). Artinya, naskah akademik lebih jujur dalam menyatakan urutan orientasi Cipta Kerja ketimbang draf rancangannya, sementara kejujuran adalah kebajikan atau keutamaan dalam etika (bisnis).

Naskah akademik juga abai menjelaskan bagaimana peningkatan ekosistem investasi bisa menjadi semacam Panacea (Dewa Penyembuh dalam mitologi Yunani Antik) atau obat generik bagi segala macam “penyakit” berupa kekurangan lapangan pekerjaan?

Sebaliknya, sejarah perkembangan agrikultur dan maritim menunjukkan bahwa jika tanahmu tidak subur, migrasi merupakan pilihan. Jika kamu ingin menangkap lebih banyak ikan, berlayarlah ke laut dalam/samudera. Artinya, sejarah maritim dan agrikultur tidak mengundang investasi dari luar untuk menyuburkan tanah atau menambah jumlah ikan di laut dangkal tetapi justru mendorong orang untuk merantau guna mendapatkan pekerjaan. Tepat di sini, Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja perlu menomorsatukan peningkatan kualitas sumber daya manusia sebelum merantau ketimbang perbaikan ekosistem investasi.

BACA: Investasi atau Lingkungan Hidup: Mana Lebih Penting?

Makna investasi pun relatif bergeser. Awalnya, investasi adalah proses atau aksi memutar uang demi keuntungan dengan resiko tertentu. Namun, RUU mengonotasikan bahwa investasi adalah upaya pengusaha (Apindo) mendesak pemerintah menderegulasi berbagai sektor industri. Hal ini tampak jelas dalam berbagai usulan perubahan seputar Analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal), misalnya:

  • Amdal tidak lebih dari pertimbangan pengambilan keputusan, dan bukan komponen preventif pada bisnis yang berpotensi mencemarkan dan merusak lingkungan (usulan perubahan pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam RUU Cipta Kerja);
  • Amdal hanya berlaku pada kegiatan bisnis yang dampaknya tak hanya pada lingkungan tapi juga budaya, sosial dan ekonomi (usulan perubahan pasal 23 ayat 1 usulan perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup);
  • Amdal menjadi dasar uji kelayakan lingkungan hidup yang terpusat di Jakarta (usulan perubahan pasal 24 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam RUU CiKa);
  • penyusun atau pemrakarsa Amdal dapat menunjuk pihak lain (usulan perubahan pasal 26 ayat 1 dan pasal 27 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam RUU CiKa);
  • Amdal hanya wajib pada gedung dengan dampak penting terhadap lingkungan (usulan perubahan pasal 15 ayat 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung dalam RUU CiKa);
  • definisi Amdal untuk pertambangan mineral dan batubara hanya menyasar lingkungan hidup, dan mengabaikan faktor budaya, sosial dan ekonomi (usulan perubahan pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dalam RUU CiKa).

Ringkasnya, RUU Cipta Kerja memberikan ruang lingkup yang berbeda pada Amdal untuk industri yang berbeda.

Inkonstitusionalitas dan konflik kepentingan seputar RUU Cipta Kerja menegasikan satu ajaran dalam etika deontologi/Kantian bahwa tujuan menciptakan lapangan pekerjaan dan menguntungkan pengusaha adalah dengan tidak menghalalkan segala cara, termasuk melabrak konstitusi dan risiko lingkungan.

Ilustrasi: Shutterstock

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumnus the University of Melbourne, Australia

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain