Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 18 Februari 2020

Dokter Rosa dan Keluarga Besar Konservasi

Konservasi membutuhkan kolaborasi dan nilai-nilai sebuah keluarga besar. Bahkan satwa liar harus dianggap bagian dari keluarga.

Drh. Rosa Rika Wahyuni memeluk seekor anak gajah yang ditolongnya di Aceh.

FOTO seorang perempuan yang memeluk anak gajah di Aceh yang beredar di media sosial menyentuh hati nurani kita. Perempuan itu adalah Rosa Rika Wahyuni. Ia dokter hewan yang banyak menolong gajah yang terluka atau sekarat akibat terkena jerat atau diburu. Rosa adalah satu dari 3.480 aparatur pemerintah non pegawai negeri sipil.

Ia telah menjadi contoh bahwa bekerja tak hanya sekadar bekerja. Ia membangun karya, tentang “penyelamatan satwa liar” kebanggaan Indonesia dari kepunahan. Foto itu telah menunjukkan kepada kita, Rosa seorang dokter hewan yang mengabdikan sebagian besar hidupnya, menyembuhkan gajah-gajah di Provinsi Aceh. Ia bekerja tanpa kenal lelah sejak 2008.

Betapa sayangnya drh. Rosa itu kepada “pasien-pasien” istimewanya. Ia termasuk apa yang saya sebut sebagai “manusia unggul” atau “manusia matahari”. Manusia yang bekerja dengan antusiasme yang tinggi, yang bekerja dengan hatinya. Ia peduli terhadap nasib satwa liar yang tidak bisa langsung berbicara kepada manusia, tetapi drh. Rosa mengerti penderitaan hewan-hewan tersebut.

Ada banyak contoh lain yang membuat kita semakin yakin bahwa “we never feel alone” dalam kerja-kerja konservasi. Spirit dan “virus” kebaikan dan kemuliaan drh. Rosa itu menjalar dengan cepat ke seluruh keluarga besar konservasi. Mereka telah mendorong meluasnya cahaya dan energi positif ke hampir semua penjuru dunia dengan cepat melalui kendaraan canggih bernama media sosial.

Contoh lainnya ditunjukkan oleh Pak Kasim Wijaya, Syukur ‘Sugeng’ Alfajar, dan Biksu Nyanaprathama Mahasthavira yang bahu membahu membangun Lembaga Konservasi Barumun Nagari, yang mengedepankan animal rights, di mana satwa liar seperti gajah bisa hidup bebas, dijaga, dan terjaga. Fenomena baru yang membuat kita bangga karena telah tumbuh kesadaran kolektif dan akhirnya melahirkan aksi-aksi kolektif di tingkat lapangan, di tingkat tapak.

Direktorat Jenderal KSDAE hanya mendorong terbangunnya iklim yang sehat untuk meluasnya inisiatif tersebut. Lahirnya kebijakan kemitraan konservasi, yang memperlakukan masyarakat desa yang terpaksa masuk kawasan konservasi dengan lebih manusiawi, menunjukkan semangat kolaborasi dalam konservasi. Caranya dengan membentuk kelompok-kelompok tani yang dimitrakan dengan Balai Taman Nasional atau Balai KSDA dengan disepakatinya hak dan kewajiban kelompok.

Mereka wajib membangun agroforestri, membantu patroli, melapor bila ada satwa terjerat, menghentikan perburuan satwa, dan sebagainya. Mereka dibantu dan difasilitasi untuk membangun pertanian yang sehat dan memasarkan hasilnya. Pertanian sehat tanpa pupuk kimia telah dikembangkan di daerah penyangga Taman Nasional Gunung Ciremai. Pak Padmo Wiyoso dan Dr. Suryo Wiyono, dari Laboratorium Proteksi Tanaman IPB, yang memulai upaya mulia ini degan temuan mikroba untuk pemuliaan tanaman.

Ada tiga kelompok mikroba yang berguna bagi tanaman. Pertama, cendawan patogen serangga hama, yaitu cendawan Hirsutella sp dan Lecanicillium sp. Kedua, isolat bakteri pemacu pertumbuhan, yaitu C71 yang mampu meningkatkan panjang akar bibit tomat 42,3% dan meningkatkan daya kecambah sebesar 178%, tomat tahan penyakit bercak daun. Ketiga, bakteri yang dapat menekan dampak frost yaitu PGMJ 1 (dari kemlandingan gunung), dan A1 (dari anggrek Vanda sp.), keduanya dengan tingkat keefektifan 66,6%.

Mereka adalah anggota kehormatan extended family Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem.

Kita sebut saja extended family dalam bahasa Indonesia adalah “keluarga batih”. Secara definisi, keluarga batih adalah satuan sosial yang terdiri dari keluarga inti dan saudara sedarah, sering kali mencakup tiga generasi atau lebih. Saya tidak mencari teori di konsep tersebut. Tapi dalam pemahaman saya, keluarga batih lebih luas dari sekadar hubungan darah keluarga kita, istri dan anak sampai beberapa generasi kemudian.

Dalam hal Direktorat Jenderal KSDAE di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, anggota keluarga batih minimal 6.681 orang, yakni staf sebagai pegawai negeri sipil ditambah 3.480 pegawai pemerintah non aparatur sipil negara yang tersebar di seluruh tanah air.

Karena Ditjen KSDAE beserta 74 Unit Pelaksana Teknis di seluruh tanah air mendapatkan mandat mengelola kawasan konservasi yang luasnya 27,14 juta hektare, anggota keluarga besar KSDAE bisa bertambah dengan masyarakat di 6.203 desa, 1.592 kecamatan, dan 355 kabupaten, yang berbatasan dengan kawasan konservasi. Pada tahun 2016, jumlahnya mencapai 9,5 juta jiwa.

Jumlah ini masih ditambah dengan mitra-mitra Ditjen KSDAE yang membantu bekerja bahu membahu dalam mengelola kawasan konservasi, para peneliti, praktisi, dan mereka yang peduli pada pelestarian kawasan konservasi dengan semua isi dan manfaatnya. Bahkan, satwa liar di mana pun berada dan ribuan jenis flora juga menjadi bagian dari “keluarga besar” kita.

Nilai-nilai yang dibangun dalam extended family atau keluarga batih sebenarnya hampir sama dengan nilai-nilai dalam keluarga kecil. Nilai-nilai tersebut harus disemai, ditanamkan, dipelihara, dan dikembangkan secara partisipatif, dialogis, inklusif, sehingga secara bertahap menjadi bagian dari skema “bawah sadar” semua anggotanya.

Nilai-nilai tersebut adalah: (1) kerja sama dan kebersamaan, (2) kegotongroyongan, (3) kekompakan, (4) saling mengingatkan dan mengajak, (5) saling percaya, (6) “no one left behind” (7) kesadaran kolektif, (8) aksi kolektif, dan (9) saling belajar, (10) komunikasi asertif, dan (11) membangun sistem ketetanggaan yang baik.

Nilai-nilai tersebut harus dibangun dengan sikap mental seorang pemimpin yang sadar akan makin tinggi dan beragamnya persoalan di lapangan dalam mengelola kawasan konservasi. Namun, harus kita sadar juga, dalam problem itu ada banyaknya peluang yang bisa digali dan dikembangkan dari berbagai potensi kawasan konservasi maupun modal sosial dalam keluarga besar Ditjen KSDAE, mitra, dan masyarakat itu.

Untuk membangun keluarga yang sangat besar tersebut, di mana pun kita berada, sebaiknya mempertimbangkan prinsip “5K”, yaitu: (1) Kepeloporan, (2) Keberpihakan, (3) Kepedulian, (4) Konsistensi, dan (5) Kepemimpinan.

Kepeloporan adalah sikap mental menjadi yang pertama, menjadi seorang pionir dalam memulai sesuatu yang baru untuk kepentingan keluarga konservasi.

Keberpihakan adalah sikap mental memperhatikan dan memprioritaskan bagi anggota yang tertinggal, terbelakang, terabaikan, untuk ditemani agar maju bersama sama anggota yang lainnya.

Kepedulian adalah spirit peduli terhadap mereka yang memerlukan dukungan, bantuan, atau pendampingan dari kita.

Konsistensi adalah sikap pantang menyerah, bekerja dengan antusiasme yang tinggi, dan persisten untuk terus bekerja sampai berhasil mencapai tujuannya.

Kepemimpinan yang memiliki integritas akan mampu melaksanakan keempat sikap mental tersebut di atas.

Selamat bergabung di keluarga besar konservasi.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain