Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 29 Oktober 2019

Manusia Unggul Penjaga Lingkungan

Ada tiga ciri manusia unggul konservasi. Mereka yang antusias mereguk pengalaman baru melalui kerja ikhlas menjaga lingkungan.

Hutan pendidikan Gunung Walat (Foto: R. Eko Tjahjono)

PARA peneliti luar negeri yang datang ke Indonesia dan hidup berbaur dengan masyarakat telah menjadi “bank pengetahuan” tentang daerah-daerah, budaya, orang-orang, hingga pengetahuan dan kebajikan-kebajikannya. Kita belum tentu bisa mengambil bunganya secara cuma-cuma. Dalam 20-30 tahun terakhir, bank pengetahuan tentang Siberut dan Mentawai ada di kepala Gerard A. Persoon dan Reymor Schefold, kedua peneliti dari Leiden University, Belanda.

Kini ada Darmanto. Ia tujuh tahun tinggal di Siberut lalu kuliah master di Perth University Australia pada 2014 dan melanjutkan studi doktor di Leiden. Ia mungkin satu-satunya orang Indonesia yang akan mendapatkan kesempatan “mengambil kembali” dan bahkan menemukan hal-hal baru tentang kajian-kajian antropologi atau sosiologi Mentawai melalui disertasi doktornya. Selain Darmanto, ada Tulius putra Mentawai yang lama tinggal di Belanda untuk menempuh studi doktoral.

Penjelasan tentang perkembangan Mentawai kontemporer seharusnya kita dapatkan dari kedua doktor tersebut. Temuan-temuan Darmanto yang ia tuangkan dalam buku Berebut Hutan Siberut (UNESCO, 2013) sangat memberikan pencerahan tentang mitos orang Mentawai. Perencana pembangunan, di tingkat nasional maupun kabupaten, akan berutang banyak kepadanya, apabila mereka ingin mengetahui bagaimana cara yang efektif “membangun” masyarakat Mentawai.

“Bank pengetahuan” tentang Siberut kontemporer juga ada di kepala Rahmadi, yang sejak 1990-an konsisten mengawal berbagai perkembangan Siberut atau Mentawai hingga kini. Ia salah satu pejuang yang menentang kehadiran HPH 2000-2004 bersama Walhi Sumatera Barat, Korta, Boyce, Koen, Yudas. Melalui tabloid Puailiggoubat yang ia dirikan pada 2000, Rahmadi mengawal berbagai perkembangan Mentawai dengan memberikan kritik yang konsisten terhadap kebijakan pemerintah kabupaten yang terbentuk tahun 1999 itu.

Membicarakan “bank pengetahuan” akan sampai pula kita pada pembahasan manusia unggul. Siapa mereka, terutama, jika dikaitkan dengan mereka yang bergerak di bidang pengelolaan dan penyelamatan lingkungan. Saya coba menguraikannya dalam artikel ringkas ini:

Pertama. Mereka yang selalu berusaha mengisi setiap jengkal kerja konservasi dengan spirit yang tinggi. Jika pegawai negeri, mereka bekerja beyond tugas pokok dan fungsinya, yang bekerja dengan hati dan semangat tinggi, bukan sekadar memenuhi target laporan kegiatan fisik atau target laporan keuangan administrasi. Mereka biasa bekerja di luar batas-batas legal-formal. Mereka tidak puas hanya sekadar melaksanakan pekerjaan konservasi yang dituangkan dalam tugas-tugas formalnya. Mereka inginkan adanya perubahan di tempat mereka bekerja. Mereka ingin merespons perubahan yang cepat dengan respons yang setara.

Dalam buku Manusia Matahari (2012) Herry Tjahjono mengatakan bahwa dalam hidup, bekerja saja tidak cukup. Jadilah “manusia matahari” yang bekerja dengan “antusias”, bukan hanya bekerja dengan keras dan cerdas. Manusia matahari memberikan hati dan jiwanya dalam melakukan tugas dan kewajibannya.

Antusias berasal dari kata “entheos” , yang berarti “Tuhan di dalam”, atau “Tuhan bersama kita”. Manusia yang memiliki “entheos” akan mempunyai energi istimewa yang meluap melalui jiwa raganya. Sebab antusiasme punya pengaruh bukan hanya terhadap mereka yang memilikinya tapi juga kepada orang yang ada di sekitarnya.

Hasil kerja “manusia matahari” sudah layak disebut sebagai “karya”, dan bukan sekadar output atau outcome. Manusia-manusia unggul yang bekerja luar biasa di bidang konservasi alam seharusnya manusia sebagaimana yang digambarkan oleh Herry Tjahjono tersebut.

Dalam A New Earth Create A Better Life (2005), Eckhart Tolle memperluas pendapat Herry Tjahjono, bahwa bekerja bukan hanya secara antusias atau “entheos”, tetapi juga memiliki sikap mental acceptance atau ikhlas dan bisa selalu menikmati proses membangun karyanya itu.

Eilen Rachman & Emilia Jakob menyebutnya “growth mindset”. Mereka yang punya “growth mindset” akan memfokuskan energi positif dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengatasi keterbatasan. Mereka tidak takut bangun lebih pagi, berjalan lebih jauh, berusaha dua kali lipat dibandingkan dengan rekan-rekannya dan bahkan bangun lagi dengan cepat bilamana mereka gagal.

Mereka yang memiliki “growth mindset” bukan mereka yang tidak pernah merasa takut akan keterbatasan mereka, akan tetapi semata-mata lebih karena mereka tidak membiarkan rasa takut menguasainya. Nelson Mandela mengatakan: “I learned that courage was not the absence of fear, but the triumph over it. The brave man is not he who does not feel afraid, but he who conquers that fear”.

Kedua. Manusia unggul adalah jenis manusia yang dengan kemampuannya bisa membangun jaringan. Mereka memelihara jejaring tersebut dalam bentuk komunikasi asertif yang mencerahkan, memerdekakan, dan membuat lahirnya nilai-nilai baru, bekerja sama, berkolaborasi, dan bergotong royong menegakkan modal sosial bersama. Kepribadiannya yang terbuka bagi setiap orang dan kesempatan baru untuk maju, berkembang, membuatnya bisa masuk ke dalam wilayah-wilayah pengalaman baru yang sering kali mencengangkan.

Membicarakan networking tidak bisa dilepaskan dari pembahasan kelahiran “Generasi C”. Rhenald Kasali menguraikannya dalam buku Cracking Zone yang terbit pada 2010 Bagaimana sikap kita dalam mengelola lingkungan hidup dalam dunia yang sudah berubah dengan cepat, di mana lahir Generasi C, istilah yang pertama kali diperkenalkan oleh seorang peneliti dari Australia, Dan Pankraz. Generasi “C” adalah generasi yang memiliki content, connected, digital creative, cocreation, customize, curiousity, dan cyborg. C bisa berarti juga cyber, cracker, dan chameleon atau bunglon.

Saya ingin memperluas interpretasi Generasi C dengan menambahkan “carrier”, sang pembawa pesan tentang pentingnya melindungi lingkungan, pola hidup hemat dan berbagai macam sikap mental yang pro-lingkungan menjadi content yang ditular-sebarkan dengan sangat cepat, yang akhirnya mempengaruhi sikap mental, cara berpikir dan berperilaku banyak orang.

Gen C adalah generasi yang lahir di era teknologi informasi super canggih atau teknologi 4.0. Namun, networking di antara manusia-manusia unggul konservasi bukan saja perlu dikaitkan dengan “Generasi C” yang serba cepat, digital, dan globally connected itu. Ini juga soal koneksitas secara emosional spiritual. Koneksi di antara mereka karena memiliki “koridor frekuensi” yang sama, satu visi, satu impian, satu harapan. Setiap simpul manusia unggul menyimpan pengetahuan, wawasan, pengalaman yang sangat kental, sangat spesifik dan tersimpan dalam memori “DNA” mereka tentang tematik tertentu.

Pengetahuan dan pengalaman itu tersimpan dalam “knowledge bank” itu tadi. Syukur apabila mereka sudah menuliskannya dalam blog, Twitter, Facebook atau dalam bentuk buku. Namun, tetap saja spirit utamanya ada di dalam isi kepala dan memori pelaku-pelaku tersebut. Oleh karena itu, membangun jejaring dengan manusia-manusia unggul seperti ini harus menjadi suatu prioritas.

Ketiga. Manusia unggul pada umumnya memiliki panggilan hidup yang relatif sama, yaitu apa yang disebut dalam bahasa Jawa sebagai “memayu hayyuning bawana”, mempercantik bumi atau alam yang sudah cantik ini. Untuk memiliki panggilan hidup ini, mereka bekerja berdasarkan “kesadaran”.

Seseorang yang sadar akan sangkan paraning dumadi, sadar akan asal usulnya, niscaya punya semangat progresif untuk melakukan sesuatu melampaui egonya. Ia berkarya untuk kepentingan bersama. Hidup bukan hanya proses memurnikan jiwa tetapi juga merealisasikan talenta untuk menghasilkan mahakarya. Tubuh kita menjadi sarana Sang Suwung untuk membangun peradaban yang harmonis dan indah. (Suwung, Setyo Hajar Dewantoro, 2017).

Konsep yang digali dari khazanah kebudayaan Jawa ini selaras dengan “manusia matahari”, dan manusia yang memiliki sikap mental yang diuraikan oleh Echart Tolle, yang bekerja berdasarkan keikhlasan, semangat dan bisa menikmati menjiwai setiap proses pekerjaannya dalam menghasilkan karya untuk kepentingan bersama, untuk peradaban manusia.

Membicarakan manusia unggul dan pengetahuan, saya teringat satu kutipan Goenawan Mohamad dalam satu Catatan Pinggir yang terbit pada 4 Februari 2018 tentang Daoed Joesoef, filsuf yang menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu: Kerja ilmiah pada dasarnya adalah politik pembebasan dari doktrin dan dogma

Bahan Rujukan:

Dewantoro, Setyo Hajar., 2017. Suwung. Ajaran Rahasia Leluhur Jawa. Javanica 2017.

Kasali, Rhenald, 2010. “Cracking Zone” Rumah Perubahan bekerja sama dengan Gramedia (2010).

Eilen Rachman & Emilia Jakob, 2016. “Growth Mindset”. Hiring for Attitude. Kompas 26 Maret 2016.

Wiratno, 2011. Solusi Jalan Tengah. Esai-esai Konservasi Alam. Direktorat Konservasi Kawasan.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain