Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 30 Desember 2019

Dosa dan Nasib Planet Kita

Jika semua negara mencapai target yang mereka tetapkan menurunkan suhu bumi 2 derajat Celsius di bawah level pra industrialisasi, suhu bumi akan tetap naik lebih dari itu. Mengerikan.

Bumi yang terbakar

HIDUP manusia sangat pendek. Jika dibandingkan dengan usia bintang dan galaksi. Begitulah takdirnya. Di dalam takdir itu, manusia berapi-api, menumbuhkan religiusitas, kadang-kadang sambil menegasikan spesies lain.

Tak seperti manusia, amuba tidak punya ambisi dan spiritualitas mewarisi bumi. Sementara kita menjadikan pertumbuhan sebagai kehidupan itu sendiri, sebagai penanda evolusi, peningkatan ukuran dan kemampuan tubuh, termasuk peningkatan kapasitas kolektif untuk mengeksploitasi sumber daya bumi, maupun untuk mengukur ikatan sosial sebagai jaminan kualitas hidup yang lebih tinggi.

Pertumbuhan sering kali menjadi tujuan tak terucap dari “perjuangan” individu dan masyarakat di sepanjang evolusi tiap spesies. Di waktu yang sama, tidak ada yang mengejutkan dengan pertumbuhan alam semesta, bintang, galaksi, ataupun supernova. Aktivitas geomorfik yang sedang berlangsung seperti erosi, sedimentasi, deposisi, lambat atau jauh lebih lambat daripada proses geotektonik.

Pertumbuhan yang terdeformasi—berupa kekuatan geotektonik yang menciptakan kerak samudera dan benua, pegunungan, gunung berapi, serta pembentukan daerah aliran sungai, dataran, dan pantai—bahkan berlangsung sangat lambat. Penggerak utamanya adalah pembentukan kerak samudera baru di punggung samudra berjalan dengan laju kurang dari 55 milimeter per tahun, sementara penciptaan dasar laut cepat sekitar 20 sentimeter per tahun.

Bentuk pertumbuhan bumi dan isinya itu tidak menentu dan tanpa pola. Sebagian besar proses pertumbuhan—baik organisme, artefak, atau sistem kompleks di bumi—mengikuti dengan cermat salah satu kurva pertumbuhan berbentuk-S yang sesuai dengan fungsi logistik. Tetapi variabilitas alami serta campur tangan yang tak terduga sering menyebabkan penyimpangan substansial dari apa yang bisa kita prediksi.

Vaclav Smil dalam “Growth: From Microorganisms to Megacities” (MIT Press, 2019) menguar  banyak informasi tentang pertumbuhan organisme, alat, mesin, atau infrastruktur, serta pertumbuhan sistem yang paling luas dan paling kompleks, yang memuncak dalam renungan tentang pertumbuhan peradaban.

Menurut Smil, persoalan pertumbuhan ada pada keputusan-keputusan di tingkat elite negara. Sialnya, mereka jarang berpikir tentang independensi biosfer untuk kelangsungan hidup manusia ketika membuat keputusan yang menyangkut pertumbuhan. Maka, tidak mengherankan, apabila tidak ada kebijakan yang menyangkut keberlanjutan biosfer dalam narasi kebijakan untuk menopang pertumbuhan. Setidaknya, saya tidak pernah mendengar ada kebijakan mengurangi pertumbuhan ekonomi sebagai prioritas. Juga tidak ada partai politik besar yang serius mempertimbangkan kembali laju pertumbuhan ekonomi.

Mantra “keberlanjutan” tetap tidak terdefinisi dengan baik, sehingga dalam banyak kasus kita tidak bisa memastikan kapan ia dicapai atau bahkan apakah kita akan tetap gagal memahaminya. Vaclav Smil menyebutnya sebagai kualifikasi mencapai peradaban. Sialnya, setelah kita kecanduan terhadap kemajuan sekalipun, hasilnya tidak nyata. Ini menciptakan konflik yang tak dapat didamaikan atau, lebih tepatnya, tantangan yang belum kita temukan solusinya yang efektif. Pandangan ini punya asumsi bahwa solusi itu memang ada.

Pertumbuhan material secara berkelanjutan—berdasarkan ekstraksi yang makin besar atas sumber daya anorganik dan organik bumi serta peningkatan degradasi stok dan layanan biosfer—adalah mustahil. Dematerialisasi pun tidak dapat menghilangkan persoalan intinya, kecuali hanya menjadi fenomena relatif.

Kita memakai lebih sedikit energi untuk kebutuhan hidup. Tapi karena jumlah manusia mencapai 7.5 miliar pada 2018, total pemakaian energi juga jadi banyak. Bahkan jika negara-negara di dunia memenuhi semua target mereka mengurangi emisi gas rumah kaca yang mereka sepakati di Paris pada akhir 2015, rata-rata suhu troposfer masih akan naik jauh di atas 2° Celsius pada 2050. Maka, tujuan IPCC terbaru menjaga kenaikan antropogenik tidak lebih dari 1,5° Ceslius, menjadi mustahil.

Dengan tanpa mengetahui seluruh dinamika pertumbuhan di bumi itu—termasuk perubahan-perubahan pola pertumbuhannya, ramalan-ramalan yang dibuat semakin mustahil kebenarannya. Bahkan ramalan jangka pendek relatif akan gagal, betapa rumit sekalipun model peramalan itu. Ramalan 2018 tentang apa yang terjadi pada 2100 akan lebih menyesatkan ketimbang ramalan tentang 2018 pada 1936. Penyebabnya, standar-standar berubah dengan cepat.

Tidak ada yang baru untuk memahami hal seperti itu. Dua ribu tahun lalu Horace menulis satire: “Est modus in rebus, sunt certi denique fines quo ultra citraque nequit consistere rectum”, “(Selalu) ada ukuran nilai tengah (atau rata-rata) pada kumpulan benda-benda, dengan batas-batas tertentu di kedua sisinya, yang mana batas yang pasti tidak dapat ditemukan”. Dengan makna, bahwa nilai tengah selalu ada, tetapi berpegang pada nilai tengah menjadi sia-sia ketika nilainya bisa dibentuk oleh berapa pun batas-batas kedua sisinya.”

Satire Horace itu kini terbukti, bukan sekadar nasihat moral. Kelangsungan hidup peradaban jangka panjang tidak bisa dipastikan tanpa menetapkan batas-batas yang disebut Horace pada skala planet. Penyimpangan mendasar dari pola pembangunan lama dengan memaksimalkan pertumbuhan dan mempromosikan konsumsi tidak bisa ditunda oleh abad lain. Sebelum 2100, peradaban modern harus membuat langkah-langkah besar untuk memastikan kelayakan jangka panjang dari biosfernya.

Dengan begitu, kita lebih yakin apabila menyimpulkan praktik masa lalu—mengejar tingkat pertumbuhan ekonomi setinggi mungkin maupun memperluas budaya konsumsi berlebihan serta memperlakukan biosfer sebagai sekadar kumpulan barang dan jasa yang terus dieksploitasi dan digunakan sebagai tempat pembuangan—harus diubah secara radikal.

Hal itu menjadi peringatan yang kemudian menempatkan perlunya tindakan dalam istilah moral: “Barangsiapa tahu hal yang benar untuk dilakukan tapi gagal melakukannya, itu adalah dosa”.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain