Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 04 November 2019

Perintah Jokowi dalam Kebijakan Kehutanan

Pengambilan keputusan di dalam kebijakan-kebijakan publik, hampir selalu dipengaruhi oleh tiga unsur utama, yaitu cara berpikir (paradigma), kepentingan dan nilai-nilai yang dipakai untuk menentukan paradigma itu, serta jaringan yang mendukung kepentingan itu.

Kutipan Joko widodo

SEBUAH program, dari mana pun ia berasal, yang berhasil atau gagal pasti hasil dari sebuah proses. Sayangnya masih banyak kita jumpai, termasuk dalam sajian-sajian hasil studi atau tinjauan lapangan di dalam ataupun di luar negeri, proses itu tidak dijelaskan sebagai landasan argumennya. Laporan hanya berisi kegagalan atau keberhasilan sebagai hasil akhir, gambar-gambar ataupun video. 

Tentu saja video dan gambar selalu menarik. Namun tak ada pelajaran yang bisa kita petik dari sekadar penyajian hasil akhir. Sebab, ada proses yang terjadi dalam sebuah program, seperti cara mengambil keputusan, jurus menghadapi tantangan, bentuk kepemimpinan, dukungan atau tak ada dukungan politik, dan seterusnya.

Kata “membangun” di balik “membangun hutan sosial”, misalnya, cukup kita artikan sebagai proses administrasi izin yang harus dipenuhi syarat-syaratnya serta fisik menanam suatu komoditas maupun pemasarannya. Kita merasa tidak perlu informasi tambahan tujuan di balik slogan itu. Dengan begitu, apakah dapat kita simpulkan bahwa kita belum tahu apa yang sesungguhnya perlu kita tahu?

Dalam acara pertemuan Komunitas Manajemen Hutan Indonesia (KOMHINDO) bertajuk “Pengelolaan Hutan Lestari menuju Industrialisasi Kehutanan 4.0” di Mataram pekan lalu, saya sampaikan pentingnya mengupas transformasi kehutanan dewasa ini dari perspektif kelembagaan dan politik. Dalam hal ini, pengambilan keputusan di dalam kebijakan-kebijakan publik, hampir selalu dipengaruhi oleh tiga unsur utama, yaitu cara berpikir (paradigma), kepentingan dan nilai-nilai yang dipakai untuk menentukan paradigma itu, serta jaringan yang mendukung kepentingan itu (Wolmer, dkk 2006).

Apabila tiga unsur itu kuat, sebuah kebijakan hampir tidak mungkin bisa diubah, sekalipun terbukti keliru. Misalnya, sebuah kebijakan yang terlihat baik padahal hasil akhirnya merusak lingkungan. Yang mungkin belum kita sadari, terutama dalam pendekatan-pendekatan a-politik, bahwa proses pembentukan maupun pelaksanaan kebijakan sesungguhnya “dijaga” oleh sebuah kekuatan, yaitu kepentingan dan jaringannya 

Dalam hal kekuatan paradigma, ilmu pengetahuan juga bisa menjadi sumber kekuatan dalam kebijakan, walaupun bukan sebagai subyek, melainkan obyek yang dipilih untuk menguatkan kebijakan yang didorong sebuah kepentingan. Di situlah mengapa ilmu pengetahuan disebut tidak netral, sehingga perubahan kebijakan bukan proses teknokratik berdasarkan hukum semata, melainkan keterlibatan proses politik.

Untuk perjalanan lima tahun ke depan, kebijakan lingkungan hidup dan kehutanan yang ditegaskan Presiden, yaitu memastikan tertutupnya lubang korupsi, keluar dari rutinitas, berorientasi pada hasil dengan konsekuensi selalu paham kondisi lapangan. Presiden juga memerintahkan melakukan evaluasi puluhan undang-undang secara sekaligus melalui omnibus law dengan tujuan memperlancar investasi.

Semua itu menjadi diskursus baru pengelolaan lingkungan yang sebelumnya tak pernah dinyatakan secara eksplisit. Di akhir pemerintahan Jokowi-Kala juga ada arahan memberi kuliah anti-korupsi, melalui Peraturan Menteri Riset dan Pendidikan Tinggi Nomor 33 Tahun 2019 mengenai Penyelenggaraan Pendidikan Antikorupsi di Perguruan Tinggi.

Political will” tersebut sangat penting dan signifikan, meskipun cara menjalannya masih berupa himbauan atau perintah. Dalam pidato Presiden saat pelantikannya, 30 Oktober yang jadi kutipan pada foto di atas.

Solusi atas lemahnya pelayanan masyarakat, baik yang dilakukan sendiri-sendiri maupun memerlukan koordinasi antar lembaga negara, sudah disebut Presiden, yaitu dalam bentuk delivered (gol dalam sepak bola), bukan sent (mengolah bola). Persoalannya, indikator ukuran kinerja belum bisa mengarahkan birokrasi bekerja mencapai tujuan itu, sehingga perintah Presiden masih berada di bawah bayang-bayang disinsentif sebagai alasan menolaknya.

Dari temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (2018) terlihat menghapus disinsentif seperti itu bisa dilakukan melalui penerapan sistem penggajian tunggal yang berpotensi menghilangkan kegiatan-kegiatan fiktif maupun transformasi indikator kinerja ke arah output atau outcome untuk menghindari fokus hanya pada pertanggungjawaban administrasi serta tidak bekerjanya koordinasi. Selain itu perlu kebijakan anggaran tahun ganda, karena umumnya untuk mencapai outcome di suatu lokasi tertentu butuh waktu lebih dari satu tahun.

Pada titik itu, Kehutanan 4.0—dan 4.0 untuk sektor lainnya—yang dicanangkan dalam pertemuan KOMHINDO perlu ditegaskan tujuannya. Karena teknologi seperti sebilah pisau, tergantung tata nilai (value system) yang dianut pemegangnya. Untuk itulah pendidikan karakter menjadi inti transformasi kelembagaan, terutama untuk jangka panjang.

Dalam jangka pendek, dengan orientasi pada output dan outcome, penggunaan ilmu kehutanan perlu dikembangkan melalui pendekatan trans-disiplin, termasuk di pendekatan anti-korupsi. Perlu diketahui bahwa ilmu kehutanan dalam Undang-undang Pendidikan Tinggi, pasal 10 (2), disebut sebagai ilmu terapan. Itu artinya orientasi ilmu kehutanan adalah memecahkan masalah nyata di lapangan dengan memakai berbagai jenis ilmu lain.

Dalam pendekatan trans-disiplin itu, maka sejak penetapan masalah kebijakan sudah harus diperbincangkan secara cermat adalah pemilik masalah tersebut: siapa yang akan diuntungkan dari pemecahan masalah tersebut. Dengan begitu, selain penerapan Kehutanan 4.0 untuk mewujudkan efisiensi pengelolaan hutan dan industri hasil hutan, juga sarat dengan tata nilai pembelaan yang didasarkan pada kemanusiaan dan keadilan.

Terlaksananya perintah Presiden tergantung pada kapasitas menjalankan kebijakan, dan kapasitas itu tergantung pada besarnya kemampuan pengendalian politik seperti adanya kepentingan, kekuasaan, tekanan maupun jaringan yang “mengganggu” pelaksanaan peraturan-perundangan. Maka, dalam praktiknya, ilmu kehutanan tidak netral. Ia dibungkus oleh suatu kepentingan dengan tujuan yang berbeda dari maksud awalnya.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain