Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 28 Oktober 2019

Potensi Konflik Kepentingan Kabinet Jokowi

Problem etik dalam kebijakan publik membuat tak efektifnya kebijakan di lapangan. Ada anak buah yang menolak melaksanakan pakta integritas karena tahu perintah melaksanakannya datang dari orang yang ia tahu korupsi juga.

gelas setengah kosong

ADA penegasan pentingnya menyelesaikan soal mendasar pemerintahan mengenai birokrasi dan regulasi dalam pidato Presiden Joko Widodo di hadapan Sidang Paripurna MPR-RI pada pelantikannya menjadi presiden periode kedua, 20 Oktober lalu. Saya kutip bagian pidato Jokowi yang menekankan soal itu:

“Sering kali birokrasi melaporkan bahwa program sudah dijalankan, anggaran telah dibelanjakan, dan laporan akuntabilitas telah selesai. Kalau ditanya, jawabnya “Programnya sudah terlaksana, Pak.” Tetapi, setelah dicek di lapangan, setelah saya tanya ke rakyat, ternyata masyarakat belum menerima manfaat. Ternyata rakyat belum merasakan hasilnya…

Sekali lagi, yang utama itu bukan prosesnya. Yang utama itu adalah hasilnya. Dan cara mengeceknya itu mudah. Lihat saja ketika kita mengirim pesan melalui SMS atau WA. Di situ ada ‘sent’, artinya telah terkirim. Ada ‘delivered’, artinya telah diterima. Tugas kita menjamin ‘delivered’, bukan hanya menjamin ‘sent’.”

Pernyataan Presiden terkait upaya menyelesaikannya, saya kutip berikut ini:

“Penyederhanaan birokrasi harus terus kita lakukan besar-besaran. Investasi untuk penciptaan lapangan kerja harus diprioritaskan…. Saya minta dan akan saya paksa bahwa tugas birokrasi adalah ‘making delivered’. Tugas birokrasi itu menjamin agar manfaat program dirasakan oleh masyarakat…. Segala bentuk kendala regulasi harus kita sederhanakan, harus kita potong, harus kita pangkas”.

Betapa pentingnya kehendak politik itu, karena fungsi birokrasi yang lebih mengutamakan proses daripada hasil, memang telah menjadi penghambat utama. Namun, Presiden tidak memberi tekanan pada persoalan lain yang juga sangat penting—walau mungkin hanya dengan menambah tiga atau empat kalimat—yaitu ketimpangan pelayanan perizinan serta proses perizinan yang tidak melindungi hak-hak rakyat atas sumber daya alam maupun lingkungan hidup, yang juga tergantung pada pelayanan birokrasi.

Arah politik-ekonomi yang memanfaatkan sumber daya alam dan memberi dampak negatif bagi lingkungan hidup perlu mendapat penekanan, karena ciri manfaatnya bisa dinikmati perorangan, tetapi dampak negatifnya selalu diderita oleh orang banyak. Ciri seperti itu memerlukan intervensi pemerintah dalam bentuk afirmasi kebijakan yang lebih memihak kepentingan publik dan hal itu memerlukan dukungan politik.

Dari kacamata politik-lingkungan, sumber utama persoalannya berpangkal pada birokrasi tadi. Tapi, lebih dari itu, juga terdapat persoalan birokrasi yang lebih besar dan ruwet yang tidak disebut Presiden, yakni konflik kepentingan. Hal itu terjadi ketika pejabat publik, pekerja, atau profesional mempunyai kepentingan pribadi yang dipakai dalam mempengaruhi tugas-tugasnya. Kepentingan itu dinyatakan “konflik” apabila tugas atas nama jabatan atau atas nama profesi yang berimplikasi pada kewajiban pelayanan kepada masyarakat terhambat karena berbenturan dengan kepentingannya, atas nama keinginan atau kebutuhan bahkan dorongan orang di belakangnya.

Potensi konflik kepentingan itu terlihat dalam susunan Kabinet Indonesia Maju yang akan bekerja pada 2019-2024. Kelompok pengamat dan aktivis lingkungan pada umumnya meragukan komitmen pejabat-pejabat negara yang telah diketahui memiliki dan/atau berafiliasi dengan perusahaan-perusahaan tambang, perkebunan kelapa sawit, tanaman pertanian skala besar, perikanan tangkap, perdagangan ekspor-impor, perumahan, maupun infrastruktur yang kini tengah mengembangkan usahanya dengan memanfaatkan tanah, hutan maupun sumber daya alam lainnya. Adapun kelompok lainnya mengatakan itu semua tidak ada masalah dan kemauan politik Presiden untuk memangkas birokrasi dan regulasi perizinan menjadi andalan utama tadi.

Selama saya memfasilitasi perbaikan kebijakan melalui Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, pada 2015-2018, yang bertujuan agar program-program pembukaan akses rakyat terhadap pemanfaatan sumber daya alam maupun pencegahan korupsi perizinan dapat berjalan, telah terjadi intervensi birokrasi agar mengabaikan program seperti itu hampir di semua tingkatan pemerintahan hingga di daerah. Masuknya hegemoni kekuasaan ke dalam birokrasi adalah sebuah kenyataan.

Untuk itu apabila Presiden dalam pidato di atas menyebut: “Saya juga minta kepada para menteri, para pejabat, para birokrat, agar serius menjamin tercapainya tujuan program pembangunan. Bagi yang tidak serius, saya tidak akan memberi ampun. Saya pastikan, sekali lagi saya pastikan, pasti saya copot...”.

Mungkin benar Presiden bisa melakukannya niatnya, tapi pada tingkat rendah, yang saya ketahui di tingkat provinsi, seorang Kepala Dinas tidak berani bahkan hanya menggeser jabatan bawahannya, karena bawahannya itu berafiliasi dengan pengusaha kaya dari Jakarta. Pada unit kerja perizinan, kondisi itu juga bisa ditemukan pada tingkat kementerian atau lembaga di pusat.

Lantas apa yang bisa dilakukan ketika kabinet sudah terbentuk dan publik juga telah paham siapa pejabat negara di balik kabinet itu yang berpotensi terpapar konflik kepentingan ? Dalam artikel di jurnal Public Administration Research And Theory “The Politicization of Regulatory Agencies: Between Partisan Influence and Formal Independence” oleh Laurenz Ennser-Jedenastik (2016), dijelaskan bahwa untuk membentuk rezim peraturan yang kredibel dan obyektif, lembaga negara secara resmi perlu dilindungi dari pengaruh politik secara langsung melalui undang-undang, sehingga mempunyai otonomi hukum dalam menentukan dan menjalankan kebijakan.

Saya setuju dengan pendapat itu, karena menunjang ide Presiden yang akan mengajak DPR-RI merevisi puluhan undang-undang untuk mewujudkan efisiensi perizinan. Masalahnya, tak efisiennya izin terjadi karena kegagalan pelaksanaan kebijakan afirmatif yang membuka ruang hidup bagi rakyat maupun pencegahan korupsi lebih diakibatkan adanya hegemoni kekuasaan, bukan akibat teks puluhan undang-undang itu.

Lalu bagaimana melindungi birokrasi dari pengaruh aktor politik? Dalam persoalan pemanfaatan ekonomi dari sumber daya alam, selama ini gangguan kebijakan publik sesungguhnya bukan hanya datang dari masalah-masalah yang telah terungkap, seperti perusakan lingkungan ataupun pelanggaran hak asasi manusia, tetapi akibat dari, dengan meminjam istilah Mayone (1997), persoalan “kredibilitas komitmen”. Saya pernah menemuinya, seorang staf yang tak acuh terhadap instruksi atasannya untuk mencegah korupsi perizinan karena ia tahu atasannya melakukan korupsi juga.

Maka ketika masyarakat luas sudah tahu bahwa Kabinet Indonesia Maju sedang mengarah pada situasi konflik kepentingan, sesungguhnya akan mendorong rendahnya kredibilitas komitmen di masa depan. Untuk itu, respons etis sederhana yang dapat kita dilakukan adalah memberi tahu semua pihak yang mungkin terkena dampak konflik kepentingan itu. Saya sebut sederhana karena itu hanyalah menjalankan praktik bagi pemula yang menerima mata kuliah anti-korupsi, bahwa seseorang yang terpapar konflik kepentingan harus secara terbuka mengumumkan adanya konflik kebijakan publik yang sedang di jalankannya dan konflik kepentingan pribadi yang menggandulinya.

Keterbukaan dan deklarasi itu bukan urusan mengasah logika, karena soal etis lebih pada mengasah hati nurani.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain