Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 14 Oktober 2019

Peran Buzzer dalam Kerusakan Hutan

Sebuah solusi menjadi seolah-olah benar ketika kebijakan dan kegiatan berdasarkan konteks atau kondisi lapangan yang kita pikirkan, bukan masalah dari keadaan yang sesungguhnya terjadi. Sudah saatnya kita mengusir buzzer di pikiran kita, karena seharusnya lebih mudah daripada mengenyahkan buzzer di luar sana.

HP dan Hutan

BUZZER sedang naik daun. Ada yang memadankan istilah ini dengan “pendengung”, ada juga yang memakai “perumung”. Dua-duanya mengacu pada arti amplifikasi sebuah isu sehingga pembaca atau pendengarnya menjadi lebih luas dengan menyerap makna dan pemahaman yang ingin mereka tularkan. Tanpa perlu pikiran yang pintar, kita akan segera paham bahwa hutan yang rusak dan musnah karena pohonnya ditebang, tanahnya dikeruk, lalu tak ditanami kembali. Sesederhana itu.

Lalu para “buzzer” mendengungkan pelbagai alibi dengan menyajikan faktor-faktor penyebab deforestasi. Dulu ada namanya permudaan hutan alam, peremajaan alam, dan istilah-istilah lain yang tak mengacu pada penghutanan kembali lahan yang rusak dan gundul. Faktanya, permudaan alam tak terbukti. Kini lebih dari 30 juta hektare hutan telah rusak.

Solusi memakai kata-kata memang mudah. Sama dengan solusi kemiskinan atau kelaparan: cepat cari kerja, makan segera! Atau, solusi paling mujarab ketika ngantuk adalah tidur. Termasuk kalimat peyoratif semacam tak ada masalah yang berat selama tak dianggap masalah. Toh, kita berikhtiar untuk merumuskan ilmunya, karena menyelesaikan masalah memang harus dihadapi bukan lari darinya.

Dalam sektor kehutanan ada ilmu perencanaan hutan atau cara-cara menghasilkan produk-produk hasil hutan bernilai tinggi, konservasi, perlindungan, rehabilitasi, hutan sosial, manajemen perusahaan, ekonomi, analisis finansial; juga kewirausahaan, keterampilan, meramu makanan bergizi.

Semua ilmu itu rupanya tak menjangkau masalah riil di lapangan. Di dalam kawasan hutan itu ada konflik antara negara dengan masyarakat atau masyarakat dengan masyarakat, ada mobilisasi massa untuk menduduki hutan, tumpang-tindih izin, suap untuk memuluskan sebuah urusan, peraturan yang tidak sesuai dengan kondisi lapangan, pergantian fungsi hutan akibat perubahan tata ruang.

Saya coba merumuskan centang-perenang itu dalam tiga hal. Pertama, kegagalan mencegah kerusakan hutan dan mengharap keberhasilan upaya menghutankan kembali ditentukan oleh kejadian-kejadian lain, kejadian-kejadian di luar bidang kerja sektor kehutanan yang tidak ada ilmunya. Kedua, para profesional bidang kehutanan belum bisa menjangkau masalah di luar keilmuan itu karena ada problem struktural yang menghadangnya. Ketiga, hal pertama dan kedua dianggap bukan sebagai persoalan kehutanan.

Akibatnya adalah penyelesaian masalah di sektor kehutanan seperti tertutupi oleh sebuah selubung yang kasat mata tapi susah dijangkau. Akibatnya seperti ada kesengajaan untuk tidak tahu dan tidak peduli dengan masalah-masalah yang ada di depan mata itu. Hasilnya, penyelesaian masalah menjadi berbelit-belit.

Dalam buku “Post-Truth and Political Discourse” (2019), sejarawan sains David Block menyebut ada empat bentuk ketidaktahuan publik yang umum dalam diskursus masyarakat.

Pertama, ketidaktahuan sebagai bentuk “primitif”, sungguh karena memang tidak tahu. Kedua, ketidaktahuan karena kehilangan konteks atau kehilangan pilihan wacana untuk memperkaya cara pandang akibat kurangnya perhatian atau tidak tersedianya informasi. Ketiga ketidaktahuan sebagai “taktik strategis”, berupa tindakan yang dirahasiakan atau fakta yang disensor untuk maksud membelokkan makna informasi. Keempat, ketidaktahuan sebagai “konstruksi aktif” dari hasil upaya mengaburkan informasi yang berasal dari sumber otentik, misalnya dari ilmuwan atau pakar, untuk menipu serta memproduksi dan memanipulasi pemahaman masyarakat tentang hal-hal tertentu.

Dalam dunia “pasca-kebenaran” ketidaktahuan publik itu cenderung mengarah pada dua ketidaktahuan yang terakhir: sebagai “taktik strategis” dan “konstruksi aktif”. Informasi dimanipulasi agar orang hanya percaya kepada makna yang ingin disetir oleh pembawanya sehingga publik mengabaikan kemungkinan makna lain di baliknya.

Dalam konteks kerusakan hutan di Indonesia, ketidaktahuan itu cenderung ke arah nomor dua, ketidaktahuan akibat kehilangan konteks dan sempitnya cara pandang. Kerusakan hutan sudah lebih 30 juta hektare sejak 1970, sebanyak 201 perusahaan hutan tanaman sudah mati, tapi solusi-solusi yang ada sekarang masih belum menyentuh fakta itu. Artinya, solusinya belum menjadi solusi.

Saya jadi ingat kata-kata Robert Mugabe, presiden kedua Zimbabwe: “Lebih baik duduk di bar sambil memikirkan Tuhan, daripada duduk di gereja sambil memikirkan bir”. Kata-kata itu menggoda saya untuk memikirkan kembali, apakah selama ini kita bekerja dengan “khusuk” itu sembari memikirkan hal yang benar? Jangan-jangan kita sudah menjadi buzzer untuk kita sendiri, selalu dengan cerdik mempunyai cara untuk membelokkan fakta yang sesungguhnya dengan fakta yang kita inginkan.

Sebuah solusi menjadi seolah-olah benar ketika kebijakan dan kegiatan yang kita lakukan berdasarkan konteks atau kondisi lapangan yang kita pikirkan, bukan masalah dari keadaan yang sesungguhnya terjadi. Sudah saatnya kita mengusir buzzer di pikiran kita, karena seharusnya lebih mudah daripada mengenyahkan buzzer di luar sana. Mari kita buktikan...

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain