Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 30 Juli 2019

Bisakah Industri Kehutanan Bangkit Lagi?

Prasyarat jika industri kehutanan ingin kembali berjaya seperti selama 40 tahun sejak 1970. Perlu insentif.

Tegakan hutan di Katingan, Kalimantan Tengah (Dok. RMU).

KEMATIAN bisnis kehutanan yang berbasis kayu dari hutan alam ditengarai akibat masih melekatnya stigma negatif politik rezim masa lalu di masyarakat kita. Untuk mengembalikannya perlu perbaikan kebijakan secara radikal. Sebab problem industri ini tak sekadar soal teknis, tapi juga aspek psikologis dan politis. Pemicunya macam-macam. Salah satunya regulasi perdagangan sejak pemerintah daerah hingga pusat. Sebab lain, ini juga penting: bekerjanya institusi ilegal di lapangan yang tak tersentuh gerak perubahan.

Kira-kira beberapa hal itu yang bisa saya simpulkan dari hasil ngobrol-ngobrol dengan para pelaku industri kehutanan sambil makan siang baru-baru ini. Obrolan saya dengan mereka sebetulnya dimulai dari coba membaca pergantian pemerintahan Oktober nanti hasil pemilu April lalu. Obrolan kemudian melebar ke arah pemerintah baru dalam melihat bisnis kehutanan dan cara apa yang bisa ditempuh untuk membangkitkannya kembali, setelah berjaya sejak 1970-an lalu kolaps beberapa saat setelah Reformasi 1998.

Kenyataannya kini sebagian besar perusahaan produsen kayu bulat, terutama mereka yang memanen kayu dari hutan alam, sudah tidak bisa menikmati masa surplus keuntungan yang biasa disebut windfall profit. Kini luas hutan produksi masih 33 juta hektare, tapi sudah banyak arealnya yang ditinggalkan. Sebagian besar isinya sudah bukan berupa hutan akibat deforestasi.

Kebanyakan karyawan di perusahaan-perusahaan yang masih bertahan hanya bisa menunggu dua kemungkinan: perusahaan ditutup lalu mereka kehilangan mata pencarian atau tetap menjalankan bisnis sambil menunggu datangnya keajaiban perbaikan iklim usaha. Kini industri kehutanan ibarat menunggu kekayaan negara yang terbarukan. Setelah empat puluh tahun, kebijakan institusi dan politik berbalik menyudutkan mereka.

Ada dua hal yang bisa kita lihat dari praktik bisnis dan kebijakan kehutanan, juga pasang surutnya hubungan pengusaha dan penguasa sektor ini:

Pertama, rezim ekonomi-politik masa lalu menempatkan pebisnis sektor ini dalam hubungan subjek-objek. Akibatnya, rezim itu menjadi penyebab ketimpangan dan ketidakadilan alokasi manfaat hutan. Akibat hubungan subjek-objek itu pula usaha kehutanan warisan rezim masa lalu umumnya tidak mendapat tempat dalam gerakan-gerakan sosial masyarakat sipil.

Kedua, hubungan patron-klien antara pemerintah pusat maupun daerah dan pengusaha membuat regulasi praktis bukan memberi solusi, melainkan menambah beban biaya produksi serta pudarnya rasa saling percaya antara kedua institusi ini. Bahkan, bangkrutnya ratusan perusahaan kehutanan dan hilangnya puluhan juta hektare lahan, tidak mampu menjadi argumen mengenai pentingnya penataan ulang posisi antara pengusaha dan penguasa itu.

Industri kehutanan pun terpuruk ketika mereka kehilangan patron. Bisnis kehutanan memudar ketika mereka tak lagi menjadi objek karena subjek mereka (pemerintah pusat hingga daerah) bukan lagi pelindung utama. Nilai bisnis sektor ini merosot dari waktu ke waktu dan seperti anak ayam kehilangan induknya.

Ada memang kabar menggembirakan tahun lalu. Nilai ekspor nasional produk-produk kayu, termasuk pulp dan kertas, sebesar US$ 12,7 miliar. Ini nilai yang lumayan karena harga kayu lapis yang biasanya sekitar US$ 500 naik menjadi rata-rata US$ 800 per meter kubik. Akibatnya harga kayu bulat yang biasanya Rp 1,3 juta per meter kubik menjadi Rp 2,8-Rp 3 juta per  meter kubik dan dibayar tunai.

Kenaikan harga ini baru terjadi dalam 30 tahun terakhir. Kenikmatan itu terhenti begitu memasuki 2019. Situasi  kembali “normal”, bahkan dalam sepekan pabrik bekerja hanya 3-4 hari. Pasar kayu kembali lesu, seperti nilai ekspor ke Amerika yang turun hingga 30%. Produksi kayu bulat dari hutan alam umumnya merugi, karena harga kembali ke Rp 1,2-Rp 1,3 juta per meter kubik, itu pun dibayar 3-4 bulan kemudian.

Menurut saya, tidak stabilnya harga kayu itu karena kita hanya mengandalkan permintaan lokal, tidak seperti beberapa negara lain pesaingnya seperti Malaysia dan Vietnam, atau negara maju seperti Amerika, Finlandia, dan Norwegia. Industri mereka diizinkan mengekspor kayu bulat secara terbatas untuk menjaga harga kayu bulat di dalam negerinya tidak jatuh.

Perhatian terhadap harga produk itu bagi usaha komersial sangat penting. Bagi usaha besar mau pun hutan rakyat dan perhutanan sosial. Harga yang stabil dan tinggi akan menjadi semacam insentif bagi industri dan masyarakat menjaga hutan dan menanam pohon. Harga kayu yang rendah akan mendorong mereka mengonversi lahan menjadi penggunaan lain yang bukan hutan, karena lebih produktif secara nilai manfaat.

Cara pandang insentif ini umumnya jarang dipakai pemerintah maupun perusahaan dalam melihat problem industri kehutanan. Paradigma belum berubah, dalam arti, masih tersandera stigma masa lalu. Padahal, dalil-dalil pengawasan oleh seluruh tingkatan birokrasi dan aparat keamanan justru menjadi penyebab mundurnya industri kehutanan karena pengawasan yang ketat membuat biaya transaksi menjadi bengkak dan mendorong ketidakpastian dalam berusaha.

Lalu apa yang mesti kita lakukan? Mungkin perlu menggabungkan proses pembuatan kebijakan dengan dalil ekonomi dan bisnis. Usaha masyarakat harus bisa menikmati insentif pasar atau disebut sebagai transaksi pasar (market transactions) daripada digiring berdasarkan peraturan-perundangan (administratif transactions).

Artinya, usaha kehutanan, termasuk efisiensi penggunaan kawasan hutan, mesti diserahkan penyelesaiannya melalui mekanisme pasar tadi. Dengan menimbang mekanisme pasar, perhatian maupun intervensi kebijakan akan memperhatikan dampaknya terhadap biaya produksi dan harga jual produk. Dengan begitu indikator kebijakan yang baik jika ia mampu menurunkan biaya dan, pada waktu yang sama, mampu meningkatkan harganya.

Untuk mewujudkannya, perlu perbaikan kebijakan serta regulasi industri secara radikal. Perubahan radikal perlu kepemimpinan yang kuat. Seorang pemimpin kehutanan mesti menyandarkan paradigma dan cara berpikir melahirkan regulasi berdasarkan fakta lapangan. Hanya dengan cara ini, agaknya, industri kehutanan akan bangkit kembali.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain