Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 22 Juli 2019

Inovasi di Tengah Macetnya Birokrasi

Kita melakukan kesalahan-kesalahan yang sama karena ada dogma dan logika bekerja yang bertahan puluhan tahun. Perlu pikiran yang terbuka pada terobosan dan inovasi.

Paparan evaluasi lima tahun Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam di depan Inspektorat Jenderal KLHK

KAMIS siang pekan lalu saya diminta menjelaskan hasil evaluasi lima tahun Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNP-SDA)—sebuah gerakan yang diinisasi Komisi Pemberantasan Korupsi dan melibatkan 29 kementerian serta puluhan pemerintah daerah—di Inspektorat Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dua hari sebelumnya hasil evaluasi itu telah dibuka untuk media di kantor KPK.

Yang tak saya duga adalah para pejabat Inspektorat itu melontarkan pendapat dan pertanyaan atas evaluasi itu secara antusias. Rupanya beberapa temuan Gerakan yang terkait dengan hambatan-hambatan internal birokrasi untuk menghasilkan outcome, yaitu apa yang benar-benar diharapkan masyarakat luas, serupa dengan temuan-temuan mereka di KLHK.

Orientasi bekerja yang lebih mementingkan prosedur maupun pertanggung-jawaban administrasi telah membangun logika tersendiri dalam bekerja. Tapi jika logika itu dijalankan justru tidak mampu menghasilkan capaian yang direncanakan itu. Celakanya, logika bekerja itu telah berjalan selama puluhan tahun. Oleh karena itu, temuan-temuan Inspektorat selama puluhan tahun pun berisi ulangan-ulangan kesalahan yang sama.

Situasi itu menunjukkan bahwa soal-soal yang menjadi penyebab rendahnya kinerja birokrasi, bukanlah disebabkan oleh persoalan individu, tetapi lebih disebabkan oleh sistem atau struktur birokrasi yang justru mempertahankan perilaku penyebab terjadinya kesenjangan antara kebenaran kerja birokrasi yang sejalan dengan peraturan dan tuntutan masyarakat secara nyata di lapangan.

Kedua-duanya benar dan seperti tampak sedang saling mengklaim satu sama lain. Sebagaimana dikatakan George Wilhelm Friedrich Hegel:

Genuine tragedies in the world are not conflicts between right and wrong. They are conflicts between two rights (Tragedi yang sesungguhnya di dunia bukanlah konflik antara benar dan salah, tapi justru konflik antara dua kebenaran)

Mungkin atas dasar kenyataan-kenyataan seperti itu, dalam pidato presiden terpilih Joko Widodo mengenai “Visi Indonesia”, 14 Juli 2019, ia mengatakan:

“Tidak ada lagi pola pikir lama! Tidak ada lagi kerja linier, tidak ada lagi kerja rutinitas, tidak ada lagi kerja monoton, tidak ada lagi kerja di zona nyaman. Harus Berubah! Sekali lagi, kita harus berubah. Kita harus membangun nilai-nilai baru dalam bekerja, menuntut kita harus cepat beradaptasi dengan perkembangan zaman. Maka kita harus terus membangun Indonesia yang adaptif, Indonesia yang produktif, dan Indonesia yang inovatif, Indonesia yang kompetitif.”

Dari pengalaman selama ini, hampir tidak mungkin kita bisa menjalankan hal-hal baru walaupun semua itu menjadi kebutuhan masyarakat luas. Ada dogma bahwa jika banyak orang yang mengemukakan suatu pendapat maka kita menerimanya sebagai fakta. Padahal, itu baru seolah-olah fakta. Dogma mempunyai kecenderungan meletakkan prinsip sebagai kebenaran yang tidak terbantahkan, dengan tanpa pertimbangan adanya bukti atau pendapat orang lain yang juga mengandung kebenaran. 

Sebagaimana dikatakan Abdolkarim Soroush: 

It is impossible to advance new theories... when you are under influence of a particular view, or under pressure of a particular dogma (Tidak mungkin memajukan teori baru… pada saat Anda dalam pengaruh pandangan tertentu atau di bawah tekanan suatu dogma.

Sementara Ross E. Dunn punya argumen:

tended to stress uncritical, doctrinaire acceptance of the interpretations of law (cenderung menekankan hal yang tidak kritis, (sebagaimana) penerimaan atas interpretasi hukum).

Dan, Jerry A. Coyne mengatakan: ... who always choose ideology over knowledge (yang selalu memilih ideologi atau kepercayaan daripada pengetahuan). 

Di tengah bertambahnya tuntutan masyarakat dan penurunan kualitas lingkungan hidup maupun sumber daya hutan, sistem pemerintahan pada umumnya masih belum merespons perubahan itu secara keseluruhan. Walaupun akhir-akhir ini terdapat kemauan politik meningkatkan akses masyarakat untuk mengembalikan keadilan pemanfaatan hutan yang sudah timpang, ganjalan di tingkat praksis masih banyak. Kondisi itu masih rentan untuk kembali pada posisi semula, karena berbagai inisiatif bahkan inovasi baru dijalankan atas inisiatif orang per orang dan bukan pembaruan sistem atau perbaikan institusional yang mendorongnya. 

Persoalannya bisa ditelusuri dengan melacak bagaimana struktur atau masalah institusional ini, dari wacana (diskursus) ataupun politik yang memperlambat terjadinya inovasi kehutanan. Apabila tinjauan itu dianggap benar, persoalannya bukan terdapat pada kecakapan individu-individu semata, tetapi—dan yang lebih penting—justru menyangkut tiga hal tersebut. Dan kondisi ini bukan dimonopoli oleh bidang kehutanan saja, tetapi bidang pembangunan lainnya.

Pernyataan Hegel di atas tampak relevan apabila tragedi yang dimaksud berada di seputar kawasan hutan dan kehutanan. Masing-masing pihak tampak punya alat pembenar, dan ironinya, hal itu seperti dibiarkan berlangsung, sehingga seperti terhegemoni oleh sesuatu yang tak terlihat. 

Dari pengalaman lapangan, saya menemukan bahwa menjalankan pembaruan pada dasarnya harus mampu mengatasi hambatan struktural, jebakan cara berpikir maupun pemahaman, termasuk memiliki strategi karena ada sistem politik yang melingkupi pengelolaan sumber daya alam. Sistem pendidikan nasional pun telah bergeser menuju pembelajaran berbasis penalaran tinggi (higher order thinking of skills/HOTS), sehingga ada pertanyaan: “Untuk apa penalaran tinggi itu di dunia kerja apabila selalu terbelenggu oleh kekakuan birokrasi?” 

Oleh karena itu, cara berpikir baru (replacement discources) baik dari pengalaman lapangan, temuan-temuan Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam, maupun pidato presiden terpilih, perlu menjadi perhatian bersama agar menuntut kita pada keyakinan atas pelaksanaan pembaruan dengan skala yang luas.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain