Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 19 Juni 2024

Perkebunan Sawit Ancam Sumber Air Masyarakat Adat Papua

Tak hanya deforestasi dan menghilangkan biodiversitas, perkebunan sawit meningkatkan risiko banjir dan kontaminasi sungai serta mata air.

perkebunan sawit di tanah Papua (foto: Nanang Sujana)

DESA Kais di Papua diberkahi sungai dan hutan yang permai. Nama Kais berasal dari nama sungai yang mengalir di Kabupaten Sorong Selatan itu. Masyarakat adat Kais biasa mengandalkan air sungai tersebut untuk mandi, mencuci, minum, hingga memancing. Selama bertahun-tahun, air sungai Kais bersih dan penuh dengan sumber daya perairan.

Pada 2021, kondisi sungai Kais mulai berubah. Aliran sungai yang bersih dan penuh kehidupan berubah 180 derajat. Perubahan itu terjadi setelah beberapa perusahaan masuk memanfaatkan hutan di sekitarnya, membabat, dan mengubahnya menjadi perkebunan kelapa sawit.

Setidaknya seperempat dari daerah aliran sungai, sekitar 61.200 hektare, menjadi tiga konsesi perkebunan sawit. Hingga 2021, perusahaan telah membuka hampir 10.000 hektare untuk menanam kelapa sawit. Sejak kehadiran perkebunan kelapa sawit itu, masyarakat mulai merasakan dampaknya. Dari banjir yang makin intens hingga kualitas air sungai menurun.

Briantama dan Timothy Randhir, dari University of Massachusetts, melakukan studi untuk melihat lebih dalam dampak perkebunan sawit terhadap daerah aliran sungai (DAS) Kais. Mereka menggunakan soil & assessment tool (SWAT+) untuk menilai sejarah keseimbangan air di DAS Kais.

Studi mereka menunjukkan sejak perubahan lahan dari hutan ke sawit, limpasan air permukaan di DAS Kais telah naik sebesar 21% dan sedimen meningkat sebesar 16,9%. Tak heran jika banjir sering terjadi. Kedua peneliti itu menghitung, potensi banjir setelah 2021 naik lima kali lipat dibanding sebelum ada perusahaan. Hal ini karena kanopi kelapa sawit tidak mampu menahan air sebaik pohon hutan

Tak hanya banjir, peningkatan sedimen dan limpasan sungai juga merusak kualitas air, khususnya di bagian hilir. Tingkat nitrogen dan fosfor di daerah aliran sungai meningkat masing-masing 78% dan 144% setelah perkebunan dibangun. Kemungkinan besar akibat bahan kimia, seperti pupuk, yang tercuci dari perkebunan ke aliran sungai.

Saat musim banjir, kadar nitrogen dan fosfor mencapai tingkat yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Tingginya tingkat bahan perusak oksigen dalam air menunjukkan adanya limpasan pupuk atau aktivitas pengeringan lahan gambut untuk membangun perkebunan. Sayangnya, informasi krusial ini tak sampai ke telinga masyarakat adat di bagian hilir. Padahal, mereka yang paling terdampak dari aktivitas perkebunan.

Apalagi, pereusahaan berencana meluaskan areal perkebunan, karena masih banyak hutan alami yang tersisa di dalam konsesi dan dapat dibabat secara legal. Hal ini berpotensi menyebabkan kerusakan lebih lanjut pada daerah aliran sungai.

Perusahaan perkebunan tersebut mengklaim memiliki rencana pengelolaan air untuk memenuhi standar kualitas air untuk sertifikasi RSPO (Roundtable Sustainable Palm Oil). Masalahnya, manajemen air itu belum perlu menyertakan rencana pengelolaan zona penyangga di sepanjang bantaran sungai dan mitigasi limpasan air permukaan. Juga, komunikasi kepada masyarakat ada yang tinggal di sekitarnya.

Ekspansi perkebunan kelapa sawit tak hanya soal deforestasi dan kehilangan biodiversitas semata. Auriga, LSM, melaporkan dalam dua dekade terakhir, luas hutan alami Papua turun 663.443 hektare. Seluas 71% kehilangan terjadi dalam satu dekade terakhir.

Tak heran jika dukungan untuk mempertahankan hutan dan hak masyarakat adat Papua terus menggema. Seperti All Eyes on Papua yang viral baru-baru ini. Masyarakat memberi dukungan kepada suku Awyu dan Moi. Mereka tengah berjuang mempertahankan hutan adat mereka yang terancam oleh perusahaan sawit yang mengantongi izin seluas 36.094 hektare, setara lebih dari setengah luas DKI Jakarta.

Ikuti percakapan tentang deforestasi di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain