Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 25 Maret 2024

Orientasi Baru Pembangunan Berkelanjutan

Pembangunan perlu punya orientasi baru. Pembangunan berkelanjutan tak semata memakai kata "green".

Orientasi Baru Pembangunan Berkelanjutan

BADAN Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan jumlah bencana terus naik. Pada 2009 ada kejadian 1.246 bencana. Sembilan tahun kemudian menjadi 2.575 dan pada 2022 terjadi 3.544 bencana. Sedangkan pada 2023 jumlahnya 5.430 bencana.

Bencana pada 2023 berupa 5.332 banjir, cuaca ekstrem, tanah longsor, kekeringan, serta kebakaran hutan dan lahan. Semua bencana itu telah mengakibatkan 8.491.288 orang menderita dan mengungsi, 5.795 orang luka-luka, 275 orang meninggal, dan 33 orang hilang. Selain itu 47.214 rumah dan 1.291 fasilitas umum rusak.

Semua bencana itu juga menunjukkan daya dukung lingkungan dan sosial terus menurun. Mestinya, jika sudah begitu, pembangunan ekonomi disesuaikan. Bagaimana caranya? Ini memerlukan cara berpikir baru. Seperti, problem Indonesia tak sekadar mengisi bensin yang mogok, tapi membelokkan arahnya.

Lingkungan hidup dan kondisi sosial tak bisa lagi diperlakukan sebagai obyek yang mendapat dampak. Dalam regulasi kalimatnya populer “dampak (bagi) lingkungan dan sosial”. Sebab, keduanya menjadi penentu nasib masyarakat. Lingkungan hidup dan kondisi sosial sudah benar-benar harus menjadi “keystone” atau prinsip utama yang menjadi penentu kebijakan atau sistem dan menjadi sandaran semua sektor lainnya.

Ketika kondisi lingkungan dan sosial telah rusak atau secara empiris terletak dalam jalur perusakan, keduanya harus dilindungi, bukan melulu diabaikan karena mengutamakan ekonomi yang sudah terbukti menghasilkan bencana besar dan rutin. 

Desain pemikiran kebijakan saat ini tampak mengesampingkan perlindungan lingkungan dan sosial sehingga mengalami degradasi. Dalam kenyataannya degradasi yang terjadi tidak tergantikan oleh manfaat ekstraksi sumber daya alam, yang legal maupun ilegal.

Kita paham berbagai bencana terjadi akibat dominasi kepentingan politik yang berbaur dengan kontestasi kekuasaan dengan modal uang. Akibatnya, uang besar harus kembali dengan memanfaatkan sumber daya alam.

Uang besar itu selalu diperlukan untuk menjadi alat kekuasaan yang mempengaruhi bahkan menundukkan para pengambil keputusan. Secara agregat, pengaruh politik dalam kebijakan itu tecermin dalam indeks tata kelola Indonesia yang hanya 34 dari 100.

Cara berpikir baru itu adalah kebijakan memprioritaskan pemulihan fungsi lingkungan hidup dan modal sosial yang terdampak oleh pembangunan. Dengan begitu, tak lagi relevan pemerintah dan politisi membuat target pertumbuhan pembangunan ekonomi yang tinggi.

Pertumbuhan ekonomi yang berasal dari eksploitasi sumber daya alam harus disesuaikan dengan konteks kondisi sosial dan daya dukung lingkungan. Misalnya, dalam hal penggunaan teknologi, kecepatan pembangunan, besarnya modal, maupun alokasi dan tujuan penggunaan hasilnya perlu disesuaikan dengan kapasitas masyarakat.

Penyesuaian itu berguna bagi masyarakat yang tertinggal agar mereka segera mendapat kesetaraan kapasitas dengan masyarakat lain yang telah berdaya. Kita tahu masyarakat yang tidak berdaya membuat mereka sulit memperhatikan fungsi lingkungan hidup di sekitarnya.

Fungsi barang dan jasa publik, seperti air, udara bersih, makanan bergizi, serangga penyerbuk tanaman, pemandangan alam, rasa aman, hubungan harmoni antar sesama, keadilan sosial, selain diproduksi oleh alam juga tumbuh dari aksi kolektif manusia atas dukungan norma dan saling percaya di antara mereka. Di situlah fungsi pemerintah diperlukan. 

Posisi ekonomi yang berfungsi menyediakan barang dan jasa publik, semestinya tidak harus selalu menjadi wacana arus utama dominan dan yang menentukan jenis penggunaan teknologi dan kebutuhan finansial. Oleh karena itu, dengan kebutuhan publik hasil produksi fungsi lingkungan dan fungsi sosial yang semakin tinggi, ekonomi perlu ditetapkan sebagai obyek yang ditentukan. Ia perlu diposisikan menjadi obyek yang diatur dan dibatasi, bukan selalu diposisikan sebagai subyek utama yang diprioritaskan.

Hal itu dapat berjalan bila ada orientasi cara berpikir yang mengubah struktur atau transformasi kelembagaan yang menentukan berbagai regulasi, jenis perencanaan, langkah atau tindakan maupun evaluasi pembangunan. Transformasi kelembagaan itu adanya perubahan nilai-nilai dasar dan keyakinan serta kepemimpinan yang kuat.

Kebutuhan transformasi kelembagaan tak cukup hanya meletakkan kata “green” di semua kebijakan. Sebab, yang diperlukan dalam transformasi itu adalah menggeser orientasi sekadar pembangunan menjadi pembangunan berkelanjutan. Pembangunan keberlanjutan yang holistik, termasuk keadilan sosial bagi masyarakat untuk mendapatkan fungsi barang dan jasa publik sepanjang masa.

Dalam pembangunan berkelanjutan, lingkungan hidup dan kondisi sosial mesti diletakkan sebagai pusat, bukan semata obyek dampak. Ia harus menjadi subjek dan orientasi pandangan dalam melihat dan melakukan pembangunan.

Ikuti percakapan tentang pembangunan berkelanjutan di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain