Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 13 Desember 2023

Apa Itu RBP, Pembayaran Berbasis Kinerja Mitigasi Iklim

Dalam mitigasi iklim ada result based payment (RBP) dalam menurunkan emisi. Apa itu?

Target penurunan emisi dalam NDC baru

SALAH satu kesepakatan penting dalam Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-28 (COP28) di Dubai, Uni Emirat Arab, adalah pendanaan kehilangan dan kerusakan atau loss and damage fund bagi negara berkembang yang rentan terdampak perubahan iklim. Tuan rumah memberikan bantuan dana sebesar US$ 100 juta, disusul Jerman dengan nominal yang sama, Uni Eropa 225 jua euro, Inggris 60 juta paun, Amerika Serikat US$ 17 juta, dan Jepang US$ 10 juta.

Komitmen dan kesepakatan ini penting untuk menyokong negara miskin dan berkembang beradaptasi dengan dampak krisis iklim, berupa bencana hidrometeorologi. Juga mitigasi krisis iklim, berupa penurunan emisi melalui transisi energi dan penyerapan emisi lewat konservasi hutan dan lingkungan.

Konstruksi Kayu

Indonesia yang memiliki kawasan hutan seluas 120,3 juta hektare, mendapatkan beberapa komitmen dari lembaga internasional dan negara maju dalam mitigasi dan adaptasi krisis iklim. Salah satunya Norwegia yang sudah melakukan kerja sama dalam penurunan deforestasi dan degradasi lahan (REDD+).

Bentuknya berupa pembayaran berbasis kinerja atau result based payment (RBP). RBP tahap pertama US$ 56 juta dari total US$ 1 miliar untuk periode REDD+ 2016-2017 untuk penurunan emisi sebanyak 11,23 juta ton setara CO2. Dana tersebut masuk melalui Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH).

Result based payment (RBP) adalah skema pembayaran dari pihak lain yang memiliki kewajiban menurunkan emisi gas rumah kaca dalam Perjanjian Paris 2015. Cara menurunkan emisi salah satunya menekan deforestasi dan konservasi. Umumnya negara maju tak lagi memiliki hutan sehingga mereka mengandalkan negara tropis untuk menaikkan penyerapan emisi yang mereka produksi.

Skema itu lalu disepakati dalam pembayaran berbasis kinerja. Negara maju menyiapkan dana kepada negara tropis untuk mengganti biaya perlindungan hutan dan pencegahan deforestasi. Hitungannya berbasis unit karbon yang terserap. Harga unit karbon disepakati kedua belah pihak dalam periode tertentu. Akumulasi penyerapan itu lalu dibayar melalui skema RBP.

Di COP28 Dubai, Wakil menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong mengatakan Indonesia mempunyai pengalaman dalam menurunkan emisi karbon di sektor kehutanan dan tata guna lahan (FOLU), terutama dalam mengurangi deforestasi. Tercatat pada 2019, emisi Indonesia di sektor FOLU mencapai 922 juta ton setara CO2 akibat kebakaran hutan dan lahan. Lalu turun menjadi 183 juta ton CO2 pada 2020.

Produksi emisi dan target pemerintah

Dengan capaian-capaian itu, menurut Alue, Indonesia berhak menerima dana RBP. Alue mengatakan negara-negara maju jangan hanya meminta Indonesia dan negara lain menjaga hutan tropisnya. Mereka juga harus berkomitmen memberi dukungan sumber dana melalui pendanaan iklim global US$ 100 miliar per tahun. 

Presiden Joko Widodo saat pembukaan World Climate Action Summit (WCAS) di Dubai, Uni Emirat Arab, menyebut target Perjanjian Paris dan net zero emission, hanya bisa dicapai jika kita bisa menuntaskan masalah pendanaan energi terbarukan. Indonesia membutuhkan investasi lebih dari US$ 1triliun untuk mencapai nol-emisi 2060. 

Di sektor kehutanan, program FOLU Net Sink 2030 membutuhkan biaya Rp 204.02 triliun. Total kebutuhan biaya tersebut masih jauh di atas ketersediaan dana (defisit) yang dihitung dari proses pendanaan iklim 2020-2024, yang hanya Rp 19,61 triliun. Ada kesenjangan dana kebutuhan aksi mitigasi hingga mencapai Rp 74 triliun.

Komitmen negara-negara maju untuk berkontribusi dalam pendanaan loss and damage bagi negara-negara berkembang yang rentak terdampak perubahan iklim merupakan angin segar bagi negara-negara berkembang khususnya Indonesia yang membutuhkan dana yang sangat besar dalam menangani krisis iklim.

Ikuti percakapan tentang result based payment di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain