Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 04 Desember 2023

Keadilan Iklim: Keluar dari Jebakan Greenwashing

Gagasan keadilan iklim mencegah greenwashing. Apa itu?

Greenwashing perdagangan karbon

KONSEP keadilan iklim dapat dikelompokkan berdasarkan keadilan prosedural dan keadilan distributif. Keadilan prosedural menekankan pada pengambilan keputusan yang adil, transparan dan inklusif. Sementara keadilan distributif menekankan siapa yang menanggung dampak perubahan iklim dan tindakan yang diambil untuk mengatasinya (Peter, dkk, 2020).

Dalam praktiknya, keadilan iklim bergantung pada keadilan dalam pengelolaan sumber daya alam, dalam hal ini hutan. Pengelolaan sumber daya hutan yang tidak adil--umumnya berupa pembatasan akses bagi masyarakat rentan terhadap proses dan manfaat sumber daya hutan—akan melahirkan ketidakadilan iklim.

Karena itu, dalam pengelolaan sumber daya hutan, tiap mengulas problem keberlanjutannya perlu sekaligus mengulas keadilan pemanfaatan dan distribusi dampak sosial, lingkungan, maupun ekonominya. Dalam “Narratives of sustainability: A lesson from Indonesia, Bernice Maxton-Lee (2018) menyebut beberapa hal berikut terkait keadilan iklim dan keadilan pengelolaan sumber daya alam:

Pertama, ada kontradiksi pelaksanaan kebijakan sosial lingkungan hidup dan politik perubahan iklim dengan masalah kesenjangan yang lebih luas, termasuk keseimbangan kekuatan antara bisnis, politik, dan masyarakat. Logika yang keliru dan ide-ide kurang tepat kini telah menjadi bagian dari pemikiran umum, tidak hanya dalam skala nasional, juga skala global.

Kedua, solusi tampak radikal dan inovatif, namun tidak mempertanyakan gagasan dominan mengenai dasar-dasar pengaturan ekonomi, politik dan sosial. Artinya, bahasa dan fokus kegiatan di lapangan sebagian besar memperkuat logika ideologi ekonomi neoliberal. Ideologi ini telah menjadi “akal sehat” yang tidak diragukan lagi, menembus jauh ke dalam cara pikir dan perilaku masyarakat.

Gagasan bahwa hampir semua kegiatan harus menghasilkan keuntungan tampak begitu wajar, sehingga tiap kita hampir tak bisa mempertanyakan hal-hal tersebut.

Namun apa yang tampaknya melekat pada akal sehat sebenarnya sebuah konstruksi norma dan gagasan masyarakat kapitalis. Akibatnya, kebijakan dan inisiatif atas nama keberlanjutan tidak lebih dari sekadar legitimasi pemikiran yang mengutamakan pasar dan keuntungan, yang justru telah menjadikan kerusakan sumber daya alam dan lingkungan.

Ketiga, deforestasi di Indonesia menjadi perhatian global karena berperan dalam perubahan iklim. Pada 2012, Indonesia mempunyai laju deforestasi tertinggi di dunia, bahkan lebih tinggi dibandingkan Brazil.

Cara menggambarkan situasi ini mengungkapkan banyak hal tentang penyebab utama deforestasi, dan tentang politik iklim secara umum. Namun, proses perusakan hutan ini, selama lebih dari dua abad, selalu terkait dengan perkembangan kapitalisme di negara-negara maju.

Model serupa dikembangkan di bidang konservasi. Fondasi awal konservasi di Indonesia dimulai pada masa kolonial ketika pemerintah Hindia Belanda mendirikan cagar alam yang dirancang untuk membatasi akses masyarakat adat terhadap sumber daya alam. Zona eksklusif ini tetap menjadi alat konservasi sehingga masyarakat adat yang tinggal di hutan tak bisa mengakses ruang hidup mereka karena terbentur legalitas.

Keempat, kepemilikan tanah dan properti bukan aset tetap di sebagian besar wilayah perdesaan Indonesia. Banyak orang punya akses terhadap tanah dan hak untuk menggunakannya, tanpa kepemilikan resmi.

Ketika gagasan global tentang kepemilikan properti diterapkan, konflik pun muncul. Penggugat yang lebih berkuasa selalu punya kemampuan lebih besar untuk meresmikan klaim atas tanah mereka melalui pengacara, sehingga memberi mereka kesempatan melakukan perampasan tanah. Mereka umumnya tidak menyadari ada persoalan dalam menjalankan norma-norma properti global ke dalam sistem properti lokal. 

Kerangka solusi yang ramah pasar itu terbukti menyembunyikan hubungan kekuasaan yang tak seimbang dan ketidakadilan yang terus berlanjut. Maka solusi pun jauh dari nilai-nilai adat dan kebudayaan.

Kelima, bila pengelola hutan di negara tropis bisa dibayar agar membiarkan hutan mereka menyerap karbon, polusi yang dihasilkan di tempat lain oleh pembayar itu dapat “dikompensasi”, sehingga bisnis dapat berjalan seperti biasa. Ada masalah dalam cara berpikir ini.

Pengelola hutan di negara-negara tropis didorong untuk menganggap alam sebagai suatu bentuk modal, sama seperti modal finansial, dengan nilai yang naik atau turun. Hal ini hanya akan menambah masalah keberlanjutan. Karena bila nilai finansialnya rendah, secara ekonomi konsep keberlanjutan menjadi tidak relevan.

Maka, sesungguhnya tidak ada yang bernama modal alam, yang ada hanyalah alam itu sendiri. Gagasan bahwa masyarakat harus memberi nilai finansial pada alam hanya menambah masalah keberlanjutan, memperkuat akal sehat pasar sebagai penentu semua kehidupan, dan penerimaan bahwa apa pun bisa dilakukan asal bisa dibenarkan secara finansial. 

Sebagai upaya untuk memitigasi atau meminimalkan perubahan iklim atau menyebarkan manfaat pembangunan ekonomi, konsep modal alam tidak efektif dan sangat menyesatkan. Ini bukan solusi yang saling menguntungkan. Sebab, pemenangnya adalah para pemegang saham perusahaan yang menghasilkan polusi dan para bankir yang berdagang di industri-industri yang menghasilkan polusi dan merusak alam. 

Para pendukung konsep modal alam berpendapat meskipun sistem yang digunakan tidak sempurna, ini adalah ide terbaik, dan hanya perlu menentukan harga pasar yang tepat. Di sini letak kelemahannya.

Pasar dipandang sebagai pengatur yang masuk akal. Menyerahkan nasib bumi ke tangan para pedagang seperti membiarkan anak kecil mengatur makanannya sendiri. Jika diberi pilihan, sebagian besar anak-anak akan memilih makanan manis dan es krim dibandingkan buah dan sayuran segar. Pasar tidak peduli terhadap alam atau generasi mendatang. Memberi label harga pada oksigen tidak akan mengubah hal itu.

Dengan memperhatikan pemikiran Maxton-Lee itu, maka mewujudkan keadilan iklim yang konsep perdagangan karbon perlu diselaraskan dengan upaya mewujudkan keadilan ekonomi. Bila tidak demikian, ekonomi yang dikembangkan dengan basis jasa penyerapan karbon di hanya akan melanggengkan ketidakadilan ekonomi. Kita menyebutnya greenwashing.

Ikuti percakapan tentang keadilan iklim di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain