Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 20 November 2023

Perihal Dalil Ilmiah dalam Regulasi vs Kenyataan

Kita membuat dalil lalu membuat regulasi. Kenyataan lapangan acap dilupakan.

Pemanenan hutan menyumbang emisi karbon (Foto: unsplash.com/Erwin Voortman)

The Allegory of The Cave, buku ke-7 Plato, The Republic, berupa dialog antara saudara laki-lakinya, Glaucon, dan mentornya, Socrates. Ceritanya mengenai sekumpulan tahanan yang sepanjang hidupnya dirantai di dinding gua. Mereka menghadap dinding kosong. Orang-orang ini mengamati bayangan dari benda-benda di dinding yang terpantulkan cahaya api di belakang mereka. Para tahan itu lalu memberi nama pada bayangan tersebut. Seolah-olah bayangan itu benda nyata.

Mereka tidak sadar sedang melihat sebuah ilusi. Suatu hari, salah seorang tahanan menemukan jalan keluar dari gua. Karena merasa kasihan kepada tahanan lain, orang yang baru tercerahkan ini memutuskan meninggalkan dunia nyata di luar gua untuk kembali ke gua dan mencoba membantu rekan-rekannya yang ia anggap masih terperosok dalam kebingungan dan kesesatan. 

Namun kenyataan di luar gua sama sekali tidak mengejutkan para tahanan itu. Sebaliknya, tahanan yang menemukan jalan keluar pertama itu bersikeras menjelaskan kepada mereka apa yang dilihatnya di luar gua. Teman-temannya pun menjadi sarkastik dan marah hingga akhirnya mereka berencana membunuhnya.

Ilustrasi lain datang dari cerita orang buta dan gajah. Orang-orang buta itu tentu tidak tahu bentuk gajah. Maka ketika mereka diminta mengidentifikasi gajah dengan merabanya, ada banyak deskripsi tentang gajah. Mereka pun saling curiga orang lain tidak jujur, lalu mereka saling serang mempertahankan deskripsi gajah menurut apa yang mereka raba.

Pesan moral dari perumpamaan ini adalah manusia punya kecenderungan memproyeksikan sebagian pengalaman mereka sebagai kebenaran secara keseluruhan sambil mengabaikan pengalaman orang lain. Padahal seseorang perlu mempertimbangkan bahwa mungkin orang lain benar dan mungkin memiliki informasi yang berbeda. 

Bagi Plato, kita hidup dalam bayang-bayang (doxa). Banyak hal yang membuat kita bersemangat menempuh kehidupan di dunia, sesungguhnya jauh tidak lebih nyata daripada yang kita duga. Filsuf itu seperti seorang tahanan yang dibebaskan dari dalam gua yang paham bahwa bayangan di dinding tidak membentuk realitas sama sekali. 

Keinginan untuk memahami realitas tampaknya bagian dari sifat manusia. Apa yang sebelumnya dijelaskan sebagai penciptaan Tuhan, kini berada dalam lingkup ilmu pengetahuan. Selama sekitar 200 tahun terakhir, kita telah mendapat informasi lapisan-lapisan realitas dari perkembangan ilmu pengetahuan, walaupun kita masih belum sepenuhnya yakin. Mungkin malah misterinya semakin dalam.

Ada pula fakta yang dianggap benar hanya karena hasil konsesnsus. Misalnya kita cenderung setuju suatu program atau kegiatan suatu sektor disebut berhasil jika bisa menjangkau 95% masyarakat sasaran. Bagaimana dengan masyarakat 5% yang tak terjangkau?

Intinya kita jarang melibatkan diri secara langsung di dalam proses, apalagi akibat-akibat dari pelaksanaan berbagai kebijakan yang sedang kita bicarakan. Bahkan mungkin kita tidak menyelami perasaan masyarakat minoritas yang sering kali menjadi korban kebijakan. Kita terus menerus menyebarkan dan memperkuat berbagai kebijakan sebagai suatu dasar perbaikan tindakan di dunia nyata, tanpa memverifikasi dengan sungguh-sungguh dampaknya.

Barangkali ini akibat tidak ada pertemuan bermakna antara ahli, pembuat kebijakan, dan politisi yang terkait dengan pembuatan kebijakan dengan masyarakat yang terkena dampaknya. Pertemuan bermakna mempunyai arti substansial terkait isi kebijakan, bukan pertemuan yang sifatnya kewajiban administratif. Bisa jadi para pemikir dalam proses seperti itu menggunakan dalil yang dianggap netral (value free) dan obyektif, tetapi sesungguhnya ragu-ragu atas pernyataan obyektif itu ketika mengetahui adanya korban kebijakan.

Dalil yang bertahan hingga kini untuk kelestarian cukup banyak, baik yang terkait dengan komoditas maupun bentang alam. Yang paling populer perihal penetapan jumlah produksi kayu lestari, yang dilandasi pemikiran bahwa hutan adalah pohon dan pohon dibatasi hanya yang bisa memproduksi kayu komersial. Pohon yang tumbuh itu terpengaruh alam. Maka muncul dalil produksi harus sesuai pertumbuhan secara alamiah tersebut. 

Dalam mengatur bentang alam juga begitu. Kawasan konservasi adalah bentang alam dengan keseimbangan unsur-unsur di dalam ekosistem sebagai habitat yang menjadi kunci kehidupan flora dan fauna. Ia punya lingkaran khusus yang bebas dari dunia luar. Begitulah dalil yang menjalankan roda kehutanan di dunia. Peran komunitas internasional dengan mengusung inisiatif sertifikasi/verifikasi hutan, juga telah menjadi dalil tersendiri.

Untuk melaksanakan dalil-dalil tadi, kita menyusun regulasi. Oleh karena itu, penggunaan dalil menjadi lambang profesionalisme, sampai-sampai pembuat kebijakan sulit berinovasi ketika dalil-dalil tersebut tidak sesuai dengan kondisi lapangan.

Setidaknya telah lebih dari 50 tahun kehutanan Indonesia dipaksa memakai dalil ilmiah melalui regulasi, fakta lapangan menjadi pertimbangan kedua. Kekakuan regulasi dibandingkan dengan fleksibilitas perubahan fakta menjadikan dikotomi regulasi-fakta semakin sempurna.

Hutan alam produksi dengan kekayaan biodiversitasnya sudah kehilangan 43 juta hektare, dari 61 juta hektare luas pemegang hak pengusahaan hutan pada 1991 atau 1,3 juta hektare pertambangan yang belum menjadi bahan pemikiran penting. Semua itu hanya dianggap sebagai fakta yang tidak berpengaruh terhadap integritas perorangan ataupun lembaga. Bahkan kalau memungkinkan fakta itu tak dibicarakan secara luas, agar dalil pelestarian hutan bisa dipertahankan sebagai dasar regulasi.

Maka dalam perdebatan-perdebatan tentang kelestarian, kita terjebak pada debat tentang dalil, sampai lupa memakai fakta lapangan sehingga perdebatan tak menghasilkan solusi. Kisah rekayasa dalam The Allegory of The Cave itu kini menjadi skenario perbuatan kita di dunia nyata. Orang larut dengan bayang-bayang yang dipikirkannya tanpa perlu mempertanyakan dunia nyata yang sesungguhnya.

Ikuti percakapan tentang regulasi kelestarian di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain