Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 09 Oktober 2023

Perspektif Filsafat Melihat Kemiskinan

Mengurangi kemiskinan mesti berangkat dari tinjauan filsafat agar perspektifnya ajek. Seperti apa?

Filsafat kemiskinan

BADAN Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mengumumkan 16 dari 34 provinsi di Indonesia punya tingkat kemiskinan tinggi. Secara absolut, jumlah penduduk miskin pada Maret 2023 sebanyak 25,90 juta jiwa, sebagian besar petani dan nelayan. Bappenas menetapkan garis kemiskinan pada Maret 2023 dengan pendapatan Rp 550.458 per orang per bulan.

Kemiskinan agaknya masih diametral dengan orientasi pembangunan, pemanfaatan ilmu dan teknologi, serta pemanfaatan sumber daya alam. Perguruan tinggi terlihat semakin berjarak dengan kebutuhan masyarakat meningkatkan kesejahteraan. Itu terlihat dari orientasi sistem ekonomi yang tidak adil dan menghilangkan orang miskin sebagai subjek. Pembangunan ekonomi masih terimplementasi pada penyediaan keuntungan bagi kelompok tertentu. 

Dalam kondisi seperti itu, biasanya ada hubungannya dengan knowledge society, yakni pengetahuan sebagai basis keputusan oleh masyarakat. Dalam masyarakat yang berpengetahuan, keputusan-keputusan meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bertumpu pada kebajikan ilmu yang memperhatikan manfaat dari tiga aspek: ekonomi, sosial, dan lingkungan. 

Ada empat perspektif filosofis melihat kemiskinan: positivisme, konstruksionisme sosial, realisme kritis dengan sudut pandang feminis seperti digambarkan Serdar Yardak dalam Revisiting Poverty: The Role of Four Philosophy of Science Perspectives in Studying Poverty (2016).

Positivisme adalah aliran filsafat yang menyatakan bahwa pengetahuan yang benar hanya berasal dari ilmu alam dan tidak berkaitan dengan metafisika seperti eksistensi, keberadaan aktual, dan karakteristik yang menyertainya. Dalam pandangan ini, pengetahuan objektif itu mungkin. Penalaran induktif atau deduktif adalah hal yang umum dalam metodologi positivis.

Sebaliknya, dalam pandangan konstruksionisme sosial, proses pemaknaan oleh setiap individu bersifat subyektif yang terdiri dari proses eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Eksternalisasi adalah penyesuaian diri dengan dunia sosiokultural sebagai produk manusia. Objektivasi adalah interaksi sosial dalam masyarakat yang mengalami proses institusionalisasi. Adapun internalisasi adalah proses individu mengidentifikasi diri di tengah berbagai lembaga atau kondisi sosial.

Konstruktivisme sosial dapat dilihat sebagai sebuah kerja individu menafsirkan realitas akibat relasi sosial. Individu kemudian membangun sendiri pengetahuan atas realitas yang dilihat itu dengan memperhatikan dan mempertimbangkan pengetahuan yang telah ada sebelumnya. Inilah yang disebut konstruksi sosial.

Pendekatan ini menolak kemungkinan manusia memperoleh pengetahuan objektif melalui penyelidikan ilmiah, karena penyelidik ilmiah tidak pernah pasif. Pendekatan ini berbeda dengan pendekatan positivistik yang dapat membuat prediksi, menemukan korelasi, atau menciptakan hukum universal. 

Misalnya, konstruksi sosial kemiskinan menurut Escobar (1995) didorong oleh premis masyarakat miskin sebagai orang yang tidak memiliki apa yang dimiliki orang kaya dalam masyarakat yang berorientasi pasar. Karenanya, negara-negara yang memiliki standar pasar yang rendah dianggap lebih miskin dibandingkan negara-negara yang memiliki keunggulan ekonomi.

Konsekuensi pelabelan kemiskinan itu membuat masyarakat harus menyesuaikan diri dengan klasifikasi ilmuwan dalam mengakses dan mendapatkan manfaat dari sumber daya. Ringkasnya, keseluruhan realitas masyarakat yang tergolong miskin direduksi menjadi satu sifat, yang menyamakan orang dengan kasus, sehingga setiap kasus dapat ditangani dengan teknik tertentu oleh berbagai pakar (Escobar, 1995).

Dalam pendekatan realisme kritis, persepsi mengenai kenyataan tidak hanya pada apa yang menjadi fakta, tetapi struktur dan kekuasaan yang mengatur apa yang disebut nyata, yaitu peran birokrasi yang hierarkis dan regulatif. Dalam hal kemiskinan, realisme kritis berfokus pada hal-hal nyata sebagai dimensi kemiskinan yang aktual dan empiris. Di situ perlu pembeda antara kebutuhan nyata, keinginan yang dirasakan, dan permintaan yang diungkapkan.

Dalam sudut pandang feminis, argumen umumnya mengacu pada premis bahwa pengetahuan selalu disituasikan secara sosial. Situasi kelompok yang tersubordinasi menjadikan mereka sumber pengetahuan, karena subordinasi secara inheren membawa kesadaran, atau hak istimewa.

Dalam hal ini, sudut pandang kaum tertindas merupakan posisi istimewa memahami dunia yang menjadi landasan sudut pandang feminis. Maka pendekatan ini bersifat normatif yang bertujuan mengubah kerugian sosial dan politik dari kelompok yang terpinggirkan menjadi keuntungan. Dengan pendekatan ini, studi kemiskinan acap dimulai dari lapisan masyarakat yang paling terpinggirkan, sehingga peneliti mendapatkan pemahaman sosio-historis.

Dari perspektif ini, ada berbagai pendekatan melihat kemiskinan, seperti pendekatan kapabilitas Amartya Sen yang mengalihkan fokus kesejahteraan berdasarkan pendapatan dan pengeluaran menjadi kesejahteraan melalui kemampuan menjalankan hak. 

Karena sebagian besar orang miskin di Indonesia adalah petani dan dan nelayan, kita perlu melihat kemiskinan sebagai bahan telaah karena berpengaruh terhadap kebijakan pertanian. Dari telaah Serdar Yardak itu, pendekatan positivisme dengan pembuataan garis kemiskinan berdasarkan pendapatan per kapita gagal menjadi perspektif yang tepat untuk mengurangi orang miskin.

Empat perspektif melihat kemiskinan itu bisa saling melengkapi atau bisa dipakai sendiri-sendiri. Positivisme dan konstruksionisme sosial mewakili dua pemahaman filosofis yang berbeda, yang menunjukkan pendekatan ontologis, epistemologis, dan metodologis yang sangat berbeda dalam mempelajari kemiskinan. Namun, keduanya dapat saling melengkapi. 

Adapun pendekatan realisme kritis dan feminis menawarkan pendekatan ontologi alternatif, yang dengannya kita bisa lebih dekat untuk mendapatkan pemahaman yang lebih obyektif tentang kemiskinan, tanpa mengabaikan keberagaman historis, lokalitas, dan hubungan kekuasaan di balik objektivitas tertentu.

Penyebab kemiskinan dan kerusakan sumber daya alam di Indonesia beragam dengan fakta historis yang berbeda-beda. Menggunakan pendekatan seragam dengan perspektif hukum yang ahistoris akan melanggengkan konflik yang kontraproduktif dengan produktivitas sumber daya alam, kesejahteraan dan keberlanjutan.

Untuk itu selain pendekatan positivistik yang mengakar dalam pembuatan peraturan dan birokrasi, perbaikan pengelolaan pertanian dalam arti luas perlu dilakukan dengan rekonstruksi ulang kerangka berpikirnya. Sebab, selain persoalan produktivitas, pertanian dalam arti luas juga perlu ditopang dengan keadilan sosial.

Ikuti percakapan tentang kemiskinan di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain