Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 05 Oktober 2023

Orang Indonesia Belum Tahu Banyak tentang Pemanasan Global

Orang Indonesia masih awam dengan isu pemanasan global. Mengapa?

Banjir rob di Semarang akibat kenaikan muka air laut dan penurunan tanah (Foto: Istimewa)

HANYA 2% orang Indonesia yang mengetahui secara lengkap tentang apa itu pemanasan global. Yale University menerbitkan survei dua tahun lalu pada 3 Oktober 2023. Sebanyak 55% dari 3.490 responden berusia 16 tahun ke atas mengatakan mereka tahu sedikit tentang pemanasan global. Bahkan 20% responden secara terus terang mengaku belum pernah mendengar apa itu pemanasan global.

Mungkin ada perubahan selama dua tahun terakhir, tapi laporan Yale University yang bekerja sama dengan Development Dialogue Asia, Communication for Change, dan Kantar Indonesia tak menyebutkannya dalam laporan survei ini. Juga alasan mengapa mayoritas responden tak mengetahui banyak tentang isu global ini. Dalam survei tak ada pertanyaan tentang sumber informasi untukm mengetahui pemanasan global. 

Ketika para surveyor menelisik lebih jauh tentang pemanasan global, jawaban para responden juga menunjukkan pengetahuan yang minim tentang pemanasan global. Sebanyak 44% mengatakan bahwa pemanasan global adalah “perubahan signifikan dalam pola cuaca, suhu, angin, dan curah hujan yang terjadi dalam jangka waktu lama (puluhan tahun atau lebih)”.

Sebanyak 18% responden mengatakan bahwa pemanasan global adalah “perubahan cuaca dari musim hujan ke musim kemarau”. Dengan jawaban-jawaban mikro yang meleset ini, surveyor Yale University menyimpulkan dalam laporan ini bahwa “banyak orang Indonesia tak mengetahui deskripsi yang tepat tentang pemanasan global”.

Ketika para surveyor menjelaskan pemanasan global “mengacu pada gagasan suhu rata-rata dunia telah meningkat selama 150 tahun terakhir dan akan semakin meningkat di masa depan, sebagai akibatnya iklim dunia akan berubah” dan bertanya, “Apakah menurut Anda pemanasan global sedang terjadi?” hanya 63% yang mengatakan pemanasan global sedang terjadi, 30% tidak mengetahuinya.

Sebanyak 1 dari 3 orang responden percaya bahwa pemanasan global disebabkan oleh aktivitas manusia, 23% menganggap perubahan iklim sebagai akibat aktivitas manusia dan perubahan alam, serta 8% menyatakan pemanasan global semata perubahan lingkungan secara alamiah. Yang mengejutkan, 37% responden tetap tidak tahu apakah bumi sedang dilanda pemanasan global atau tidak.

Meski mayoritas responden (73%) khawatir dengan dampak perubahan iklim, hanya 19% yang menyatakan dampaknya akan menimpa tiap individu. Sebanyak 30% responden menyatakan bahwa dampak perubahan iklim akan buruk bagi satwa dan tanaman. Meski begitu, 31% responden menyatakan dampak pemanasan global akan berakibat pada generasi mendatang.

Dalam hal deforestasi, mayoritas responden (89%) sepakat bahwa penebangan hutan berbahaya bagi manusia dan lingkungan. Menurut mereka, deforestasi menjadi pemicu banjir, longsor, dan hilangnya resapan air. Karena itu 40% responden tak setuju penebangan hutan besar-besaran. 

Jawaban para responden terhadap bahaya deforestasi berkorelasi dengan pengetahuan mereka tentang masyarakat adat. Meski jumlah masyarakat adat sebanyak 50-70 juta atau 18-25% populasi, sebanyak 62% responden mengaku tak pernah mendengar tentang masyarakat adat Indonesia. Karena itu, jawaban atas pertanyaan tentang deforestasi tak menyangkut hilangnya tempat tinggal dan budaya masyarakat adat Indonesia. 

Yang agak menggembirakan adalah 91% responden setuju melindungi hutan dan lingkungan sebagai kewajiban moral bagi kepentingan bersama. “Sebanyak 82% responden merasa bersalah terhadap hal negatif yang dilakukan manusia terhadap lingkungan,” kata Enggar Paramita dari Development Dialogue Asia, lembaga yang ikut merancang survei ini.

Anehnya, meski merasa bersalah terhadap perusakan lingkungan, hanya 18% yang pernah mendukung gerakan perlindungan lingkungan oleh lembaga lain. Hanya 4% responden yang ikut gerakan memboikot sebuah institusi atau produk institusi yang dianggap merusak lingkungan.

Studi serupa dilakukan di Brazil dan India. Di Brazil dan India, kesadaran terhadap perubahan iklim lebih meningkat, dengan cara mengedepankan kondisi lokal. Misalnya, penduduk Brazil mementingkan perlindungan lingkungan dan hutan tropis Amazon serta tak keberatan jika pertumbuhan ekonomi melambat demi itu.

Sedangkan di India, cuaca lokal menjadi pusat perhatian, di mana 76% orang responden menyebut pemanasan global berdampak pada perubahan curah hujan sepanjang 10 tahun terakhir dan 41% mengatakan musim angin muson menjadi lebih sering, bertambah sampai 17 kali lebih banyak sejak 2011.

Meski angka-angkanya masih kecil, menurut Enggar dalam siaran pers, studi Yale University ini menggambarkan masyarakat Indonesia mulai sadar perubahan iklim, namun masih awam dengan apa yang harus mereka lakukan untuk turut mencegahnya. 

Sebanyak 75% responden berharap pemerintah bisa bertindak mengurangi kerusakan lingkungan akibat manusia, disusul tindakan masyarakat (73%). “Studi ini menunjukkan pemerintah, sektor bisnis, para pendidik dan masyarakat sipil perlu bekerja bersama untuk membangun pemahaman bersama dan mendukung aksi-aksi iklim,” kata Anthony Leiserowitz, peneliti utama studi ini.

Ikuti percakapan tentang pemanasan global di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Redaksi

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain