Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 11 September 2023

Problem Tata Kelola Pertambangan Batu Bara

Tata kelola tambang batu bara sama bermasalahnya dengan tata kelola hutan produksi. Tak cukup hanya memakai analisis untung-rugi secara ekonomi.

Tata kelola tambang batu bara

MENURUT studi Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2010, ada kekurangan bayar pajak dari perusahaan batu bara yang menambang emas hitam ini di kawasan hutan sebesar Rp 15,9 triliun. Itu pun penambangan batu bara hanya di tiga pulau besar: Sumatera, Kalimantan, dan Papua. KPK juga memperkirakan Rp 28,5 triliun potensi penerimaan negara yang hilang dari pajak perusahaan batu bara akibat persoalan administrasi dan buruknya sistem perizinan serta lemahnya kontrol pemerintah dalam mengawasi penerimaan negara. 

Pada 2017, KPK juga menghitung ada tunggakan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) perusahaan batu bara yang mencapai Rp 25,5 triliun. Melalui Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNP-SDA) KPK lalu mendorong penataan izin usaha pertambangan (IUP) di selurah Indonesia. Penataan itu memangkas jumlah IUP dari 4.877 pada 2014 menjadi 2.631 pada 2018.

Untuk mendorong tata kelola batu bara lebih bersih, KPK melanjutkannya dengan pemutakhiran data pertambangan mineral dan batu bara (minerba) melalui rekonsiliasi IUP antara pemerintah pusat dan daerah serta pengembangan Minerba One Data Indonesia (MODI). Juga membangun satu peta pertambangan melalui Minerba One Map Indonesia (MOMI) yang terintegrasi dengan geoportal di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Pada 2019, Transparency International Indonesia (TII) mencatat 35 risiko korupsi perizinan pertambangan. Dari jumlah itu, TII memfokuskannya pada ada lima hal peluang terjadinya korupsi pertambangan.

Pertama, transparansi proses pemberian izin dan identitas penerima izin. Kedua, sistem informasi geologis yang kurang lengkap, yang mengakibatkan ketidakpastian nilai ekonomi lokasi pertambangan serta status lahan dan hak yang ada masih berpotensi konflik. Ketiga, kurangnya mekanisme verifikasi atas kemampuan administratif, teknis, pengelolaan lingkungan dan keuangan dari para pemohon izin. Keempat, ketidakpastian rezim peraturan yang tidak memberikan peraturan pelaksanaan dan prosedur yang jelas. Kelima, penegakan hukum yang lemah atas praktik korupsi dan ketidakpatuhan dalam pemberian IUP eksplorasi. 

Sejauh ini, sektor pertambangan berperan penting bagi perekonomian yang berkontribusi sekitar 9% terhadap produk domestik bruto (PDB) serta mempekerjakan lebih dari 95 ribu orang (BPS, 2022). PNBP sektor mineral dan batu bara mencapai Rp 34 triliun (PWYP, 2021). Besarnya potensi ekonomi pertambangan itu telah mendorong masuknya investor asing yang disambut pemerintah dengan merampingkan proses perizinan dan menawarkan insentif pajak kepada perusahaan pertambangan.

Dalam perkembangannya, penerimaan negara dari sektor ini Rp 124,4 triliun pada 2021. Nilai tersebut mencakup pajak, bea keluar, serta PNBP. Hingga September 2022 pendapatan meningkat menjadi sekitar Rp 130 triliun. 

Namun, perubahan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 menjadi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang pertambangan mineral dan batu bara malah memperlemah pengawasan pemerintah dan masyarakat. Indonesian Center for Enviromental Law (ICEL) pada 2020 memberikan catatan yang konstruktif terkait pelemahan tersebut:

Pertama, tidak sinkronnya sentralisasi pengawasan dengan pengaturan pendelegasian penerbitan izin dalam perubahan UU Nomor 4/2009. Kedua, perubahan itu menghilangkan pengawasan terhadap kepentingan umum serta penyelesaian masalah pertanahan dan perselisihan pertambangan. Ketiga, perubahan itu menghilangkan kewenangan inspektur tambang untuk menghentikan sementara kegiatan usaha pertambangan dan hak bagi masyarakat untuk mengajukan permohonan penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan. 

TII baru saja mempublikasikan kajian terbaru mengenai “Penilaian Risiko Perizinan dan Pengawasan Usaha Pertambangan di Indonesia” dengan pendekatan Mining Award Corruption Risk Assessment (MACRA) di Aceh, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Tenggara. Kajian ini antara lain menyimpulkan beberapa hal, sebagai berikut.

Pertama, konsolidasi kepentingan antara pejabat negara, politisi dan pebisnis tambang yang menjadi jaring patronase dan klientelisme menjadi risiko korupsi paling tinggi. Akibatnya tata kelola pertambangan tidak hanya kehilangan kapasitasnya untuk diuji secara akuntabel, juga mendorong bias dalam memisahkan kepentingan publik dan korporat, karena sumber daya alam mineral dan batu bara merupakan milik publik.

Dalam situasi seperti itu, pembenahan administrasi yang berujung pada kemudahan berusaha dan kepastian perizinan pertambangan, menurut kajian TII, tidak akan meredam risiko korupsi. Maka, perlu terobosan kebijakan politik yang bisa memutus relasi jaring patronase dan oligarki korupsi yang secara faktual menyandera otoritas negara.

Kedua, tetap perlu adanya kejelasan peraturan, standar layanan, keterbukaan informasi, dan penguatan harmonisasi informasi kadaster. Pemerintah bisa mengambil langkah yang lebih signifikan dalam membangun tata kelola yang berintegritas. Salah satunya dengan tetap memisahkan antara kepentingan publik dan swasta, serta membuat peraturan mengenai benturan kepentingan untuk mencegah rente pertambangan ilegal.

Ketiga, TII merekomendasikan revisi UU Nomor 3/2020 dengan menghapus pasal kriminalisasi terhadap masyarakat, menjamin ruang keberatan oleh masyarakat agar tidak melahirkan kriminalisasi, serta menyediakan mekanisme pengaduan yang andal untuk mencegah persoalan lingkungan, sosial, dan ekonomi akibat kegiatan usaha pertambangan. Karena itu perlu mekanisme transparansi dan partisipasi publik yang efektif dengan menyediakan informasi yang cukup untuk setiap permohonan kegiatan usaha baru. 

Keempat, Kementerian ESDM perlu memperkuat kerangka hukum dengan memasukkan nilai-nilai integritas dalam kaidah pertambangan yang baik. Misalnya dengan mengadopsi sistem penolakan terhadap terpidana korupsi serta mewujudkan kapasitas institusional untuk melakukan pengawasan terhadap ribuan usaha pertambangan yang izinnya telah terbit. Terkait perizinan ini, juga perlu verifikasi terhadap pemilik manfaat (beneficial owner).

Kelima, Badan Pemeriksa Keuangan dan Extractive Industries Transparency Initiative Indonesia perlu mengaudit penerimaan negara dari sektor mineral dan batu bara dengan menguji semua laporan produksi dan penerimaan negara yang dicantumkan dalam rencana kerja dan anggaran perusahaan. KPK juga perlu mendorong penguatan sistem pencegahan benturan kepentingan dalam tata kelola pertambangan, dengan memperkuat kerangka hukumnya.

Masalahnya, investasi yang difasilitasi berbagai kemudahan tidak serta merta menghasilkan manfaat bagi publik. Belum lagi banyak kegiatan usaha pertambangan ilegal. Catatan Jaringan Advokasi Tambang Kalimantan Timur, misalnya, menyebutkan setidaknya 168 titik aktivitas tambang ilegal di provinsi itu sejak 2018-2022.

Sebelumnya, Publish What You Pay Indonesia pernah mencatat bahwa aliran keuangan gelap (illicit financial flow) dari sektor pertambangan mencapai Rp 23,9 triliun. Data terbaru menunjukkan selisih neraca perdagangan nikel antara Indonesia dengan Tiongkok menunjukkan kesenjangan yang signifikan hingga 5 juta ton (Kompas, 2023). Pada 2023, Kementerian ESDM menemukan lebih dari 2.000 pertambangan adalah ilegal.

Dalam pertimbangan logika rasio manfaat dan biaya, sepanjang segala biaya transaksi yang harus dibayar bisa ditutup dengan keuntungan, berapa pun biaya transaksi tak akan dianggap sebagai masalah oleh para pelaku usaha pertambangan. Maka, dalam bisnis sumber daya alam seperti tambang dan hutan alam—yang keberadaannya langsung tersedia tanpa usaha manusia—keuntungan sambil membayar biaya transaksi itu yang menyebabkan mandeknya keberlanjutan.

Perhitungan manfaat dan biaya itu membuat pelaku usaha pertambangan akan melakukan eksploitasi secara berlebihan serta memanipulasi jumlah produksi mineral dan batu bara mereka. Manipulasi ini tecermin dalam temuan KPK hingga tunggakan PNBP. Apalagi, para pelaku usaha pertambangan biasanya tak melakukan reklamasi setelah selesai konsesi.

Problem tata kelola batu bara sama dengan problem tata kelola hutan alam produksi. Saat ini sekitar 40 juta hektare hutan alam produksi tak lagi dikelola oleh perusahaan pemegang konsesinya. Pengelolaan hutan produksi pun menjadi tidak lestari akibat para pengusaha menebang pohon melebihi pertumbuhan volume kayu di arealnya

Ketidaklestarian pengelolaan sumber daya alam akibat biaya transaksi tinggi itu telah melahirkan kerusakan alam yang biayanya kini ditanggung bersama oleh seluruh penduduk bumi. Kerusakan alam melahirkan polusi hingga pelbagai bencana. Maka pengelolaan sumber daya alam tidak hanya bisa didasarkan pada perhitung untung-rugi. Sebab sumber daya alam adalah barang publik.

Dalam barang publik ada kepentingan publik. Menyandarkan pengelolaannya hanya pada seberapa untung usahanya akan melahirkan kerusakan dan bencana. Pada ujungnya, pengelolaan sumber daya alam yang tak lestari akan menciptakan ketimpangan dan ketidakadilan sosial.

Ikuti percakapan tentang tata kelola di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain