Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 12 Juni 2023

Transformasi Politik Melestarikan Hutan

Mengelola hutan lestari perlu transformasi politik. Seperti apa?

Korupsi dalam pengelolaan sumber daya alam

MEMPERBAKI kebijakan tak hanya melalui perubahan aturan. Karena dalam pelaksanaan kebijakan perlu informasi ketika membuat keputusan, kapasitas penyelenggaranya, serta mengelola kepentingan yang saling bersaing. Pergantian pimpinan juga bisa jadi kunci pelaksanaan kebijakan yang efektif dan efisien.

Salah satu faktor penentu kesuksesan pelaksanaan peraturan-perundangan adalah besar-kecilnya biaya transaksi. Menurut Korchner & Picot (1987) komponen umum biaya transaksi mencakup biaya untuk mencari informasi, biaya memastikan segala ketentuan, biaya monitoring, serta biaya adaptasi. Biaya yang dimaksud tidak selalu berupa uang, tetapi berupa pengorbanan yang mungkin timbul. Biasanya, regulasi tidak berjalan akibat biaya transaksi tinggi itu. 

Dengan tingginya biaya transaksi peraturan bisa tidak berjalan dan digantikan oleh transaksi dan kesepakatan para pelaku. Misalnya, produksi kayu bulat dari hutan alam produksi sejak 15 tahun yang lalu telah digantikan oleh produksi dari hutan tanaman dan dalam waktu yang sama telah terjadi peningkatan usaha tambang dan kebun sawit di dalam kawasan hutan negara. 

Dalam suatu pertemuan pada April 2014 di KPK, ada pembahasan usaha tambang dalam kawasan hutan negara, baik pada tahap eksplorasi maupun eksploitasi, seluas 25,9 juta hektare oleh 5.022 perusahaan. Penambangan itu bukan hanya di dalam hutan produksi, yang memang dibolehkan oleh undang-undang, juga di hutan konservasi seluas 1, 3 juta hektare oleh 379 perusahaan, dan di hutan lindung seluas 4,9 juta hektare oleh 1.457 perusahaan. Demikian pula kebun kelapa sawit dalam kawasan hutan seluas 3,7 juta hektare.

Pada periode yang sama, data Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) menunjukkan 179 perusahaan eksploitasi kayu dari hutan alam dan 139 perusahaan hutan tanaman menuju kebangkrutan. Itu artinya hutan alam produksi telah ditebang melebihi kemampuan tumbuhnya, sedangkan hutan tanaman ternyata merugikan. Hal itu terjadi antara lain akibat dicabutnya subsidi pembangunan hutan tanaman.

Saat ini ada sekitar 39 juta hektare hutan alam produksi dan hutan tanaman yang tidak aktif. Demikian pula hutan produksi di pulau Jawa yang dikelola Perum Perhutani, seluas 1,3 juta hektare dari semula 2,5 juta hektare, kini dikelola negara. 

Penelitian Lembaga Penelitian Komisi Pemberantasan Korupsi pada periode itu menemukan bahwa dalam hampir seluruh mata rantai perizinan sebuah perusahaan—tunggal atau grup—dalam satu tahun membelanjakan suap Rp 688 juta hingga Rp 22,6 miliar.

Dalam hal pengawasan oleh pegawai negara, secara umum ada kebiasaan mengganti biaya perjalanan dan akomodasi oleh perusahaan berdasarkan Surat Perintah Tugas (SPT). Dari hasil wawancara pada saat itu, perusahaan menerima 100 hingga 150 SPT dalam satu tahun. Kajian Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University menunjukkan di Kalimantan Tengah da perusahaan hutan alam kedatangan tamu pengawas selama 278 hari dalam satu tahun.

Fenomena seperti itu menunjukkan kerusakan hutan dan sumber daya alam bukan kurang pengawasan, justru “kelebihan pengawasan” yang hanya berfungsi menimbulkan biaya transaksi yang dikeluarkan oleh perusahaan. Dan perusahaan menutupi biaya transaksi itu dengan cara menebang pohon lebih banyak daripada yang seharusnya.

Transaksi dalam perizinan seperti itu kini menyebabkan hutan alam produksi pada akhir 2022 hanya dikelola oleh 247 perusahaan dari 567 pada 1991. Dengan begitu 320 perusahaan dikelola secara yang tidak berkelanjutan. Situasi demikian itu sejalan dengan hasil telaah tata kelola Indonesia oleh Transparency International pada 2022 yang tecermin dari indeks tata kelola pemerintahan yang turun menjadi 34 (semakin kecil, semakin korup). Sebagai perbandingan indeks tertinggi dimiliki oleh Denmark (90) dan terendah oleh Yaman (16).

Baru-baru ini Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan membentuk tim percepatan reformasi hukum. Ada empat kelompok kerja yang dibentuk, yang menangani persoalan lembaga peradilan dan penegakan hukum, sektor agraria dan sumber daya alam, pemberantasan korupsi serta sektor peraturan perundangan. Tugas tim ini, saya ada di dalamnya, menyusun dan mengusulkan agenda prioritas serta strategi percepatan reformasi hukum.

Apabila berangkat dari kasus-kasus yang ada di lapangan, hasil kerja keempat kelompok itu tidak dapat dipisahkan. Persoalan kerusakan hutan, misalnya, akan menyangkut juga persoalan kepentingan investasi yang melanggar tata ruang, persoalan penegakan hukum, isi peraturan-perundangan yang tidak sesuai kondisi lapangan, rendahnya kapasitas pengawasan, ataupun adanya korupsi dalam perizinan.

Dalam “Writing Political Forests”, Nancy Lee Peluso dan Peter Vandergeest (2020) menyebut pentingnya memahami hutan dalam perspektif politik. Argumen utama yang melekat dalam konsep hutan politik adalah hutan tidak pernah sepenuhnya alami. Hutan dimaknai dan selalu dalam proses pemaknaan melalui cara pandang politik dan budaya, melalui “agensi alam” atau biologis, ekologis dan proses sosial-alam.

Upaya mendenaturalisasi hutan dan mendefinisikannya kembali sebagai entitas politik-ekologis tidak bisa dilepaskan dari kepentingan politik. Pendekatan seperti ini, agaknya, kurang digunakan dalam pengelolaan hutan selama ini, termasuk oleh para ahli atau yang berkecimpung dalam dunia kehutanan.

Dalam “Exploring the governance and politics of transformations towards sustainability“, James Patterson, dkk, menyebut transformasi menuju keberlanjutan juga tergolong politis. Transformasi menuju pelaksanaan keberlanjutan perlu dijalankan melalui perubahan secara struktural dan fungsional, serta perbaikan aspek relasional maupun kognitif dari sistem sosio-teknis-ekologi yang harus diarahkan untuk menjalankan pola interaksi dengan cara baru.

Dengan pengalaman itu, Patterson, dkk menyebut kecenderungan sangat politis dan diperebutkan, karena aktor yang berbeda akan terpengaruh dengan cara yang berbeda, dan mungkin akan mendapatkan keuntungan atau kerugian sebagai akibat dari perubahan. Selain itu, pembingkaian dan narasi proses transformasi perlu dibangun secara sosial untuk mendapat dukungan.

Dari pengalaman selama ini, ada kesenjangan yang tajam antara tuntutan perubahan dengan kerja-kerja birokrasi pemerintah. Walaupun semua pihak memahami dan menganalisis transformasi menuju keberlanjutan yang cenderung bersifat dinamis, politis, dan memerlukan perubahan dalam berbagai sistem, upaya mereka biasanya terhambat oleh cara kerja birokrasi. Kerja birokrasi terbatas menghasilkan ouput masing-masing dan belum sampai pada pencapaian outcome yang memerlukan integrasi progam antar lembaga.

Sudah banyak bukti bahwa lintasan perubahan transformatif cenderung muncul dari interaksi banyak kepentingan, sehingga tidak bisa dilihat oleh pendekatan teknis yang terbatas. Untuk itu perlu ada tinjauan politik.

Di situlah tantangan utama menyelesaikan persoalan pengelolaan sumber daya alam. Masalahnya, problem ini tidak dapat ditangani hanya oleh sektor tertentu, apalagi pelaksanaan regulasi selalu dihantui korupsi. Untuk itu tinjauan mengenai persoalan pengeloaan sumber daya alam perlu dilakukan lebih komprehensif, melampaui apa yang menjadi lingkup kerja sektor serta kementerian koordinatornya.

Kata Jarod Kintz: “Whether you live to be 50 or 100 makes no difference, if you made no difference in the world“.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain