Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 15 Mei 2023

Inovasi Kebijakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan

Keberlanjutan rehabilitasi hutan dan lahan tak semata ditopang faktor teknis. Modal sosial lebih menentukan.

Menanam pohon (Foto: Dok. FD)

LAHAN kritis dalam kawasan hutan dan belum mendapat izin pemanfaatan, rehabilitasinya oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Pihak ketiga baru bisa melanjutkannya jika tanaman rehabilitasi memasuki umur tiga tahun. Mereka mesti memelihara, memupuk, menyulam, hingga menjaga area rehabilitasi dari gangguan keamanan dan ancaman manusia serta satwa.

Setelah tanaman rehabilitasi diserah-terimakan dari pemerintah kepada pihak ketiga, kebijakan rehabilitasi tak secara eksplisit membuka partisipasi masyarakat. Begitu tanaman rehabilitasi umur tiga tahun, perawatannya diserahkan kepada alam. Pemerintah daerah yang tak cukup punya anggaran akan membiarkan tanaman itu tanpa pemeliharaan.

Beda dengan lahan kritis di dalam kawasan hutan yang sudah mendapatkan izin. Tanggung jawab pemeliharaannya oleh pemegang izin pemanfaatan tersebut. Maka problem keberlanjutan rehabilitasi hutan dan tak hanya tergantung pada jumlah dan pertumbuhan pohon yang secara teoritis bisa dilestarikan, juga tergantung pada faktor lain. Dalam kasus industri pulp dan kertas, kelestarian hutan tanaman menjadi perlu karena ada kebutuhan bahan baku kayu.

Hal itu berarti kelestarian memerlukan kepentingan di belakangnya. Jika kepentingan itu tak terpenuhi akan ada pihak yang rugi secara finansial. Sebaliknya, apabila kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan tak ada yang diuntungkan atau dirugikan, yang menjadi rebutan adalah biaya atau proyek kegiatannya. 

Implikasi dari keadaan seperti itu, perlu ada lembaga negara yang melaksanakan kegiatan rehabilitasi, terutama jika tujuan dan manfaatnya untuk kepentingan sosial. Misalnya, bukan untuk bisnis, tapi rehabilitasi untuk konservasi air. Sebab, manfaat yang tak bisa dihitung secara finansial ini cenderung dianggap tak menguntungkan. 

Problem rehabilitasi hutan dan lahan yang lain adalah lemahnya kelembagaan setelah penanaman. Menyerahkan pemeliharaan kepada pemerintah daerah perlu ditelaah kembali jika banyak pemerintah daerah tak memiliki kapasitas menanganinya.

Reboisasi hutan dan lahan oleh Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Way Seputih Way Sekampung di Lampung, khususnya di Gunung Balak dan Way Pisang, mulanya hanya diikuti beberapa orang saja. Isu pelepasan kawasan hutan membuat masyarakat enggan mengikuti program rehabilitasi.

Sebelumnya, program rehabilitasi juga dianggap gagal karena tanaman reboisasi dianggap tak bermanfaat bagi masyarakat bahkan mengganggu tanaman semusim yang ditanam penduduk. Masyarakat juga menolak program rehabilitasi karena anggapan lahan yang pulih menjadi hutan kembali areanya akan ditarik kembali oleh pemerintah. Peristiwa pada 1984 ketika mereka harus mengikuti transmigrasi lokal ke Kabupaten Tulang Bawang tampaknya menjadi trauma.

Pendekatan program rehabilitasi di Lampung mulai berubah setelah peristiwa itu. Masyarakat banyak yang mengajukan kegiatan rehabilitasi setelah pemerintah melibatkan partisipasi masyarakat secara utuh. Masyarakat terlibat dalam pemilihan jenis tanaman dan hilangnya potongan biaya yang sampai kepada masyarakat.

Kini tantangannya adalah transformasi rehabilitasi hutan dan lahan menjadi perhutanan sosial. Masyarakat menilai perhutanan sosial sebagai usaha komersial biasa. Penduduk yang terlibat program rehabilitasi harus menanggung biaya sendiri.

Di Lampung, biaya rehabilitasi hutan dan lahan Rp 11,6 juta per hektare selama tiga tahun. Tahun pertama Rp 6,7 juta, tahun kedua Rp 3,2 juta, dan tahun ketiga Rp 1,7 juta. Jumlah tanamannya 400 batang per hektare. 

Untuk rehabilitasi lahan swakelola, masyarakat tetap memelihara tanaman setelah tiga tahun meski tak ada upah. Ini karena mereka memiliki kebebasan memilih jenis tanaman untuk rehabilitasi.

BPDAS Way Seputih Way Sekampung menghitung biaya total rehabilitasi dengan jenis alpukat selama tiga tahun Rp 31, 3 juta setiap hektare. Biaya ini terdiri dari bantuan pemerintah sebesar Rp 11,6 juta per hektare dan subsidi petani berupa tenaga dan kompos serta pupuk sebesar Rp 19,7 juta per hektare.

Apa yang terjadi di Lampung itu saya sebut “modal sosial rehabilitasi lahan kritis”. Kegagalan rehabilitasi hutan acap kali tak disebabkan faktor-faktor teknis menanam, lebih banyak oleh soal-soal kelembagaan. Misalnya, rehabilitasi hutan gagal jika petani menganggap anggaran untuk menanam pohon akan dipotong pengelola. Begitu juga jika rehabilitasi dilakukan oleh pihak ketiga.

Dengan begitu, rehabilitasi hutan secara swakelola lebih mungkin berhasil daripada dilakukan pihak ketiga. Swakelola lebih memungkinkan terwujudnya modal sosial. Penunjukan rehabilitasi hutan dan lahan oleh pihak ketiga akan berakhir gagal karena masyarakat tak terlibat sejak mula.

Faktor pendorong lain keberlanjutan rehabilitasi hutan dan lahan adalah pendapatan jangka pendek bagi masyarakat. Karena itu membebaskan penduduk memilih tanaman utama menjadi penting agar mereka merasa terlibat dalam pemeliharaannya. 

Di Lampung ada kebijakan Direktur Jenderal Pengelolaan DAS dan Rehabilitasi Hutan yang menentukan standar biaya reboisasi agroforestri pada areal perhutanan sosial. Aturan ini menetapkan standar biaya penanaman serta pemeliharaan tahun pertama dan kedua untuk jumlah pohon 400 batang dan 200 batang.

Rehabilitasi hutan dan lahan memerlukan inovasi dan penyesuaian dengan kondisi fisik dan sosial. Karena itu, tak hanya programnya yang perlu diubah lebih inovatif, juga perlu ada perubahan kebijakan agar modal sosial rehabilitasi lahan terus terjaga. Keberlanjutan rehabilitasi hutan dan lahan kritis semakin penting di era krisis iklim yang menuntut perbaikan kualitas lingkungan.

Ikuti percakapan tentang rehabilitasi hutan di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.

Topik :

Translated by  

Bagikan

Komentar



Artikel Lain