Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 27 Maret 2023

Efektivitas Sentralisasi Pengelolaan Hutan

Indonesia kembali memasuki sentralisasi pengelolaan hutan. Efektifkah?

Sentralisasi pengelolaan hutan

SEMESTINYA, sentralisasi kewenangan membuat pengelolaan hutan menjadi mudah. Pemerintah akan lebih gampang memobilisasi dukungan politik yang besar. Karena itu jika ada perbaikan regulasi, hal positif itu bisa dilakukan segera. Namun, segala kemudahan itu tidak berarti gampang dan efektif pula implementasinya.

Implementasi kebijakan yang efektif perlu mempertimbangkan beberapa faktor. Kondisi khas, situasi, faktor alam, atau budaya masyarakat setempat berada di luar jangkauan kebijakan. Soal-soal ini kadang perlu seni pendekatan agar kebijakan bisa diterima dan dilaksanakan dengan mulus.

Perbedaan tipe hutan dan kondisi sosial di Jawa, berbeda dengan keadaan di Sumatera dan Kalimantan, Sulawesi, atau Maluku dan Papua. Para pemangku kepentingan dan keterlibatan mereka, bentuk partisipasi, cara evaluasi, juga berpengaruh dalam menjalankan kebijakan. Para pembuat kebijakan paham karakteristik yang berbeda menghasilkan perlakuan berbeda. Tapi pengetahuan ini acap mereka abaikan. Akibatnya, pendekatan menerapkan kebijakan secara teknis semata.

Secara umum kebijakan akan berjalan baik dengan hasil permanen jika mencapai tujuan yang langsung berhubungan dengan hasil akhir yang diinginkan pembuatnya. Untuk kehutanan dan lingkungan hidup, tujuan itu adalah keberlanjutan manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan secara adil.

Masalahnya, kebijakan nasional pengelolaan hutan dalam sepuluh tahun terakhir sifatnya hanya membenahi kelemahan di masa lalu. Akibatnya, kebijakan pembenahan itu tidak berjangka panjang karena tak ditopang oleh inovasi.

Pengelolaan hutan produksi, misalnya, sudah berubah. Di luar Jawa, hanya separuh luas hutan alam produksi yang masih dikelola para pemegang hak pengusahaan. Sementara di Jawa, luas kelola hutan oleh Perum Perhutani juga makin berkurang. Dari fakta ini kita perlu menarik beberapa pelajaran untuk membuat prinsip-prinsip baru pengelolaan hutan ke depan. Saya sarikan beberapa hal:

Pertama, penerapan konsesi membuat kelestarian hutan menjadi rentan. Para pemilik konsesi dulu mendapatkan hutan alam dengan pohon masak tebang atau siap panen. Karena itu bagi mereka tak ada kerugian apa pun jika setelah habis masa konsesi mereka meninggalkan area hutan tersebut. Dana jaminan reboisasi terlalu murah sebagai jaminan kehilangan pohon-pohon tersebut.

Kedua, hutan produksi di pulau Jawa sama saja. Dengan semakin sedikit pohon jati yang siap ditebang menunjukkan konsep etat tebang tidak membawa hasil. Lalu pemerintah mengajukan konsep baru berupa kawasan hutan dengan pengelolaan khusus (KHDPK) yang mengeluarkan 1,1 juta hektare dari pengelolaan Perhutani. Dengan begitu, Perhutani akan fokus mengusahakan area yang masih layak secara bisnis. Namun bila kebijakan ini dilaksanakan dengan cara yang sama seperti Perhutani mengelola hutan sebelumnya, hasilnya cenderung sama, yaitu sekadar memecah wilayah kerja Perhutani saja. KHPDK perlu “Perhutani baru” yang mampu memenuhi syarat-syarat berdasarkan kondisi hutan saat ini agar konsep etat tebang bisa berjalan sesuai standar keberlanjutan.

Dalam “The Routledge Handbook of Political Ecology”, 2015, Tom Perreault dkk menyebut ekologi politik sebagai bentuk kritik dan keberpihakan pada kelompok-kelompok sosial yang terpinggirkan. Aktor dan sistem bertarung sehingga argumen terkait dengan kepentingan. Walhasil, kebijakan kehutanan menjadi aras kepentingan kelompok elite yang berdampak tidak setara terhadap masyarakat yang berbeda. Masalahnya, kebijakan berdasarkan kepentingan kelompok ini bisa ditopang oleh sains.

Dengan melihat dua hal di atas dan pembahasan Tom Perreault, persoalan kehutanan dan lingkungan perlu didekati melalui aspek tata kelola.

Pertama, kayu tidak lagi primadona karena peran barang substitusi semakin besar. Jumlah kayu untuk pertukangan yang diproduksi secara nasional tinggal 4-6 juta meter kubik per tahun dari sekitar 35 juta meter kubik per tahun pada tahun 1990-an. Volume kayu tanaman untuk bahan baku pulp dan kertas berkembang yang kini mencapai lebih dari 35 juta meter kubik per tahun. 

Dalam bidang usaha kehutanan ini, kebijakan baru setelah era sentralisasi kehutanan belum cukup menjadi solusi. Kebijakan multiusaha kehutanan, yang digadang-gadang sebagai cara baru bisnis kehutanan, belum berjalan. Menurut saya, ganjalan ini terjadi karena problem tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih.

Kedua, tata kelola kebijakan di Indonesia tecermin dari survei Transparency International pada 2022, terutama indeks korupsi yang turun dari 38 menjadi 34. Artinya, persepsi korupsi di Indonesia semakin naik. Negara paling korup adalah Yaman, dengan indeks 16. Tahun 1995, indeks korupsi Indonesia sebesar 19.

Artinya, selama lebih dari 20 tahun, Indonesia bisa memperbaiki indeks korupsi. Tapi jika dibandingkan dengan 180 negara lain yang disurvei, posisi Indonesia masuk ke dalam sepertiga negara dengan indeks terbawah.

Keadaan ini sulit dipahami untuk melihat hubungan kausal antara korupsi dengan penyelesaiannya. Sebab masalahnya berada dalam konstruksi pelaksanaan kebijakan dan pemerintahan. 

Ketiga, hutan lindung dan konservasi sekitar 60 juta hektare, yang kini semakin penting perannya sebagai penopang fungsi lingkungan hidup. Fungsi hutan lindung cenderung tidak tergantikan dan dari hari ke hari semakin langka, relatif terhadap semakin besarnya kebutuhan. Masalahnya, pemanfaatan fungsi hutan lindung dan konservasi mulai berkembang, terutama bagi wisata alam skala korporasi maupun skala masyarakat lokal.

Sementara tutupan hutan lindung dan konservasi terus menurun. Sebaliknya, rehabilitasinya tidak dilakukan. Jika pun ada rehabilitasi penilaiannya hanya sampai tahap penanaman. Padahal waktu tumbuh pohon untuk menciptakan iklim mikro perlu 5-15 tahun.

Keempat, dalam pengelolaan hutan produksi dan hutan lindung, peran pemerintahan pusat dan provinsi umumnya lemah di tingkat lapangan. Dengan kondisi alam hutan yang khas, dengan dampak lingkungan langsung berupa banjir dan longsor, kewenangan kehutanan yang terpusat mengendurkan peran pengelolaan lingkungan hidup. Dengan kata lain, sentralisasi kehutanan perlu diimbangi oleh penguatan fungsi pengelolaan lingkungan hidup di tingkat kabupaten yang menerima dampak secara langsung. 

Kelima, peluang lebih terbuka bagi perhutanan sosial mulai mengisi basis ekonomi masyarakat lokal. Namun proses persetujuan perhutanan sosial tidak sama: mudah bagi yang siap, terhenti untuk lokasi dengan dukungan infrastruktur minimal. Maka, wilayah-wilayah perhutanan sosial memerlukan sarana pengembangan ekonomi dengan memberikan hak pemanfaatan kawasan hutan. Artinya, sejak awal pengelolaan hutan perlu integrasi dengan bidang ekonomi dan pengembangan masyarakat di daerah.

Era sentralisasi pengelolaan hutan mungkin akan lebih mudah mendorong integrasi program dan kegiatan, tetapi belum tentu efektif mengelola hutan yang lokasinya tersebar. Efektivitas pengelolaan hutan memerlukan kapasitas kelembagaan dan tata kelola pemerintahan yang baik, termasuk mengatasi rendahnya anggaran negara. Selain itu perlu penggunaan teknologi visual dan komunikasi, informasi, maupun pendayagunaan data untuk menjalankan fungsi kelembagaan kehutanan.

Ikuti perkembangan terbaru pengelolaan hutan di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.

Topik :

Translated by  

Bagikan

Komentar



Artikel Lain