Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 05 Mei 2025

Mitigasi Dampak Lingkungan Kendaraan Listrik

Kendaraan listrik makin digandrungi. Perlu mitigasi agar dampaknya tak kompleks seperti kendaraan bensin.

Mobil listrik

BADAN Kebijakan Transportasi (BKT) Kementerian Perhubungan menghitung jumlah orang melakukan perjalanan mudik Lebaran 2025 mencapai 146,48 juta orang, atau berkisar 52% dari total populasi. Namun, dibanding tahun 2024, jumlah pemudik turun. Kelesuan ekonomi membuat gairah mudik berkurang. 

Mudik memakai kendaraan pribadi paling dominan sebesar 23%, kemudian bus umum (16,9%), kereta api antar kota (16,1%), pesawat udara (13,5%), sepeda motor (7,7%); dan sisanya menggunakan mobil sewa (7,7%), mobil sewa (7,1%), kapal Pelni (2,2%), dan kapal ASDP 2,1%. Ada juga mudik Lebaran dengan sepeda ontel sebanyak 0,9%.

Pemudik dengan kendaraan listrik ternyata makin signifikan, yaitu sebesar 19.852 unit atau naik 460% dibandingkan mudik Lebaran 2024. Kenaikan jumlah mobil listrik mendorong kenaikan konsumsi listrik. Selama masa siaga Idul Fitri 2025 terdapat 80.970 transaksi pengisian listrik, naik 4,9 kali dibanding Lebaran 2024.

Konsumsi energi listrik sebesar 1.950 Megawatt Jam (MWh), naik 5,8 kali lipat dari 2024, yaitu sebesar 334 MWh. Fenomena kendaraan listrik berdampak positif bagi konsumsi listrik PLN yang pasokannya masih surplus di Pulau Jawa.

Saat ini jumlah Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) sebanyak 3.558 unit, yang terpasang di 2.412 titik strategis. Di semua area istirahat jalan tol Trans Jawa dan Trans Sumatera, semua sudah terpasang SPKLU, khususnya untuk rest area tipe A dan tipe B. Di jalan tol Trans Jawa dan Trans Sumatera, sebanyak 151 SPKLU, dengan 3-4 nozzle yang terpasang di setiap SPKLU. 

Dari sisi kepemilikan, kendaraan listrik roda dua mendominasi sebanyak 80% (sekitar 160.575 unit), dan kendararaan pribadi roda empat berkisar 16 persenan (33.555 unit). Dan sisanya berupa bus listrik 402 unit, dan kendaraan lain sekitar 1%, meliputi kendaraan listrik roda tiga (337 unit), dan kendaraan komersial listrik (212 unit).

Sekalipun harga mobil dan motor listrik masih dirasa mahal, tetapi toh faktualnya pengguna mobil listrik banyak diberikan insentif oleh pemerintah, baik insentif fiskal maupun non fiskal. Insentif fiskal menjadi pendorong paling tinggi bagi pengguna, yakni terdapat 10 insentif fiskal, antara lain: kebijakan tax holiday, berupa pengurangan PPh Badan 100% selama 5 sampai 20 tahun sesuai nilai investasi, dan pengurangan PPh Badan 50% selama 2 tahun setelah jangka waktu pemanfaatan fasilitas tax holiday berakhir.

Sedangkan insentif untuk sepeda motor listrik berupa bantuan pembelian kendaraan bermotor listrik roda dua dengan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) minimal 40% sejumlah Rp 7 juta per unit. Insentif PPnBM untuk Mobil Listrik dengan TKDN di atas 40% mendapatkan PPnBM 0 persen. Tanpa berbagai insentif fiskal tersebut, harga mobil/motor listrik tentu akan jauh lebih mahal, mungkin bisa dua kali lipat dari harga jualnya. 

Adapun insentif nonfiskal, misalnya dari sisi trafik, khususnya di Jakarta, mobil listrik tidak terkena kebijakan nomor polisi ganjil-genap. Jadi pengguna mobil listrik bisa melenggang dengan bebas di belantara lalu lintas di Jakarta, yang tampak kian merana (macet).

Berbagai insentif itu memang perlu terus didorong, termasuk menginstalasi keberadaan SPKLU, hingga pada titik yang rasional/ideal sesuai dengan demand dan kepemilikan kendaraan listrik. Upaya PT PLN dengan mitranya untuk terus menambah jumlah SPKLU adalah hal yang positif untuk mengakselerasi penggunaan mobil listrik.

Secara empirik biaya operasional mobil listrik juga lebih ringan. Baterai mobil listrik dengan merek tertentu dengan kapasitas baterai 72,6 kWh bisa dipakai untuk menjelajah maksimal 451 kilometer. Sementara biaya mengisi daya mobil listrik di SPKLU milik PT PLN (sesuai Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1/2023 tentang Penyediaan Infrastruktur Pengisian Listrik Untuk Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai), hanya Rp 2.466 per kWh.

Dengan memakai asumsi biaya tersebut dan pengisian benar-benar dari 0-100%, total biaya yang dikeluarkan hanya Rp 179.031 dan bisa untuk menempuh jarak hingga 451 kilometer. Biaya tersebut jauh lebih kecil, dibandingkan menggunakan mobil jenis BBM, dan lebih kecil pula dibanding biaya pengeluaran untuk membeli rokok, apalagi pembelian rokok pada rumah tangga miskin, yang rata-rata mencapai Rp 600 ribuan per bulan.

Keberadaan kendaraan listrik perlu mitigasi holistik dan integratif, dari hulu hingga hilir. Agar ke depan kendaraan listrik tidak menjadi masalah baru, yang lebih kompleks.

Pertama, pemerintah harus lebih banyak memberikan insentif (memprioritaskan) untuk kendaraan umum berbasis listrik, khususnya kendaraan bus umum listrik untuk kota besar, seperti Jabodetabek, dan kota aglomerasi lainnya. Dengan insentif lebih banyak untuk bus umum listrik, warga bermigrasi ke angkutan umum, sehingga mereduksi kemacetan dan polusi udara. Saat ini, khususnya di Jakarta, armada bus Transjakarta sudah mulai menggunakan bus listrik. Tentu ini hal yang positif, patut diapresiasi dan didukung oleh semua pihak.

Kedua, pemerintah memikirkan limbah baterai kendaraan listrik. Sebab pada akhirnya baterai akan menjadi limbah. Artinya akan menghasilkan emisi karbon yang mencemari lingkungan, sama halnya puntung rokok yang sejatinya merupakan limbah yang berbahaya (limbah B3). Mitigasi limbah baterai kendaraan listrik, tentu harus dimulai sejak dari sisi hulu (proses produksi) hingga hilir. Selain itu, masa pakai baterai mobil dan juga motor listrik harus lebih lama, semakin lama semakin baik.

Ketiga, dari sisi trafik, jika jumlah kendaraan listrik sudah semakin “mewabah”, maka mobil listrik posisinya harus setara dengan mobil berbasis BBM. Misalnya mereka juga terkena kebijakan ganjil-genap. Hal ini sangat penting untuk mitigasi agar mobil listrik tidak menjadi beban berat bagi lalu lintas, yakni kemacetan di kota-kota besar di Indonesia, khususnya Jabodetabek, termasuk sepeda motor listrik yang perlu dikendalikan, dari segi harga (pricing) maupun nonharga.

Ikuti percakapan tentang kendaraan listrik di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Pegiat perlindungan konsumen dan lingkungan hidup, anggota Asosiasi Pengamat Energi Indonesia (APEI), pendiri dan pengurus Komisi Nasional Pengendalian Tembakau, dan Ketua Pengurus Harian YLKI, 2015-2025

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain