KRISIS IKLIM sedang terjadi akibat pemanasan global. Orang Indonesia sudah tahu informasi ini. Tapi, menurut survei Remotivi kepada 1.097 penduduk di perkotaan dan perdesaan, sebanyak 63% responden menganggap krisis iklim tidak berbahaya.
Remotivi mempublikasikan survei berjudul “Dampak Media terhadap Sikap Audiens dalam Isu Perubahan Iklim di Indonesia” pada 25 Februari 2023. Survei bertujuan mengukur tingkat kepedulian masyarakat terhadap krisis iklim yang menjadi fenomena global ini.
Menurut Geger Riyanto, editor Remotivi, hasil survei menunjukkan masih banyak masyarakat yang tidak melihat krisis iklim sebagai fenomena yang mendesak. “Sebagian responden telah sadar ada perubahan iklim, tapi penyangkalnya cukup tinggi, yakni 22,8 persen,” katanya.
Bahkan sebanyak 34,2% responden masih menganggap perubahan iklim sebagai proses alamiah di bumi. Hasil survei di Indonesia ini juga serupa dengan survei Yale University, Amerika Serikat, pada 2021. “Survei Yale menemukan 18-21 persen penyangkal iklim ada di Indonesia,” kata Geger. “Mereka tak menganggap perubahan iklim sebagai fenomena buatan manusia."
Penduduk yang sudah sadar dengan bahaya krisis iklim terpusat pada anak muda. Secara umum, survei Remotivi menemukan mayoritas penduduk Indonesia memiliki kesadaran rendah terhadap pemanasan global.
Sebanyak 64% responden memang mengaku khawatir, agak khawatir, maupun sangat khawatir terhadap dampak perubahan iklim. Tapi 63% responden menganggap krisis iklim sebagai fenomena yang biasa saja.
Kenyataan ini, kata Geger, memicu “climate in-activism”, yakni kesadaran yang tak memicu seseorang untuk bergerak terlibat mencegah krisis iklim dari diri sendiri lalu bergabung dalam aktivitas kolektif. “Padahal mitigasi iklim perlu gerakan bersama,” katanya.
Hasil kajian dari Remotivi juga serupa dengan survei Development Dialogue Asia (DDA) setahun sebelumnya. Strategic Communications Consultant DDA, Enggar Paramita mengatakan 88% orang Indonesia tahu dan pernah mendengar krisis iklim tapi tak paham dengan artinya. Hanya 44% yang tahu dengan fenomena pemanasan global.
Survei DDA pada April-Agustus 2021 melibatkan 500 responden usia 16-60 tahun. Hasilnya, 1 dari 3 orang percaya pemanasan global sedang terjadi. Namun, mereka menilai krisis iklim tak berdampak langsung pada kehidupan mereka.
Dalam hal penyebab, hanya 47% responden yang percaya krisis iklim disebabkan oleh aktivitas manusia, 37% percaya krisis iklim terjadi oleh kombinasi aktivitas manusia dan hal lain, dan 12% sebagai fenomena alam semata.
Para ahli sudah menyimpulkan bahwa krisis iklim adalah fenomena antroposen, yakni perubahan siklus alam akibat aktivitas manusia. Aktivitas manusia yang menghasilkan emisi karbon itu berubah menjadi gas rumah kaca ketika membumbung ke atmosfer.
Jumlah gas rumah kaca yang berlebih itu membuat atmosfer kehilangan peran menyerap emisi dari bumi. Akibatnya panas dari bumi dan matahari itu terpantul kembali ke bumi menaikkan suhu pelan-pelan. Kenaikan suhu membuat iklim berubah dan melahirkan pelbagai bencana hidrometeorologi.
Jumlah manusia yang semakin banyak—kini tembus 8 miliar—membuat emisi karbon terus bertambah. Populasi juga meningkatkan permintaan terhadap lahan. Akibatnya deforestasi dan konversi lahan. Padahal, hutan adalah ekosistem alamiah penyerap emisi karbon.
Dalam tiga abad, kelebihan emisi karbon itu telah menaikkan suhu bumi 1,20 Celsius. Padahal siklus bumi akan berubah drastis jika kenaikan suhu mencapai 1,5C. Cara terbaik mencegahnya dengan mengubah gaya hidup, mengubah teknologi, memakai energi terbarukan, memuliakan ekosistem.
Menurut Geger dan Enggar, untuk memberikan kesadaran akan krisis iklim dan memicu aktivisme individu peran media sangat vital. Sebagai isu kompleks dan abstrak, media berperan mendorong pengetahuan, memberikan persepsi, dan menumbuhkan kesadaran mencegah krisis iklim sebagai isu mendesak. Caranya memakai bahasa sederhana yang gampang dicerna.
Ikuti pembahasan krisis iklim di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB
Topik :