Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 21 Oktober 2022

Siapa Subjek Pajak Karbon

Pemerintah menunda pajak karbon hingga 2025. Siapa subjek pajak karbon?

Pajak kabron ditunda hingga 2025

KETIKA membuka Capital Market Summit and Expo 2022 pada 13 Oktober 2022, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengumumkan bahwa pajak karbon ditunda hingga 2025. Ini penundaan pajak karbon ketiga kalinya, setelah yang terakhir ditunda ke 1 Juli 2022. 

Pajak karbon adalah satu skema dalam perdagangan karbon. Sementara perdagangan karbon menjadi satu cara menurunkan emisi dengan memberikan insentif kepada mereka yang bisa menurunkan produksi emisi karbon dalam aktivitas mereka. Ujungnya adalah penurunan emisi sebagai mitigasi krisis iklim.

Konstruksi Kayu

Pajak karbon memakai skema cap and tax atau batas emisi. Skema cap and tax ini mengambil jalan tengah antara skema carbon tax dan cap-and-trade. Modifikasi skema pajak karbon diperlukan karena ada perbedaan ekosistem industri antar wilayah, termasuk respons publik terhadap aturan baru tersebut.

Secara hukum, penundaan ini tidak ada yang salah karena penjelasan Undang-Undang Nomor 7/2021, pasal 13 ayat (3) menyebutkan pajak karbon tahun 2022 -2024 terbatas pada PLTU batu bara. Perdagangan karbon baru terimplementasi setelah 2025.

Subyek Pajak Karbon

Satu hal yang krusial dalam pajak karbon adalah subyek pajak. Subjek pajak karbon yaitu orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon. Barang yang mengandung karbon adalah barang yang termasuk tapi tidak terbatas pada bahan bakar fosil yang menyebabkan emisi karbon, seperti bubur kayu (pulp) dan kertas; semen, pembangkit listrik dengan bahan bakar batu bara, dan petrokimia. 

Sementara, aktivitas yang menghasilkan emisi karbon adalah aktivitas yang menghasilkan atau mengeluarkan emisi karbon yang berasal antara lain dari sektor energi, pertanian, kehutanan dan perubahan lahan, industri, serta limbah.

Pajak karbon terutang atas pembelian barang yang mengandung karbon atau aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu pada periode tertentu. Saat terutang pajak karbon ditentukan a) pada saat pembelian barang yang mengandung karbon; b) pada akhir periode tahun kalender dari aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu; atau c) saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Konsep dasar pajak karbon adalah pajak yang dikenakan atas emisi dan bahan bakar fosil. Pajak dirancang untuk mengubah perilaku tinggi emisi menjadi rendah emisi oleh perusahaan dan individu dalam proses produksi, juga untuk mengurangi jumlah bahan bakar fosil.

Oleh karena itu, pajak karbon dalam UU Nomor 7/2021 punya prinsip atas (a) kandungan karbon dalam pembelian barang, seperti pajak karbon untuk bahan bakar, pulp, kertas, semen, batu bara dan sejenisnya  atau (b) emisi gas rumah kaca yang dilepaskan langsung oleh aktivitas yang menghasilkan emisi karbon. 

Dengan kata lain, subjek pajak akan membayar pajak berdasarkan jenis dan jumlah bahan bakar yang diproduksi/konsumsi atau berdasarkan jumlah emisi GRK yang dilepaskan sesuai hasil pengukuran dan verifikasi.

Ilustrasi pajak karbon jenis pertama: pemerintah menetapkan tarif pajak karbon untuk bahan bakar berdasarkan jumlah emisi gas rumah kaca yang akan otomatis terlepas tiap satuan energi bahan bakar.

Dengan kebijakan ini, bahan bakar yang kandungan karbonnya tinggi, seperti batu bara, akan dikenai tarif pajak karbon yang lebih tinggi daripada gas alam. Atau pajak karbon memakai acuan gram karbon dioksida per liter bahan bakar minyak. Bisa jadi akan membuat bensin premium jadi lebih mahal harganya dibanding Pertamax.

Untuk pajak karbon jenis kedua, pemerintah menetapkan tarif pajak karbon (misalnya dalam satuan Rp per ton karbon dioksida) untuk emisi gas rumah kaca yang dilepaskan subjek pajak.

Dengan model ini, suatu pembangkit listrik yang menggunakan batu bara akan membayar pajak karbon yang relatif tinggi, sedangkan pembangkit yang menggunakan energi terbarukan tidak akan membayar pajak karbon karena emisi gas rumah kacanya nol.

Untuk pajak karbon jenis pertama, pemerintah dapat langsung memungut pajak karbon berdasarkan jumlah bahan bakar yang dibeli dengan mengintegrasikannya ke harga bahan bakar.

Sedangkan untuk pajak karbon jenis kedua, subjek pajak harus menghitung dan melaporkan jumlah emisi gas rumah kaca dan besaran pajak karbon yang harus dibayarkan di akhir tahun pajak.

Ikuti perkembangan terbaru pajak karbon di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain