Surat dari Darmaga| 21 April 2022
Kelemahan Institusi Bisnis Lingkungan Berkelanjutan

RISET terbaru Forests and Finance, konsorsium lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang punya komitmen kuat terhadap pembangunan berkelanjutan, memperlihatkan hubungan dua arah yang saling bersimbiosis: lembaga keuangan dan perusahaan yang berinvestasi dalam bidang pengelolaan sumber daya alam. Kedua kelompok melakukan hubungan bisnis saling menguntungkan, namun berdampak kepada hutan alam tropis dan masyarakat yang hidup di dalamnya.
Riset serius Forests and Finance tersebut memberikan penilaian rendah terhadap lembaga keuangan dari Indonesia, yang memberikan pinjamannya kepada pengusaha yang operasinya berdampak terhadap lingkungan hidup.
Pembangunan berkelanjutan pun menjadi isu yang amat penting, karena krisis iklim. Indonesia terikat dengan perjanjian tingkat dunia untuk ikut menangani isu ini, salah satunya dengan menurunkan emisi karbon. Sampai pada titik ini komitmen Indonesia menjalankan pembangunan berkelanjutan, yang diharapkan dapat menjaga lingkungan hidup dan menurunkan emisi karbon, bisa dikatakan sebagai institusi-institusi.
Di sini institusi dipahami sebagaimana yang disebutkan dalam literatur institutional economics, yaitu aturan formal yang tertulis. Aturan-aturan inilah yang menjadi panduan bagi anggota masyarakat, termasuk di dalamnya pemerintah dan bisnis, untuk berinteraksi. Terkait hal ini setidaknya ada dua masalah dari dua jurusan yang berbeda yang akan mengganjalnya, yakni dari lembaga jasa keuangan dan pemerintah.
Tantangan yang akan muncul dari lembaga jasa keuangan terletak pada model bisnis yang sudah mereka jalankan hingga sekarang. Harus kita akui, model bisnis keuangan belum memberikan perhatian cukup bagi agenda-agenda penting pembangunan berkelanjutan. Motif paling utama lembaga jasa keuangan, selain menjadi perantara, adalah menghasilkan keuntungan bagi pemegang sahamnya.
Seperti temuan riset Forests and Finance, institusi dalam lembaga jasa keuangan memperlihatkan belum ada insentif dan disinsentif yang memadai. Insentif di sini maksudnya terkait dengan sustainable finance, keuangan berkelanjutan. Pertanyaan kuncinya, apa keuntungan yang akan didapatkan oleh lembaga jasa keuangan jika memberikan pinjaman kepada perusahaan yang patuh terhadap aturan-aturan konservasi atau perlindungan hutan? Hukuman apa untuk lembaga jasa keuangan jika memberikan pinjaman kepada perusahaan yang operasinya terbukti berdampak buruk terhadap lingkungan hidup?
Yang ada hingga saat ini adalah bentuk disinsentif kepada perusahaan-perusahaan yang operasinya merusak lingkungan. Walaupun sudah ada disinsentif kepada perusahaan, isu yang kerap muncul adalah implementasi dan penerapannya (enforcement) di lapangan.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) seharusnya mampu melakukan monitoring (pemantauan), enforcement (penerapan), dan implementasi peraturan-peraturan melindungi lingkungan dari operasi kotor perusahaan dengan dukungan pendanaan lembaga keuangan itu. Sebagai salah satu lembaga pemerintah, OJK punya otoritas normatif yang sangat kuat untuk dapat menjalankan aturan-aturan mengenai keuangan berkelanjutan.
Ada tiga jenis tantangan untuk mencapai tujuan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Pertama, aturan-aturan bisa dibuat untuk memberikan kesan bahwa Indonesia sudah memberikan perhatian yang cukup terhadap isu pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Aturan-aturan ini dibuat untuk menimbulkan kesan bahwa Indonesia berkomitmen terhadap pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Namun, sejatinya aturan-aturan tersebut hanya macan kertas karena memang tidak benar-benar ditujukan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
Kedua, aturan-aturan mengenai pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dibuat oleh pemerintah dengan benar-benar ingin mencapai tujuannya. Namun, masih ada hambatan yang disebabkan oleh struktur birokrasi atau lembaga jasa keuangan yang akan menjadi bagian dari tercapainya tujuan tadi. Pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, yang menekankan kelestarian lingkungan, tentu tidak bisa dicapai dengan upaya yang sudah biasa dilakukan sebelumnya untuk mencapai pertumbuhan ekonomi, yaitu terjadinya trade-off antara pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan. Sebelum isu lingkungan hidup menjadi arus utama, kelestarian lingkungan selalu menjadi korban demi mencapai tujuan pertumbuhan ekonomi.
Tak terbayang adanya pertumbuhan tanpa merusak lingkungan. Yang bisa kita capai adalah susunan birokrasi dan lembaga jasa keuangan yang punya cara berpikir lebih ramah terhadap lingkungan hidup. Pada sisi pemerintah, untuk mencapainya, harus ada perubahan cara berpikir yang radikal agar memahami persoalan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan menjadi nyata.
Dari sisi lembaga keuangan perlu persiapan mekanisme yang berkaitan langsung dengan reputasi perusahaan: jika perusahaan patuh terhadap aturan-aturan pelestarian lingkungan hidup dan memberikan pinjaman kepada perusahaan yang mendorong pertumbuhan berkelanjutan, mereka akan mendapatkan reputasi baik.
Ketiga, aturan-aturan yang dibuat sering kali berubah sehingga menimbulkan kekacauan karena panduannya tidak ajek. Pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan jelas memerlukan komitmen jangka panjang dari berbagai pihak. Jika regulasi-regulasi dipahami sebagai arena tempat berbagai kepentingan diakomodasi, maka peluang terjadinya instabilitas regulasi menjadi sangat terbuka.
Hubungan pemerintah dan para pengusaha besar yang operasinya berdampak terhadap lingkungan tidak selalu dalam situasi harmonis dan saling penuh pengertian. Hubungan keduanya bersifat dinamis mengikuti dinamika politik dan dinamika pasar internasional suatu komoditas tertentu.
Selain itu, instabilitas regulasi, yang menyebabkan tidak tercapainya tujuan, bisa muncul dari pemerintah sendiri ketika harga komoditas andalan turun di pasar internasional. Dalam situasi demikian, sangat mungkin pemerintah mengubah aturan-aturan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan menjadi pertumbuhan ekonomi yang mengabaikan kelestarian lingkungan hidup.
Kuncinya mewujudkan bisnis lingkungan berkelanjutan terletak pada pemerintah untuk tetap mempertahankan tujuan kelestarian. Dalam situasi paling buruk sekalipun pemerintah harus tetap berkomitmen melestarikan lingkungan. Tentu ini tidak mudah karena jelajah pandang sebuah pemerintahan hanya lima tahun, sesuai siklus pemilihan eksekutif.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.

Redaksi
Topik :