Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 21 Maret 2022

Tata Kelola Legalitas Masyarakat Adat

Memberikan hak legal kepada masyarakat adat perlu hubungan interaktif dengan negara dan industri. Basisnya FPIC, persetujuan tanpa paksaan.

FPIC memberikan hak kepada masyarakat adat memberikan suara dalam kebijakan yang mempengaruhi hidup mereka (Ilustrasi: Mohammed Hassa/Pixabay)

DALAM “Indigenous Peoples, Natural Resources and Governance: Agencies and Interactions” yang disunting Monica Tennberg dkk (2022) ketegangan masyarakat adat dengan industri ekstraktif dibumbui cerita penyusupan, perampasan tanah, kehancuran budaya, serta tumbuhnya ekonomi eksploitatif di kalangan masyarakat adat. Di era krisis iklim, konflik meluas ke daerah baru karena ada kebutuhan mengembangkan budidaya pangan dan energi terbarukan.

Instrumen baru pelaku pasar atau badan pemerintah dalam mempertemukan kepentingan dua pihak yang berseberangan itu sering menemui jalan buntu. Negara, seperti halnya perusahaan besar, punya reputasi meragukan terhadap masyarakat adat dalam hal memberikan perlindungan hak dan warisan mereka. Diskusi soal partisipasi acap berakhir sebagai debat panas.

Buku itu juga menjelaskan perkembangan hak masyarakat adat secara legal, yang semula merupakan bagian dari perkembangan hak asasi manusia setelah Perang Dunia II. Wilayah bekas koloni yang merdeka tumbuh sebagai bangsa baru, masyarakat adat harus mengamankan hak mereka sendiri agar diakui sebagai bagian masyarakat bangsa baru itu. Pengakuan hak masyarakat adat “diberikan” dari atas, oleh otoritas negara.

Kenyataannya, hak berkembang secara bertahap yang cair dan berubah dalam proses sosial. Proses ini ditandai oleh interaksi antara hak yang berkembang dari pelbagai dialog. Pengakuan hak seperti ini tidak selalu berasal dari pemberian “dari atas”.

Di PBB, hak masyarakat adat ditafsirkan oleh suatu komite yang menciptakan premis baru yang disebut Free Prior Informed Consent atau FPIC. FPIC adalah “persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan” yang menjadi mekanisme untuk memastikan bahwa masyarakat adat memiliki kesempatan memberikan suara pada proses pembangunan yang terjadi di sekelilingnya.

Konsultasi mensyaratkan pihak berkuasa memberikan kesempatan kepada masyarakat adat untuk berpartisipasi dalam kebijakan yang mempengaruhi mereka. Konsultasi itu dilakukan dengan itikad baik dan dalam bentuk yang sesuai dengan keadaan, dengan tujuan untuk mencapai kesepakatan atau persetujuan terhadap langkah-langkah yang diusulkan, dibuat, dan dilaksanakan (ILO C169, pasal 6.2).

Poin penting dari semua itu adalah implementasi penetapan hak-hak masyarakat adat yang terjadi sangat bervariasi dan berbagai aktor telah mengambil peran utama dalam implementasi tersebut. Variasinya berasal dari fitur kelembagaan berbeda di tiap negara, dengan titik awal analitis yang sama, yaitu adanya fungsi tiga bidang sosial: negara, pasar, dan masyarakat sipil.

Hubungan ketiganya diilustrasikan dalam “segitiga tata kelola interaktif” yang dikembangkan oleh ilmuwan politik Maria Carmen Lemos dan Arun Agrawal pada 2006.

Segitiga tata kelola interaktif

Secara tradisional, pemerintahan mewakili negara sebagai koordinator dan pusat kekuatan inti masyarakat. Bentuk transformatif pemerintahan menyiratkan perubahan dengan pengembangan fungsi pemerintahan lebih ke bawah.

Dalam hubungan itu ada arena baru yang menyediakan keterlibatan aktor dari pasar dan masyarakat sipil. Izin sosial untuk operasi perusahaan (SLO), misalnya, berangkat dari dorongan agar perusahaan bekerja dengan masyarakat lokal.

Dengan hubungan seperti itu, keputusan tidak boleh menjadi domain negara saja, yang dicirikan oleh hierarki arahan dan manajemen. Ini sebetulnya gagasan lama tentang tata kelola legalitas masyarakat hukum adat, dengan institusi berada di puncak segitiga.

Keputusan negara pindah ke bagian sudut kiri segitiga, terkadang dengan cara mendirikan lembaga perantara, seperti “Parlemen Sámi” di Norwegia. Demikian pula, persyaratan konsultasi harus dipahami sebagai pergeseran dari hierarki negara ke masyarakat adat yang terlibat dalam hubungan ketiganya.

Dengan pergeseran tata kelola legalitas masyarakat hukum adat seperti itu, persoalan utama di Indonesia saat ini adalah hubungan keduanya tidak hanya tergantung pada isi peraturan-perundangan, juga hambatan inovasi oleh lembaga negara itu sendiri.

Dua pekan lalu saya melakukan konsultasi terbatas dengan beberapa narasumber bagaimana pemerintahan—pusat maupun daerah—merespons perkembangan ini, terutama di seputar pengelolaan sumber daya alam. Misalnya, berbagai konflik sumber daya alam, soal legalitas masyarakat hukum adat dan ruang hidupnya atau pencabutan izin konsesi eksploitasi sumber daya alam yang baru-baru ini diumumkan Presiden.

Pergulatan dalam struktur pengaturan dan administrasi pemerintahan secara umum menyebabkan staf pemerintahan tidak bisa diminta pertanggungjawaban terhadap capaian hasil yang langsung bermanfaat bagi masyarakat. Hal itu disebabkan tugas yang menjadi tanggung jawab mereka hanya komponen parsial pembentuk manfaat itu, tanpa ada yang merangkainya menjadi manfaat langsung bagi masyarakat. 

Untuk hal yang sederhana, misalnya, tugas menanam pohon dibedakan dengan tugas menyelesaikan hak atas lahan lokasi penanaman, berbeda pula dengan tugas menyelesaikan konflik di atasnya. Sistem atau struktur kelembagaan tidak membuat hubungan itu terjadi, bahkan di dalam suatu lembaga negara tertentu.

Apalagi bila komponen-komponen yang diperlukan untuk menghasilkan manfaat itu berada di lembaga negara yang berlainan. Ada peringatan umum di kalangan pegawai pemerintah “dilarang membicarakan apalagi menyentuh pekerjaan orang lain”.

Beberapa langkah kegiatan yang diperlukan untuk mewujudkan legalitas masyarakat hukum adat juga menghadapi hambatan struktural seperti ini. Padahal, menentukan obyek wilayah dan subyek, memetakan wilayah, mengikuti persyaratan administrasi ataupun menyelesaikan hak wilayah yang tumpang tindih, memerlukan kapasitas besar dan proses panjang.

Saya melihat penyelesaiannya seharusnya tidak hanya mengandalkan kapasitas pemerintah yang terbatas. Dengan pendekatan strategi segitiga tata kelola interaktif tadi implementasinya perlu pergeseran pendelegasian ke bawah segitiga, tanpa harus mengurangi kewenangan pemerintah dalam membuat keputusan. 

Selain itu, dengan pendekatan tata kelola transformatif ini, terutama dari pengalaman di negara lain, prosesnya mesti lebih terbuka untuk menghindari konflik kepentingan serta penunggang gelap. Inovasi legalitas masyarakat adat ini perlu karena dalam beberapa dekade terakhir selalu terhambat akibat hubungannya dengan negara dan pelaku usaha selalu terhambat.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain